~ Mencintai dan dicintai dengan setulus hati ternyata
nggak seberat menanggung perihnya putus sama dia. Kalau ada kesempatan untuk memperbaikinya, hujan patah hati lain pun akan gue terjang. ~
~ POV. Barra ~
Cimahi, Bandung…
SEPERTI yang sudah pernah dibicarakan Dhea, gue jadi main ke Bandung akhir pekan ini. Begitu tiba, ternyata mereka sekeluarga ada di rumah. Gue bisa melihat adik-adiknya juga ada di meja makan. Karena rumahnya memang nggak begitu besar.
“Assalamu’alaikum, Tante, Om,” sapa gue setelah menutup pintu mobil yang sudah gue parkir di halaman rumah ini.
“Walaikumsalam. Pa! Calon mantu kesayangan Mama dateng!”
Gue hanya bisa tertawa kecil mendengarnya.
Papa Dhea hanya mendengus. “Mantu kesayangan? Papa teu salah denger nya? Aya maunya ieu pasti, kan mereka udah putus, Ma.”
Mama Dhea sontak mencibir. “Papa mah bercanda aja” kilahnya sambil kembali terkekeh masam ke arah gue.
Papa Dhea kembali tersenyum ke arah gue yang masih ikut tertawa kecil mendengar celetukannya. Karena kemarin Mama Dhea senang banget waktu gue bawa buah lontar kesukaannya. Nggak heran Papa Dhea jadi agak curiga melihatnya bersikap semanis gula
“Mangga-mangga, Bar,” seru Papa Dhea dan lamunan gue buyar.
“Maaf, saya nggak suka mangga, Om,” terang gue sambil meringis.
“Lah? Saha sing nuju nawarin mangga? Kunaon ieu teh, Ma?” tanya Papa Dhea dan dahi gue jadi mengernyit. Apa gue yang salah paham?
“Maksud si Om, silakan masuk, Bar,” terang Mama Dhea.
“Oo, siap, Om!” sahut gue sambil terkekeh. Gue jadi canggung gini ketemu calon mertua. Tapi hati gue sungguh bahagia karena akhirnya mereka akan jadi mertua gue. Mudah-mudahan. Kalau Dhea memang sungguh-sungguh berubah.
“Siap naon? Pan cuma ngobrol di dieu?” tanya Papa Dhea membuyarkan lamunan gue.
“Aku sama Barra pergi dulu ya, Ma.”
“Eh, iya. Nggak ngapa-ngapain, Om. Maksud saya, siap nyusul ketemu Dhea.” Papa Dhea langsung mengangguk paham. Gue cuma tertawa kecil. Kayaknya gue harus berhenti ngomong seperti anak gaul di depan mereka. Gue lupa kalau ini lagi di Cimahi, bukan di Jakarta. Mungkin nanti gue akan terbiasa mendengar dan belajar bahasa asli Papa Dhea di sini.
Papa Dhea tiba-tiba berdeham. “Sakedap wae! Om geus ngomong sama kamu, Bar.”
“Ada apa, Om?”
Nggak lama, gue sudah duduk di hadapan Papa dan Mama Dhea. Gue penasaran mendengar reaksinya setelah gue ceritakan maksud kedatangan gue.
“Kamu yakin masih mau nikah sama Barra, Dhe?” tanya Papa Dhea dengan tatapan sungguh-sungguh ke arah gue dan Dhea bergantian.
Gue dan Dhea sontak kaget mendengar pertanyaan itu. Masih siang juga. Apa Papa Dhea salah paham sampai harus tiba-tiba mempertanyakan hubungan kami lagi?
“Ya, iya, Pa. Emang kenapa, Ma?” jawab Dhea sambil melirik ke arah Mamanya dan balik menatap gue sekilas.
Tapi gue juga bingung mendengar pertanyaan Papa Dhea. “Ada masalah apa, Om?”
“Dhea udah cerita semuanya kalau kalian teh pisah gara-gara dia bikin masalah ke keluarga kamu.”
Gue agak syok mendengarnya. “Ooh…”
“Dia juga udah bilang kalau kamu ternyata punya hutang di bank karena mobil ibu kamu digadai.”
Gue tersentak, dan mau nggak mau gue mengangguk. “I-iya, Om,” ucap gue seraya melempar pandangan gue ke lantai dan berharap kedatangan gue bisa menikahi Dhea nggak ditolak Papanya.
“Pa, Ma. Barra ngutang gara-gara aku. Biar aku juga ikut tanggungjawab dan bantu lunasin hutangnya. Aku nggak mau dia nanggung sendirian.”
Gue benar-benar agak terkejut Dhea bisa bilang seperti itu. Gue menatapnya lekat. Mencintai dan dicintai dengan setulus hati ternyata nggak seberat menanggung semuanya seorang diri. Terima kasih, Dhea. Karena kamu mau bertahan sama aku. Kita akan lewati semua masalah ini sama-sama.
“Papa teu nyalahin kamu,” ucapan Papa Dhea sontak menghapus lamunan indah gue. “Papa percaya sama penjelasan kamu, tapi kunaon kamu mesti ngutang, Dhe? Eta duit teu sedikit.”
“Makanya Papa jangan jadi follower aja. Sekali-kali intip juga. Mama udah tawarin dari dulu. Tapi malah minta kabar dari Mama aja. Sekarang anaknya udah ada masalah dan mau pulang ke rumah, malah nggak jadi ngerestuin mereka sih!? Aya naon!?”
Dhea menahan tawanya saja karena Bu Lara mengikuti bahasa Sundanya dan tetap menatap gue dengan cinta. Yang gue tahu, Dhea nggak mau bergantung sama orangtuanya, karena mereka juga sudah punya kesulitan sendiri untuk hidup bersama adik-adiknya.
“Pokoknya kamu pan tahu Papa teu mungkin bisa gantiin. Macem-macem pisan masalah kamu, Dhe. Sahiji wae langsung muter kepala Papa.”
“Namanya juga untuk kebutuhan. Itu yang terakhir, Pa.”
“Ya, katanya geus bisa mandiri, masih bae ngarepotkeun orang.”
“Nggak apa-apa, Om, Tante. Aku sama Dhea lagi coba belajar menata hubungan dan keuangan kami lagi. Jadi, yang udah berlalu biarlah berlalu. Kami cuma mau minta doa restu spaya semuanya dilancarkan.”
Dhea mengangguk sambil meringis. “Iya, Ma, Pa. Mohon doa restunya, ya? Aku nggak akan bikin masalah lagi. Jadi, jangan salahin Barra kalau aku tunda dulu pernikahan kami tahun ini. Soalnya aku harus bantu Barra ngelunasin hutang-hutangnya sampai kami siap untuk nikah.”
Gue setuju soal itu. Karena ini bukan sepenuhnya salah dia juga, dan gue cuma bisa tersenyum dan mengangguk karena gue nggak mau memperkeruh percakapan kami. Ya. Kalau seandainya gue bisa ngerem pengeluaran gue dan nggak menuruti keinginannya, akhirnya nggak akan jadi begini.
“Ya, udah. Papa restuin hubungan kalian.”
Bu Lara ikut mengangguk, dan gue lega sekali melihatnya.
“Tapi hatur nuhun ya, Barra. Udah mau direpotkeun anak Om sama Tante.”
“Dengan senang hati, Om.”