~ Seringkali berpura-pura bisa mandiri memang bukan jalan keluar
terbaik untuk menghadapi kenyataan kehidupan yang begitu keras. Sekarang aku yang jadi merana karena patah hati dan masih merindukannya. ~
~ POV. Dhea ~
Rumah Dhea, Cimahi, Bandung...
SELAMA ini aku cuma anak perempuan yang selalu berpura-pura kuat dan bahagia tinggal di kota besar. Nggak jarang aku selalu bilang kalau aku baik-baik saja kalau mereka menanyakan kabarku. Kini aku hanya mengurai air mataku di hadapan Papa dan Mama. Juga adik-adikku. “Maafin aku ya, Ma, Pa. Aku bukan anak yang bisa dibanggakan sama Mama, sama Papa,” kataku mengakui.
Lulu terus menyodorkan aku tisu walau air mataku sudah kering. “Udah, Lu,” seruku dan Lulu kembali mengambil kotak tisu dari hadapanku.
“Masih ada waktu untuk kamu pikirkan baik-baik, Dhe.”
“Iya, Kak. Bener kata Mama. Kalau di luar sana masih ada yang lebih baik kenapa nggak?” sahut Farah.
“Farah…,” tegur Mama sambil mengusap pundakku lagi. “Kamu paham masalahnya nggak?”
Farah sontak menunduk dan nggak berani menatapku. “Iya, Ma.”
“Menurutku, Kak Dhea teh bisa ketemu lagi laki-laki yang sayangnya nggak KW. Tapi Barra juga udah berkorban banyak banget untuk Kak Dhea,” seru Dinda.
Lulu mengangguk kecil sambil tersenyum menghiburku.
“Kak Dhea teh selalu punya waktu untuk membenahi benang kusut hubungan Kakak dengan Barra kalau Kak Dhea masih cinta sama Kak Barra,” seru Lulu.