~ POV. Dhea ~
“HAH? Yang bener, beb!?” Aku syok sekali waktu dengar ucapan Barra yang bicara soal keadaan ibunya sekarang.
“Iya. Aku nggak jadi ke apartemen, Dhe. Nanti aku telepon lagi.”
Nggak lama Barra langsung menutup teleponnya, Mama tiba-tiba menelepon. Mungkin karena sebelumnya aku sudah memberi kabar kalau aku baru saja pulang setelah Barra mengantarku ke mal di sekitar Panglima Polim dan kami berpisah di sana karena dia harus kembali ke kantor naik taksi beberapa jam yang lalu.
Saat mengangkat telepon dari Mama, aku hanya bisa mendengar suaranya. Namun, perasaanku masih carut marut. Aku masih terduduk lemas di tempat tidurku dan bergeming membayangkan apa yang terjadi sebenarnya di rumah Barra.
“Halo, sayaaanggg … lagi apa calon pengantin Mama yang paling cantik?”
Calon pengantin? Sekarang aku ragu bisa menikah dengan Barra kalau keadaan ibunya tiba-tiba jadi begini. Apa pernikahanku dengan Barra harus ditunda dulu sampai ibunya sembuh? Semoga kekhawatiranku ini nggak terjadi. Semoga ibu Barra baik-baik saja sekarang.
“Sayang? Kok diem? Kamu lagi apa?”
Lamunanku buyar. “Ma, maaf, aku nggak bisa telepon lama-lama.”
“Kenapa, sayang?”
“Aya naon, Dhe?” tiba-tiba suara Papa yang terdengar.
“Aku baru dapet kabar dari Barra kalo Ibunya tiba-tiba sesak napas. Aku khawatir ada apa-apa. Soalnya ibunya ada sakit jantung,” jelasku singkat.”
“Innalillahi.”
“Aku pergi dulu ke rumah Barra ya, Ma.”