~ POV. Dhea ~
Apartemen Dhea...
AKU kaget sekali waktu Papa sama Mama tiba-tiba telepon pakai video call. Sudah jam sebelas malam. Apa ada masalah dengan aki mobilku? Tapi waktu aku nyetir sendiri ke Bandung beberapa hari lalu nggak ada masalah apa-apa. Apa mereka masih penasaran kenapa aku tinggal mobilku di sana? Kenapa Papa jadi meneleponku selarut ini? Apa ada yang penting?
Terus terang aku takut mengangkatnya, karena khawatir mereka butuh uang dan aku lagi nggak bisa mengirim uang dulu minggu ini. Kekhawatiranku yang lain, mereka berharap aku punya pasangan yang bisa diandalkan dan bukan malah ingin menyulitkan aku yang hanya tinggal sendirian di kota ini.
“Halo, Pa?” sapaku cepat sebelum Papa mematikan teleponnya dan memarahiku di WhatsApp karena aku sudah membuat mereka cemas saat aku nggak menjawab teleponnya.
“Assalamu'alaikum, sayang.”
“Walaikumsalam. Ada apa, Pa?”
“Kamu lagi bikin konten?”
“Nggak, Pa. Lagi rebahan aja,” jawabku singkat walau sebenarnya video yang perlu diedit di ponselku sudah mengantri.
“Papa baru tahu dari Dinda.”
“Soal apa, Pa?” tanyaku semakin penasaran.
“Katanya, kamu nggak pake mobil lagi karena udah punya pacar?”
Aku mencelos dan tertawa kecil. Selama ini yang mereka tahu aku bekerja di kota ini. Nggak heran Papa jadi penasaran sekali sama jawabanku sekarang. Rasanya aku nggak bisa lagi menutupi Barra dari keluargaku. Aku hanya khawatir mereka melarang hubunganku dengan Barra. “Iya, Pa. Udah,” jawabku sedikit khawatir. Aku sampai lupa kalau Dinda pasti akan cerita ke Papa soal apa pun setiap kami selesai makan bersama. Seharusnya aku nggak bilang apa-apa dulu waktu aku ingin dia merawat mobilku dengan baik kalau ingin memakainya juga.
“Saha eta, Dhe?”
Aku menghela napas sejenak. Sekarang Papa jadi mencecar jawabanku dan aku nggak pernah bisa bohong darinya karena aku menyayanginya. “Mudah-mudahan bukan cuma pacar, Pa. Tapi tunangan juga,” jawabku. Karena aku memang yakin kalau Barra memang pasangan yang terbaik sejauh aku mengenal beberapa laki-laki entah follower atau teman-teman Saskia. Entah bagaimana caranya Barra bisa berjodoh denganku, aku berharap dia memang jodohku selamanya.
“Papa mau ngomong sama dia dulu.”
Aku kembali tersentak dari lamunanku. “S-sekarang, Pa?”
“Muhun, sayang. Sambungkeun gera. Mumpung Papa bisa telepon kamu.”
Aku menghela napas. Aku tahu maksud Papa. Apa lagi melihat sorot matanya yang sudah nggak sabar lagi. Dia pasti ingin tahu siapa calon menantunya sekarang. Dia begitu khawatir aku punya pacar yang nggak sesuai di matanya dan aku bukan anak kuliahan yang bisa dengan mudah mencari laki-laki yang berpendidikan atau minimal memiliki ijazah S1. Harapan orangtuaku memang setinggi itu walau aku masih belum memutuskan untuk kuliah lagi. Mereka selalu ingin aku bahagia dengan pilihanku, dan pasti akan menentang hubunganku dengan Barra kalau Barra nggak sesuai di matanya. Tapi mudah-mudahan saja ini hanya rasa khawatirku yang berlebihan. Karena Barra memang lebih tampan dari Papaku meski dia nggak punya perusahaan apa-apa seperti yang dibayangkan orangtuaku setelah mengikhlaskan aku tinggal di Jakarta. Dia sungguh berharap aku bisa memperbaiki perekonomian keluarga kami, dan aku masih berjuang untuk itu juga dengan menjadi konten kreator.
Mau nggak mau aku memang harus segera menelepon Barra dan berharap dia belum tidur. Sungguh nasib punya orangtua yang sudah tahu kalau anaknya kerja jadi influencer, orangtua jadi ikut melek teknologi dan ingin video call bareng-bareng.
Sebenarnya aku nggak keberatan juga, tapi aku khawatir Barra marah kalau aku ganggu tidurnya. Di sisi lain, aku nggak bisa menolak keinginan Papa. Karena beliau memang sulit menghubungiku kalau aku sedang live atau saat sedang membuat video yang harus kuedit.