~ Gue kira perpisahan cukup sepahit kopi tubruk tanpa gula, ternyata merelakan dia berhenti mencintai gue demi kebahagiaannya jauh lebih menyakitkan. ~
~ POV. Barra ~
DUNIA memang belum berakhir meski gue sama Dhea putus, dan perasaan gue masih tetap ada untuk dia. Yaa, mau gimana lagi? Dia sudah jadi yang pertama dan satu-satunya perempuan yang paling gue cintai.
Gue menyeret langkah gue yang terasa berat sekali dari pekarangan rumah Dhea. Setelah kemarin gue menelepon semua vendor untuk meminta keringanan, ternyata mereka mau memaklumi keadaan gue sekarang dan akan menunggu kabar baik dari gue saja. Gue lega mereka mau mendoakan hubungan gue dengan Dhea agar segera kembali membaik.
Tadinya gue berpikir untuk tetap mempertahankan Dhea, tapi lagi-lagi gue lebih percaya Levi sekarang. Terkadang kebenaran memang menyakitkan, dan mencintai Dhea sampai sedalam samudera mungkin hanya akan membuat kehidupan gue jadi semakin berantakan. Gue harus merelakannya untuk seseorang yang bisa menjaga dan membahagiakannya. Karena kalau Dhea masih bersama gue, karir yang selalu dia banggakan selama ini akan tersendat karena ketidakmampuan gue untuk mendukungnya lagi.
“Barra!”
Baru juga gue melangkah ke mobil, suara Dhea mengudara di telinga gue. “Gue pasti lagi halusinasi.”
“Bar!”
Eh! Gue sontak urung menekan remote pintu mobil gue. Gue memang dengar suaranya. Saat kepala gue menoleh, Dhea benar-benar sudah berdiri di depan pagar rumahnya. “I-iya, Dhe?”
“Makasih ya, udah dateng. Padahal aku yang punya salah sama kamu,” ujar Dhea tertunduk dan nggak berani menatap gue.
Gue hanya tersenyum masam. Gue tahu dia pasti merasa nggak enak hati untuk ketemu gue setelah tahu semua masalah gue. Tadinya gue pikir dia memang sudah nggak mau tahu lagi dan nggak mau kenal sama gue lagi. Gue bisa terima itu, meski berat dan sulit untuk mengikhlaskan kepergiannya.
“Kita berdua cuma salah ambil keputusan, Dhe.” Gue terkekeh sejenak. “Karena aku yang terlalu bahagia waktu bisa jadi pacar kamu, Dhe,” lanjut gue sambil terus menatap Dhea lekat dan dia malah menggeleng dengan matanya yang sedikit basah waktu dia membalas tatapan gue. Perpisahan ini memang bukan keinginan gue, tapi gue juga nggak mau dia nggak bahagia kalau masih sama-sama gue dan memulainya dari nol tanpa bantuan finansial gue yang sekuat dulu.
“Aku minta maaf, karena selama ini aku udah egois banget dan selalu ingin kamu bela tanpa peduli keadaan kamu … keadaan keluarga kamu. Aku nggak pernah bisa ngertiin kamu.. Aku juga udah nggak peka sama masalah kamu. Aku selalu anggap hidup kita akan selalu bahagia. Padahal kita berdua lagi nggak baik-baik aja,” ujar Dhea yang kemudian menggeleng sambil menatap gue.
Gue masih speechless. Karena gue agak kaget juga Dhea mau menyadari semua itu sekarang.
“Aku nggak mau lagi kamu penuhin keinginanku terus. Sekali lagi aku minta maaf kalau aku salah.”
“Tapi…”
“Gara-gara aku, hubungan kamu sama Levi dan almarhum ibu jadi nggak baik.”
“Iya, Dhe.” Gue mengangguk paham kalau Dhea mau menegaskan lagi soal itu. “Tapi sebenernya hubungan kita gak perlu berhenti sampai di sini.”