GARA-GARA Levi, gue jadi sampai lupa ketemu ibu malam ini. Untung ibu belum tidur dan bisa dengar cerita gue sekarang. Dia harus tahu kalau gue butuh uang. Karena bulan ini gue sudah banyak pengeluaran plus cicilan-cicilan lain dan besok Dhea harus bayar sewa apartemennya. Tapi gue nggak mau bilang segamblang itu juga. Gue cuma bilang Dhea perlu bantuan, dan gue cuma mau minta pengertian ibu aja tadi.
“Ada 'kan, Bu?” tanya gue sekali lagi. Karena dari tadi ibu terus seperti orang bingung. Dia mikir lama banget. Gue sampai harus duduk di tempat tidurnya dan menatapnya lekat penuh harap supaya Ibu bisa meminjamkan uang sepuluh juta aja untuk simpanan gue kalau sewaktu-waktu butuh.
Ibu tiba-tiba beranjak dari tempat tidurnya dan melangkah ke laci lemarinya. “Tapi Ibu udah nggak ada duit kalau sebanyak itu, sayang. Cuma tinggal surat rumah ini.”
Gue sontak melihat ke arah tangan ibu. Gue hampir hopeless, karena gue kira ibu memang sudah nggak ada simpanan apa-apa lagi. Gue lupa masih ada rumah ayah yang bisa gue gadai untuk sementara waktu. “Boleh digadaikan, Bu?” usulan gue sontak membuat Ibu terkejut. “Nanti Barra yang tebus, Bu,” kata gue lagi sambil menatap Ibu serius.
“Tapi…”
“Bu, sekali ini aja, Bu. Aku pinjam uangnya dulu.”
“Kamu bisa tebus semuanya sendiri?” tanya Ibu penasaran dan menatap gue khawatir.
Entah bagaimana lagi gue bisa meyakinkan Ibu. Gue cuma bisa mengangguk cepat. “Iya, Bu. Nanti pasti diganti. Tapi sisanya boleh aku pakai untuk ngelamar dan pernikahan aku sama Dhea nanti, Bu?” tanya gue dengan harapan ibu akan setuju dengan keinginan gue. Selama ini gue nggak pernah minta banyak selain bisa sekolah dan kuliah di tempat yang gue inginkan. Nggak kayak Levi yang ingin sekali kuliah di luar negeri meski dia tahu kalau biayanya cukup mahal dan ayah selalu mengusahakan hanya karena demi pendidikannya.
Ibu langsung menatap gue ragu dan ini yang gue takutkan. Gue khawatir ibu jadi berpikir macam-macam dan nggak mau meminjamkan surat itu untuk digadai. Tapi bagaimana pun caranya, gue memang harus cari biaya untuk nikah juga. Gue nggak bisa berharap dari tabungan gue atau kartu kredit gue saja. “Bu, aku sama Dhea ‘kan, kerja. Penghasilannya sebenarnya lumayan, Aku juga lagi butuh sedikit aja kok. Karena Barra juga harus nyiapin untuk melamar Dhea nanti. Boleh ya, Bu?”
“Tapi … udah bilang abang kamu? Levi pasti nggak setuju kalo kita gadai rumah ini, Bar,” ujar Ibu.
Gue langsung tertohok. Nggak mungkin gue bilang ke Levi. Apalagi dia nggak mau bantuin gue apa-apa waktu gue tanya-tanya sesuatu. Dia kelihatannya memang belum bisa terima Dhea jadi pacar gue. “Bu, Ibu tahu aku nggak pernah bikin masalah. Aku nggak mau Levi jadi marah gara-gara tahu soal ini, Bu. Jadi, Ibu jangan bilang ke Levi dulu ya. Biar aku tebus suratnya pakai cicilan gaji aku nanti. Bisa didebet aja, Bu. Didebet. Gak susah kok.”
“Minjemnya memang nggak susah. Balikinnya itu yang berat, sayang. Kamu udah pikir-pikir-pikir lagi sebelum mau nikah sama Dhea?”
“Udah bertahun-tahun aku suka sama Dhea, Bu. Yaa … selama ini Barra cuma bisa lihat dari jauh aja.” Ibu sontak terkejut dan seolah baru paham setelah mendengar isi hati gue ke gadis itu. “Nanti aku pikirin lagi kapan waktu yang tepat biar Ibu sama Levi bisa ketemu orangtuanya ya. Tapi aku pinjem dulu suratnya, Bu. Ya? Boleh, kan?”
Ibu kembali terlihat seperti orang bingung dan mikir lagi di depan gue. Apa janji gue kurang meyakinkan? Apa gue perlu kasih unjuk lagi slip gaji gue? Tapi ibu bukan orang bank. Nggak guna juga gue tunjukin, dan dia tahu gaji gue hampir empat puluh juta gara-gara kerjaan gue yang seabrek-abrek di kantor. Nggak cuma harus perhatian sama sistem manajemen operasional atau membuat standar operasional prosedur yang tepat di kantor, rencana pemasaran dan finansial, atau memantau karyawan-karyawan yang sedang membawa klien-klien yang mau wisata atau umroh, tapi juga aplikasi mobile yang harus gue pantau perkembangannya setiap saat. Jadi head manager nggak semudah yang gue bayangkan dulu.
“Gimana, Bu?”
Ibu masih bergeming saat menatap gue. Apa seberat itu meminjamkan surat sertifikat rumah ini untuk gue gadaikan di tempat yang aman? Iya. Tentunya, di bank swasta yang sudah gue percaya selama puluhan tahun menyimpan gaji gue selama ini dan tempat di mana gue menyicil dua mobil gue sekarang. Orang bank juga tahu gue nggak masuk ke daftar hitam mereka, karena gue selalu bayar cicilan tepat waktu. Masa ibu masih nggak percaya sama gue? Waktu gue gajian, gue selalu kasih uang ke ibu untuk belanja dan kebutuhan dia juga. Apa yang gue kasih juga nggak sebanyak Levi. Kalau sekarang gue butuh bantuan, masa ibu nggak mau pinjemin surat itu? Kalau dia tetap nggak mau, gue harus pakai alasan apa lagi? Gue cuma bisa nunggu jawaban ibu sambil mikir keras. Jantung gue sudah berdebar nggak karuan karena takut ibu nggak setuju.
“Bu?”
“Iya. Ya, udah. Ibu pinjemin.”
Ah! Akhirnya! Gue sedikit lega sekarang.
“Tapi Levi …,” sebelum ibu ngomong lagi, gue langsung menggenggam tangannya yang sudah mulai berkerut dan sedikit ada varises kecil di punggung-punggung tangannya.