DUNIA memang belum berakhir meski gue sama Dhea putus, dan perasaan gue masih tetap ada untuk dia. Yaa, mau gimana lagi? Dia sudah jadi yang pertama dan satu-satunya perempuan yang paling gue cintai.
Gue menyeret langkah gue yang terasa berat sekali dari pekarangan rumah Dhea. Setelah kemarin gue menelepon semua vendor untuk meminta keringanan, ternyata mereka mau memaklumi keadaan gue sekarang dan akan menunggu kabar baik dari gue saja. Gue lega mereka mau mendoakan hubungan gue dengan Dhea agar segera kembali membaik.
Tadinya gue berpikir untuk tetap mempertahankan Dhea, tapi lagi-lagi gue lebih percaya Levi sekarang. Terkadang kebenaran memang menyakitkan, dan mencintai Dhea sampai sedalam samudera mungkin hanya akan membuat kehidupan gue jadi semakin berantakan. Gue harus merelakannya untuk seseorang yang bisa menjaga dan membahagiakannya. Karena kalau Dhea masih bersama gue, karir yang selalu dia banggakan selama ini akan tersendat karena ketidakmampuan gue untuk mendukungnya lagi.
“Barra!”
Baru juga gue melangkah ke mobil, suara Dhea mengudara di telinga gue. “Gue pasti lagi halusinasi.”
“Bar!”
Eh! Gue sontak urung menekan remote pintu mobil gue. Gue memang dengar suaranya. Saat kepala gue menoleh, Dhea benar-benar sudah berdiri di depan pagar rumahnya. “I-iya, Dhe?”
“Aku salah ya?” tanya Dhea tertunduk dan nggak berani menatap gue.
Gue hanya tersenyum masam. Gue tahu dia pasti merasa nggak enak hati untuk ketemu gue setelah tahu semua masalah gue. Tadinya gue pikir dia memang sudah nggak mau tahu lagi dan nggak mau kenal sama gue lagi. Gue bisa terima itu, meski berat dan sulit untuk mengikhlaskan kepergiannya.
“Kita berdua yang salah ambil keputusan, Dhe.” Gue terus menatap Dhea lekat dan matanya sedikit basah waktu dia membalas tatapan gue. Perpisahan ini memang bukan keinginan gue, tapi gue juga nggak mau dia nggak bahagia kalau masih sama-sama gue dan memulainya dari nol tanpa bantuan finansial gue yang sekuat dulu.
“Aku minta maaf, karena selama ini aku udah egois banget. Aku nggak pernah bisa ngertiin kamu. Aku selalu ingin kamu belain tanpa peduli keadaan keluarga kamu. Aku juga udah nggak peka sama masalah kamu. Makanya aku selalu anggap hidup kamu selalu baik-baik aja. Padahal kita berdua lagi kacau banget,” ujar Dhea yang kemudian menggeleng sambil menatap gue. “Nggak-nggak. Kamu yang lagi ada masalah gara-gara sikap aku.”
Gue tersentak Dhea bisa menyadari semua itu sekarang.
“Aku nggak mau lagi kamu mewujudkan semua keinginanku terus, Bar. Pasti berat jadi kamu.”
“Tapi nggak lebih berat dari hidup kamu, Dhe,” sahut gue berusaha menghiburnya meski perkataannya itu benar. “Aku tahu orangtua dan adik-adik kamu selalu mengandalkan kamu sekarang,” lanjut gue dan gue tahu betapa menyedihkannya hidup tanpa ada seorang pun yang bisa diandalkan. Tapi kini gue juga butuh sandaran yang kuat untuk menopang kehidupan gue sekarang.
Dhea menggeleng menatap gue. bibirnya terlihat bergetar. Sebenarnya dia mau ngomong apa? Kenapa gue jadi terenyuh lagi? Gue jadi ikut sedih melihat matanya berkaca-kaca seperti ini.
“Kamu juga berhak bahagia, Bar. Bukan cuma aku atau keluarga aku. Juga bukan untuk kesenangan kita yang hanya sesaat. Aku nggak mau melukai siapa-siapa lagi.”
Bagaimana kalau kebahagiaan gue cuma ketika melihat dia tersenyum? Bagaimana kalau selama ini gue memang menikmati luka yang dia berikan karena gue memang mencintainya dengan tulus? Meskipun gue hanya bisa berdiri di belakangnya, gue merasa hidup gue jadi lebih berarti.
Ahh … seandainya saja gue bisa mengungkapkan ini, tapi gue nggak mau lagi kami sama-sama bersikeras untuk bertahan dengan luka yang semakin hari mungkin akan semakin menggigit.