~ Bahagia memang sebuah pilihan. Tapi gue pengin dia tetap sayang dan mau mendengarkan suara hati gue. Walau cuma satu detik aja. Tapi itu cukup berharga buat gue. ~
~ POV. Barra ~
PAS di kantor, gue kembali cek mutasi rekening dan gue nggak percaya lihat angkanya. Soalnya gue yakin banget dua minggu lalu masih ada duit 15 juta. Tapi setelah gue ingat-ingat lagi pengeluaran gue bareng Dhea, kayaknya memang banyak, dan gue hampir pakai uang gadai surat rumah semuanya untuk menutupi pengeluaran gue karena gaji gue selalu habis tiap bulan.
Gue melirik ke Dhea yang masih duduk di hadapan gue. Berhubung dia lagi sibuk bikin konten, seperti biasanya gue cuma bisa nunggu dia selesai cuap-cuap.
Kontennya memang macam-macam sih. Ada dari makanan, traveling, sama obrolan-obrolan soal seputar relationship gitulah. Pusing gue langsung hilang kalau lihat dia semangat terus bikin konten begini. Karena gue mendukung banget kerjaannya. Gue cuma bisa senyam-senyum kalau memerhatikan dia dari jarak sedekat ini.
Gue sama Dhea juga sudah bilang ke vendor soal tanggal pernikahan kami. Ibu sama orangtua Dhea juga setuju-setuju saja kami akan pakai gedung dan vendor dari mana saja.
Masalahnya, kayaknya gue nggak hitung dengan benar pengeluaran gue selama gue sama Dhea foto-foto pra-wedding sampai jalan-jalan kami beberapa minggu yang lalu ke beberapa tempat wisata. Untung Dhea setuju kalau kita cari lokasi untuk foto-foto dengan pemandangan bagus dan nggak perlu biaya sewa lagi. Tapi kayaknya nggak sebanyak ini deh pengeluaran gue. Gue pikir-pikir lagi. Apa iya gue sama Dhea ngabisin uang sebanyak ini? Gue terus lihat sisa uang dan mutasi dalam mobile banking ponsel gue.
Cuma buat makan, bensin, apartemen Dhea, cicilan dua mobil gue, shopping, perawatan skincare, pesta tunangan, dan urusan pernikahan kami. Tapi setelah gue telusuri lagi, ternyata jumlahnya banyak juga. Selain untuk booking gedung, wedding organizer, dan singer, gue juga sudah pesan pakaian untuk kami sekeluarga, dan teman-teman kami yang akan jadi bridemaids sama groommaids, suvenir gelas yang ada nama kami, juga catering, fotografer, dan wedding photo packages. Semuanya baru gue DP. Gue tinggal pikirin cara lunasinnya gimana nanti. Soalnya gue nggak mau pakai sisa uang pinjaman waktu itu. Khawatir gue masih butuh dana untuk hal-hal darurat lainnya.
Gue harus bisa lebih hemat demi acara pernikahan gue sama Dhea nanti. Kalau perlu gue bawa bekal dari ibu ke kantor deh. Di kantor juga nggak ada yang peduli kalau gue makan bekal di ruangan gue sendiri.
“Kamu kenapa, sayang?”
Gue tersentak Dhea sudah menatap gue lekat. “Nggak. Nggak apa-apa.”
“Kok pucet gitu? Sakit?”
Gue nggak mungkin ngomong ke Dhea soal keuangan gue yang semakin tiris. Apalagi itu masalah sensitif. Kali terakhir gue ungkap, dia kelihatan khawatir. Tapi kalau gue bilang, apa hubungan gue akan bubar? Nggak, nggak. Kayaknya gue masih bisa selesaikan sendiri.
“Nggak kok. Baik-baik aja. Aman.”
Dhea mengangguk lega. “Apanya yang aman, sayang?” tanyanya kembali penasaran.
Gue seketika sadar ucapan gue semakin melantur ke masalah gue. “Cinta kita.”
Dhea langsung terkekeh bahagia. “Iih, kamu! Kirain ada yang serius. Nanti jangan lupa transfer ya, sayang? Aku mau benerin cat rambutku nih. Udah mulai nggak sama di atasnya. Aku ganti bulan depan ya. Mudah-mudahan aku bisa jadi model iklan makanan.”
“Oke, sayang.” Kira-kira berapa lagi ya? Kalau bulan lalu 800 ribu, apa kali ini segitu juga? Rambut lurusnya sudah makin panjang. Mudah-mudahan nggak lebih mahal dari tiga bulan lalu. Tapi kayaknya dia belum ganti uang pengeluarannya bulan lalu. Gue tunggu lagi aja.
Gue menghela napas. Kenapa gue jadi perhitungan gini sama cewek gue sendiri? Lupakan, lupakan. Allah sudah mengabulkan doa gue selama ini, masa gue harus sia-siakan dia? Kalau pengeluarannya yang banyak, berarti gue yang harus kerja lebih keras biar bisa dapat bonus tiap bulan. Demi Dhea.
***