Cinta Sampai Mati

Nakshatra B.
Chapter #42

42 [ Tamat ]

 Cimahi, Bandung…

SEPERTI yang sudah pernah dibicarakan Dhea, gue jadi main ke Bandung akhir pekan ini. Begitu tiba, ternyata mereka sekeluarga ada di rumah. Gue bisa melihat adik-adiknya juga ada di meja makan. Karena rumahnya memang nggak begitu besar.

“Assalamu’alaikum, Tante, Om,” sapa gue setelah menutup pintu mobil yang sudah gue parkir di halaman rumah ini.

“Wah! Beneran, Pa! Calon mantu kesayangan Mama dateng!”

Gue hanya bisa tertawa kecil mendengarnya. “Iya, Tante. Dateng lagi nih.”

Papa Dhea hanya mendengus. “Mantu kesayangan? Apa Papa kaga salah denger? Ada maunya ini pasti.”

Mama Dhea sontak mencibir. “Nggak! Papa mah bercanda aja,” kilahnya sambil kembali terkekeh masam ke arah gue.

Papa Dhea kembali tersenyum ke arah gue yang masih ikut tertawa kecil mendengar celetukannya. Karena kemarin Mama Dhea senang banget waktu gue bawa buah lontar kesukaannya. Nggak heran Papa Dhea jadi agak curiga melihatnya bersikap semanis gula

“Mangga-mangga, Bar,” seru Papa Dhea dan lamunan gue buyar.

“Maaf, saya nggak suka mangga, Om,” terang gue sambil meringis.

“Lah? Saha sing nuju nawarin mangga? Kunaon ieu teh, Ma?” tanya Papa Dhea dan dahi gue jadi mengernyit. Apa gue yang salah paham?

“Maksud si Om, silakan masuk, Bar,” terang Mama Dhea.

“Oh, iya,” sahut gue sambil terkekeh. “Makasih Om, Tante. Maaf juga kalo aku jadi ngerepotin.” Gue jadi canggung gini ketemu calon mertua. Tapi hati gue sungguh bahagia karena akhirnya mereka akan jadi mertua gue. Mudah-mudahan. Kalau Dhea memang sungguh-sungguh berubah.

“Ngerepotin naon?” tanya Papa Dhea membuyarkan lamunan gue.

“Eh, iya. Nggak ya, Om?”

“Nggak. Mana ada repot? Pan cuma ngobrol kadieu?”

Gue mengangguk paham saja.

“Tuh, Dhea lagi duduk di sofa aja,” ucap Mama Dhea sambil mengedik di depan gue.

“Siap, Tante!”

“Siap mau ngapain?” celetuk Papa Dhea penasaran.

“Eh, iya. Nggak ngapa-ngapain, Om. Maksud saya, siap nyusul ketemu Dhea.” Papa Dhea langsung mengangguk paham. Gue cuma tertawa kecil. Kayaknya gue harus berhenti ngomong seperti anak gaul di depan mereka. Gue lupa kalau ini lagi di Cimahi, bukan di Jakarta. Mungkin nanti gue akan terbiasa mendengar dan belajar bahasa asli Papa Dhea di sini.

Papa Dhea tiba-tiba berdeham. “Bar, sebelum Om pergi sama Tante, sebenarnya kami teh ada omongan saitik.”

“Ada apa, Om?”

“DHEA!”

Gue kaget banget suara Papa Dhea tiba-tiba menggelegar bak petir menyambar jantung gue sekarang. Apa gue salah ngomong? Tangannya langsung menyuruh gue duduk di kursi teras, dan gue ikut duduk di samping Dhea. Karena Papa Dhea juga memberi isyarat agar Dhea duduk di hadapan mereka.

“Kamu yakin masih mau nikah sama Barra, Dhe?” tanya Papa Dhea dengan tatapan sungguh-sungguh ke arah gue dan Dhea bergantian.

Gue dan Dhea sontak kaget mendengar pertanyaan itu. Masih siang juga. Apa Papa Dhea salah paham sampai harus tiba-tiba mempertanyakan hubungan kami lagi?

“Ya, iya, Pa. Emang kenapa, Ma?” jawab Dhea sambil melirik ke arah Mamanya dan balik menatap gue sekilas.

“Bar, apa yang bikin kamu yakin pisan mau nerusin pernikahan kalian?” kali ini giliran gue yang bingung mendengar pertanyaan Papa Dhea.

“Maaf sebelumnya. Apa ada masalah yang belum saya tahu, Om, Tante?”

“Dhea udah cerita semuanya kalo kamu juga ternyata punya hutang di bank karena surat sertifikat rumah kamu digadai. Dengan tanggungjawab sebesar itu, apa kamu yakin bisa melunasinya?”

Gue mengangguk yakin saja sekarang. Soalnya gue nggak boleh membatalkan pernikahan gue sama Dhea. Khawatir semua yang sudah gue buang jadi mubazir, karena gue nggak tahu lagi harus nikah sama siapa. “Bisa, Om! Insya Allah! Saya masih bisa menyisihkan uang untuk membayar hutang saya itu.”

“Pa, Ma. Barra ngutang juga gara-gara aku. Masa kalian nggak percaya dan masih mau nyalahin dia?”

“Papa nggak nyalahin. Papa percaya sama penjelasan kamu, tapi kunaon kamu mesti ngutang, Dhe? Eta duit nggak sedikit lho!”

“Makanya Papa jangan jadi follower aja. Sekali-kali intip juga. Mama udah tawarin dari dulu. Tapi malah minta kabar dari Mama aja. Sekarang anaknya udah mau pulang ke rumah, malah nggak jadi ngerestuin mereka sih!? Aya naon!?”

Dhea menahan tawanya saja dan tetap menatap gue dengan cinta. Yang gue tahu, Dhea nggak mau bergantung sama orangtuanya, karena mereka juga sudah punya kesulitan sendiri untuk hidup bersama adik-adiknya.

“Pokoknya kamu pan tahu Papa nggak mungkin bisa gantiin. Macem-macem pisan masalah kamu. Sahiji wae langsung muter kepala Papa.”

Lihat selengkapnya