GUE baru saja mempersilakan gadis itu turun dari bus lebih dulu, dan gadis itu hanya mengukir senyum ke gue. Tepat sebelum gue menurunkan kaki kanan bersama gadis itu, jantung gue seakan disambar petir di siang bolong. Gue benar-benar terkejut karena melihat Dhea di hadapan gue sekarang. Gue mengucek mata gue sekali lagi, dan berharap gue hanya berhalusinasi seperti yang sudah-sudah. Tapi sekarang Dhea benar-benar berdiri sambil menatap gue lekat.
“Eh!” Sebelum gue kejepit pintu, gue cepat-cepat turun dari bus. Supirnya pasti nggak lihat ada gue yang belum turun. Salah gue juga berdiri di ambang pintu. Lagi pula gue bukan orang penting yang harus ditunggu. Rekannya yang biasa jaga pintu juga baru sadar ada gue yang mau turun. Dari tadi dia lihat ke arah lain. Gue cuma mengurut dada memerhatikan bus itu, dan kembali menoleh ke Dhea.
Cuma cengiran tipis yang bisa gue kasih ke Dhea. Dari sorot matanya yang terlihat penasaran ke arah gadis yang gue tolong di bus, gue seakan langsung paham pikirannya.
“Aku baru kenal gadis itu,” ucap gue polos. Entah kenapa gue malah menjelaskan soal itu.
Dhea kembali tersenyum dan membuat suasana di antara kami jadi semakin canggung.
Gue nggak tahu kenapa dia bisa berdiri di sini. Memang, dia tahu ini satu-satunya halte bus terdekat yang bisa gue singgahi kalau mau ke kantor. Tapi apa dia datang ke sini untuk mencari gue? Jujur, gue nggak mau terlalu percaya diri sekarang. Karena kami sudah putus dan gue baru mau move on setelah gue bisa berhenti lihat LivesMe-nya hari ini. Seketika perasaan rindu gue ke dia jadi terobati karena gue bisa lihat dia di sini.
Melihat sorot matanya yang begitu tenang dan damai, sepertinya Dhea nggak cemburu sama sekali dengan gadis itu dan percaya dengan ucapan gue tadi.
“Bar, dulu aku pernah bilang kalo aku sedang cari laki-laki yang dewasa, mapan, dan bisa bimbing jalan hidup aku ke depan nanti meskipun nggak ada privilege dari siapapun. Sekarang aku berharap kamu orangnya, Bar. Kamu mau kita balikan lagi nggak? Yaa … nggak kayak kita dulu. Tiap hari kita cuma jalan-jalan. Seneng-seneng. Padahal hidup ini nggak cuma hepi-hepi aja atau hanya sebatas konten.”
Seandainya saja Dhea tahu jantung gue sudah berdebar nggak karuan walau hanya lihat sosoknya yang jadi tambah bijaksana hari ini. Kenapa baru sekarang dia menyadari kalau waktu kami sudah terbuang untuk kesenangan sesaat saja? Yaa ... walau gue tahu itu memang bisa dimanfaatkan Dhea untuk hal positif seperti konten-konten di LivesMe-nya. Tapi dengar suara dan harapannya yang sebesar itu ke gue, hati gue lumer lagi. Gue manggut-manggut setuju saja sambil terus menatapnya.
“Waktu itu kamu berharap kita jadi lebih baik, ‘kan?”
Gue mengangguk lagi meski kali ini masih ragu-ragu apa Dhea benar-benar nggak akan menyulitkan gue lagi di masa depan hanya karena gue terlalu lemah untuk menolak semua keinginannya. Cinta ini benar-benar membunuh kebahagiaan gue sendiri.
“Misi aku sekarang bukan menganut paham You Only Live Once dan kita hidup dengan sesuka hati kita, Bar. Aku berharap kamu bisa jadi Imam untuk aku dan anak-anak kita nanti. Aku masih bisa belajar seperti yang kamu harapkan.”
“Serius?” Demi apa Dhea bisa berubah demi gue dan belajar hidup sederhana? Mendengar dia menyebut kata ‘Imam’, gue jadi sedikit terenyuh karena selama ini gue selalu ‘Yes’ Man untuk menjadi seperti yang dia minta atau mengabulkan permintaannya. Jujur, gue masih nggak bisa ngomong apa-apa. Grogi, senang, dan nggak percaya gue mendengar semua ucapan Dhea yang terdengar begitu meyakinkan ini.
Dhea mengangguk dan menatap gue lekat. “Aku juga akan coba lebih pengertian dan memahami masalah kamu.”
Yang ini gue suka! Kalau memang dia bisa seperti itu, gue senang sekali! Tapi gue mengangguk saja bagai tangkai pohon yang terlalu senang mendengar suara rintik hujan. Kata-kata Dhea sungguh menenangkan jiwa gue sekarang. Senang? Jelas. Karena dia kembali membangkitkan semangat gue lagi. Tapi gue berusaha untuk tetap tenang. Gue selalu bahagia kalau lihat dia ngomong di depan kamera sakunya. Siang ini dia sudah berdiri di hadapan gue lagi. Gimana gue nggak bahagia?
“Bagaimana pun, hari-hari kita yang menyenangkan juga karena kamu selalu ingin memenuhi keinginan aku. Sekarang aku nggak mau kamu terlalu mikirin aku di atas semua keadaan kamu atau hal yang kamu pikir dan harapkan untuk hubungan kita.”
Gue manggut-manggut paham.
“Bar!”
“Ya?”