Cinta Sampai Mati

Nakshatra B.
Chapter #13

13

~ Gue cuma mau hidup yang realistis aja. Karena bahagia memang bisa dibeli dengan uang.

Biar saja orang bilang ketulusan dan rasa sayang nggak bisa diganti dengan materi, yang penting gue sama Dhea sudah berkomitmen serius. ~


~ POV. Barra ~ 


1 Oktober 2015

BEBERAPA bulan jalan bareng Dhea, gue sudah seringkali diajak makan di beberapa restoran ternama namun gue belum membahas langkah lebih lanjut untuk pernikahan kami, dan dia juga nggak terburu-buru. Jadi, gue bisa santai dan cukup menemani dia menghabiskan waktu dengan membuat konten kalau gue lagi luang.

Demi kontennya, gue jadi tahu kalau Dhea paling suka belanja. Nggak jarang juga kami pulang ke apartemen dengan membawa beberapa kantong belanjaan. Dia juga senang banget mencoba hal-hal yang baru seperti main golf, atau wahana permainan di mal untuk melepas kebosanannya. Sesuatu yang belum pernah gue jalani bareng perempuan secantik dia. Gimana gue mau kencan kalau dulu pacar saja nggak ada?

Tapi setelah gue pikir-pikir lagi, keseharian Dhea memang ternyata selalu mencari tempat-tempat baru yang menyenangkan dan belanja untuk menunjang penampilannya. Gue rasa itu masih normal dan nggak seperti pikiran Levi yang terlalu khawatir gue akan nambah cicilan lagi.

Selama masih ada uang, gue nggak keberatan untuk menemani Dhea pergi. Uang gadai BPKB mobil ibu yang totalnya seratus lima puluh juta juga sudah masuk ke ATM gue belum lama ini. Tapi entah kenapa rasanya duit sudah seperti air yang bisa cepat masuk juga ke selokan kecil. Soalnya gue merasa baru kemarin gue dapat uang. Kenapa uang di mobile banking gue sudah menipis lagi? Setelah gue ingat lagi, mobil ibu juga harus diurus pajaknya. Jadi, gue kena potongan lagi beberapa juta. Belum lagi harga mobilnya yang memang sudah jatuh harganya.

“Sayang!?”

Gue tersentak waktu Dhea menghampiri dan menggandeng tangan gue lagi untuk masuk ke restoran. Gue hanya tersenyum dan melangkah di sisinya karena pulang kantor dia sudah ngajak gue makan bareng dulu. Kangen juga, katanya. Yaa ... kalau kata Rexy, beginilah nasib sudah punya buntut. Gue nggak bisa sibuk sendiri sama pekerjaan lagi. Tapi kayaknya biar dia yang pesan makanan. Gue cuma khawatir keabisan uang di depan dia. Jadi, malam ini gue bisa diet sedikit sampai gue bisa ngobrol sama ibu lagi.


***

 

Malam ini gue sudah nggak pikir-pikir lagi untuk masuk ke kamar ibu. Karena gue masih butuh pertolongannya. Mana tabungan gue tinggal di bawah dua juta. Untung ibu belum tidur dan bisa dengar cerita gue sekarang. Dia harus tahu kalau gue butuh uang. Karena bulan ini gue sudah banyak pengeluaran plus cicilan-cicilan lain, dan besok Dhea harus bayar sewa apartemennya. Tapi gue nggak mau bilang segamblang itu juga. Gue cuma bilang Dhea perlu bantuan, dan gue cuma mau minta pengertian ibu aja tadi.

“Ada kan, Bu?” tanya gue sekali lagi. Karena dari tadi ibu terus seperti orang bingung. Dia mikir lama banget. Gue sampai harus duduk di tempat tidurnya dan menatapnya penuh harap supaya Ibu bisa meminjamkan uang sepuluh juta saja untuk simpanan gue kalau sewaktu-waktu butuh.

Ibu tiba-tiba beranjak dari tempat tidurnya dan melangkah ke laci lemarinya. “Tapi Ibu udah nggak ada duit kalau sebanyak itu, sayang. Kamu tahu orangtua Ibu belum terjual.”

Gue sontak melihat ke arah tangan ibu. Gue hampir hopeless, karena gue kira ibu memang sudah nggak ada simpanan apa-apa lagi. Gue lupa masih ada rumah nenek yang bisa dijual. “Nanti Barra bantu, Bu,” kata gue lagi sambil menatap Ibu serius. “Tapi kalau udah laku, aku pinjem dulu uangnya.”

“Tapi…”

“Bu, sekali ini aja, Bu.”

“Kamu bisa jualin dalam waktu dekat ini?” tanya Ibu penasaran dan menatap gue khawatir.

Entah bagaimana lagi gue bisa meyakinkan Ibu. Gue cuma bisa mengangguk cepat. “Insya Allah, Bu,” kata gue dengan harapan ibu akan setuju dengan keinginan gue. Selama ini gue nggak pernah minta banyak selain bisa sekolah dan kuliah di tempat yang gue inginkan.

Gue cuma khawatir ibu jadi berpikir macam-macam dan nggak mau meminjamkan surat itu untuk digadai atau dijual, karena sekarang Ibu menatap gue ragu dan ini yang gue takutkan. Bagaimana pun caranya, gue memang harus cari biaya untuk menikah sama Dhea. Gue nggak bisa berharap dari tabungan gue lagi atau manfaat dari kartu kredit gue saja. “Bu, aku sama Dhea ‘kan, kerja. Penghasilannya juga lumayan, Aku cuma butuh pegangan dana aja. Jadi, kalau udah kejual, aku pinjem uangnya dulu. Boleh ya, Bu?” bujuk gue lagi. Kalau gue nggak bohong sedikit, mungkin Ibu nggak akan setuju gue menikah sama Dhea.

“Tapi … udah bilang abang kamu? Levi pasti nggak setuju kalau kamu pegang semua uangnya, Bar. Meskipun ada hak kamu juga di sana,” ujar Ibu dan gue ingin mengiyakan, tapi gue butuh uang sekarang.

Gue nggak mungkin bilang ke Levi juga. Apalagi dia nggak mau bantuin gue apa-apa waktu gue tanya-tanya sesuatu. Dia kelihatannya memang belum bisa terima Dhea jadi pacar gue. “Bu, Ibu tahu aku nggak pernah bikin masalah. Aku nggak mau Levi jadi marah gara-gara tahu soal ini. Jadi, Ibu jangan bilang ke Levi dulu ya. Kalau cuma bisa digadai, aku tebus pakai cicilan gaji aku nanti. Bisa didebet aja, Bu. Didebet. Gak susah kok.”

“Minjemnya memang nggak susah. Balikinnya itu yang berat, sayang.”

“Kalau bisa dijual, aku balikin, Bu.”

Lihat selengkapnya