Cinta Sampai Mati

Nakshatra B.
Chapter #44

44

~ Seandainya saja gue bisa melupakan Dhea, mungkin rasa sesal dan sakitnya kehilangan dia nggak akan sedalam ini. Tapi untungnya masih ada cinta yang tersisa untuk Dhea. Kali aja masih ada keajaiban gitu dia bisa mencintai gue lagi. ~

 

~ POV. Barra ~



Beberapa minggu kemudian…

GUE baru saja turun dari bus yang sudah berhenti di halte dekat kantor. Tapi tepat sebelum gue menurunkan kaki kanan, jantung gue seakan disambar petir di siang bolong. Gue benar-benar terkejut karena melihat Dhea di hadapan gue sekarang. Gue mengucek mata gue sekali lagi, dan berharap gue hanya berhalusinasi seperti yang sudah-sudah. Tapi sekarang Dhea benar-benar berdiri sambil menatap gue lekat.

“Eh!” Sebelum gue kejepit pintu, gue cepat-cepat turun dari bus. Supirnya pasti nggak lihat ada gue yang belum turun. Salah gue juga berdiri di ambang pintu. Lagi pula gue bukan orang penting yang harus ditunggu. Rekannya yang biasa jaga pintu juga baru sadar ada gue yang mau turun. Dari tadi dia lihat ke arah lain. Gue cuma mengurut dada memerhatikan bus itu, dan kembali menoleh ke Dhea.

Cuma cengiran tipis yang bisa gue kasih ke Dhea. Dari sorot matanya terlihat penasaran menatap gue.

Dhea kembali tersenyum dan gue jadi canggung di depannya. Gue nggak tahu kenapa dia bisa berdiri di sini. Memang, dia tahu ini satu-satunya halte bus terdekat yang bisa gue singgahi kalau mau ke kantor. Tapi apa dia datang ke sini untuk mencari gue? Jujur, gue nggak mau terlalu percaya diri sekarang. Karena kami sudah putus dan gue baru mau move on setelah gue bisa berhenti lihat LivesMe-nya hari ini. Seketika perasaan rindu gue ke dia jadi terobati karena gue bisa lihat dia di sini.

Melihat sorot matanya yang begitu tenang dan damai, sepertinya Dhea nggak cemburu sama sekali dengan gadis itu dan percaya dengan ucapan gue tadi.

“Bar, dulu aku pernah bilang kalau aku lagi cari laki-laki yang dewasa, mapan, dan bisa bimbing jalan hidup aku ke depan nanti. Sekarang aku berharap kamu orangnya, Bar. Kamu mau terima aku lagi?”

Gue syok Dhea bisa bicara seperti ini dengan sungguh-sungguh. Sebesar apa pun rasa sesal dan sakitnya kehilangan gue, mungkinkah semua itu bisa teredam oleh cinta gue yang masih tersisa untuk Dhea?

“Yaa … nggak kayak kita dulu. Tiap hari kita cuma jalan-jalan. Seneng-seneng. Padahal hidup ini nggak cuma hepi-hepi aja atau hanya sebatas konten.”

Seandainya saja Dhea tahu jantung gue sudah berdebar nggak karuan walau hanya lihat sosoknya yang jadi tambah bijaksana hari ini. Kenapa baru sekarang dia menyadari kalau waktu kami sudah terbuang untuk kesenangan sesaat saja? Yaa ... walau gue tahu itu memang bisa dimanfaatkan Dhea untuk hal positif seperti konten-konten di LivesMe-nya. Tapi dengar suara dan harapannya yang sebesar itu ke gue, hati gue lumer lagi. Gue manggut-manggut setuju saja sambil terus menatapnya.

“Waktu itu kamu berharap kita jadi lebih baik, ‘kan?”

Gue mengangguk lagi meski kali ini masih ragu-ragu apa Dhea benar-benar nggak akan menyulitkan gue lagi di masa depan hanya karena gue terlalu lemah untuk menolak semua keinginannya. Cinta ini benar-benar membunuh kebahagiaan gue sendiri.

“Kasih aku kesempatan untuk benerin semuanya, Bar. Aku memang nggak seharusnya hidup sesuka hati aku. Aku masih berharap kamu bisa jadi Imam untuk aku dan anak-anak kita nanti. Aku akan belajar jadi seperti yang kamu harapkan.”

“Serius, Dhe?” Demi apa Dhea bisa berubah demi gue dan belajar hidup sederhana? Mendengar dia menyebut kata ‘Imam’, gue jadi sedikit terenyuh karena selama ini gue selalu jadi ‘YesMan untuk mengabulkan permintaannya. Jujur, gue masih nggak bisa ngomong apa-apa. Grogi, senang, dan nggak percaya gue mendengar semua ucapan Dhea yang terdengar begitu meyakinkan ini.

Dhea mengangguk dan menatap gue lekat. “Aku juga akan coba lebih pengertian dan ngerti sama masalah kamu.”

Yang ini gue suka! Kalau memang dia bisa seperti itu, gue senang sekali! Tapi gue mengangguk saja bagai tangkai pohon yang terlalu senang mendengar suara rintik hujan. Kata-kata Dhea sungguh menenangkan jiwa gue sekarang. Senang? Jelas. “Iya, Dhe. Sebenernya tanpa kamu, aku udah nggak tahu lagi harus gimana,” seru gue sejujur-jujurnya. Karena dia kembali membangkitkan semangat gue lagi. Tapi gue berusaha untuk tetap tenang. Gue selalu bahagia kalau lihat dia ngomong di depan kamera sakunya. Siang ini dia sudah berdiri di hadapan gue lagi. Gimana gue nggak bahagia?

Gue terkejut sekali melihat Dhea bisa sedewasa ini meski kali terakhir kami berpisah masih terlihat sikapnya yang sedikit egois dan kekanak-kanakan. Kesalahpahaman kami memang karena gue terlalu memanjakannya selama ini.

“Iya, Bar. Aku juga yang salah. Karena aku terlalu mikirin konten dan diri aku sendiri. Tanpa sadar, kamu jauh lebih penting dari semua konten aku.”

Gue sontak tersanjung lagi mendengar ucapannya dan mengerjap heran. Apa iya Dhea bisa berubah demi gue?

Lihat selengkapnya