~ Ternyata benar ya, rumah ternyaman untuk gue sekarang adalah di mana gue bisa dicintai apa adanya, dan bukan ada apanya. ~
~ POV. Barra ~
TEMPAT terbaik gue pulang memang hanya pada keluarga gue sendiri. Tapi sekarang cuma ada Levi di rumah ini.
Gue lihat Levi masih melihat layar ponselnya selepas kami sarapan bersama. Entah sampai kapan gue nggak berani ngomong banyak di depan dia lagi setiap kami masih seringkali berpapasan di rumah ini.
Levi juga tahu gue baru berhasil menjual mobil yang gue belikan untuk Dhea hari ini untuk membayar cicilan hutang gue di bank dan cicilan bpkb mobil ibu yang belum selesai. Tapi yang dia belum tahu, ada ruang kosong yang masih menganga lebar setiap gue mengingat ibu sudah nggak ada lagi di sini setelah gue bisa menepati janji gue sebagian. Karena sisa hutang gue masih dicicil ke Levi sebagai penerima waris dari ibu juga.
“Lev.”
“Kenapa? Butuh tips buat move on?”
“Nggak.”
“Trus?” Levi melirik dari ponsel di genggaman tangannya. “Mau gue cariin cewek?”
“Nggak,” jawab gue cepat. Karena gue memang mau melupakan cari jodoh dulu saja.
“Nggak mulu. Trus ngapain lo manggil?”
“Temenin gue ke makam Ibu.”
“Minggu lalu kita baru ke sana.”
“Waktu itu rame.”
“Hah?” Levi mengernyit.
“Sekarang gue mau kita berdua aja ke situ.”
“Lo aja sendiri. Gue harus telepon orang-orang untuk diwawancara besok.”
“Nggak bisa malem aja?”
“Emang kenapa gue harus ikut?”
“Biar gue bisa minta maaf sama lo di depan ayah dan ibu. Terutama Ibu. Dia cuma ingin lihat kita akur, Lev. Biar afdol gitu kalau kita ngobrol di depan makam Ibu.”
“Ada aja sih, masalah lo. Ya, udah. Gue ganti baju dulu.”
“Thanks, Lev.”
|
Gue sudah janji nggak akan nangis di depan ibu, tapi mata gue memanas sekarang. Gue mendongak dan tiba-tiba Levi mendengus.
“Kalau mau nangis, ya, nangis aja. Gak ada yang lihat ini,” seru Levi acuh tak acuh.
“Ngeledek lo?” tanya gue membalik gurauannya.