~ Kali ini dia harus bisa menerima gue apa adanya. Daripada gue cuma bisa makan nasi kepal tiap hari, lebih baik gue jadi diri gue sendiri aja sekarang. Karena gue bukan Barra yang keuangannya selalu ready lagi. ~
~ POV. Barra ~
7 September 2024
MALAM ini gue pulang telat lagi, karena seharian harus menemani Dhea jalan-jalan dan Levi sudah menatap gue dengan pandangan heran waktu gue menjejakkan kaki di ruang tamu.
“Kenapa lo? Pusing?” celotehan Levi sontak menghentikan langkah gue. Tapi gue malas menggubrisnya.
“Gue udah bilang, ini demi kebaikan lo, Bar. Soalnya cewek lo itu ibarat banyak rencana, tapi nggak ada dana. Apa nggak jadi bencana? Yaa … kalau pun ada rezeki juga pasti habis lagi.”
Gue cuma bisa menyesali kenapa dulu gue nggak percaya sama Levi. Kalau bukan karena nasehat ibu yang ingin hubungan kami tetap akur, gue nggak akan ragu lagi menepis ucapannya. Karena masalah gue sudah terlanjur ada. Kalau putus juga nggak akan menyelesaikan masalah gue.
“Tapi kalo gue salah menilainya, gue minta maaf ya, Bar. Gue cuma bilang apa yang jadi kenyataan di depan kita sekarang. Soalnya akhir-akhir ini gue nggak lihat mobil lo. Jadi, jaga diri baik-baik, Bar. Jangan sampai lo kehilangan semuanya demi cinta.”
Gue bingung harus bagaimana lagi menjelaskan ke Levi kalau gue mencintai Dhea, dan semua nasehatnya hanya menambah emosi gue. Karena dia nggak pernah salah. Gue yang sudah salah menaruh hati tanpa bisa menjaga hubungan gue agar bisa jadi lebih sehat. Gue yang sudah salah karena masih terus berharap dia bisa mengerti gue. Mau bepergian naik angkot, naik becak, atau naik sampan sekalipun asalkan gue masih bisa jadi kekasihnya, badai apapun gue terjang. Gue selalu nggak mengindahkan pikiran Levi waktu dia lihat gue semalam pulang naik taksi. Gue hanya khawatir kalau Dhea pulang sendirian. Waktu kami tiba apartemennya saja sudah jam sembilan malam.
***
Keesokan harinya…
Gue sudah kepikiran untuk ngobrolin masalah gue saat Dhea jemput gue di rumah, karena dia masih bawa mobil gue semalam. Kalau memang dia nggak seperti yang Levi pikirkan, dia pasti akan menerima. Gue harap sore ini dia tahu kebiasaan kami yang seringkali makan di restoran sudah jadi masalah untuk keuangan gue.
Karena mungkin yang dibilang Levi ada benarnya juga. Kalau kami punya banyak rencana untuk jalan-jalan terus, dan uang gue sudah mulai menipis, rasanya nggak mungkin gue biarkan kebiasaan ini berlanjut. Mobil yang gue kasih ke Dhea juga sudah gue antar ke dealer dengan harapan bisa segera terjual.
Sejak awal gue hanya nggak paham sama pola pikir Levi. Bukannya support gue ke Dhea adalah bentuk kewajaran? Namun seiring waktu berjalan, gue baru terbersit keinginan kalau kehidupan gue sama Dhea setelah kami menikah nanti memang harus dibahas sekarang. Gue juga nggak mau kebiasaan kami nanti jadi bumerang untuk masa depan kami.
Gue harus putar otak biar Dhea nggak marah sama gue kalau gue utarakan keberatan gue ini. Tapi kalau lihat dia sebahagia ini bikin konten, gimana caranya gue bisa bahas masalah gue tanpa menyinggungnya? Senyumnya waktu dia menatap kamera sudah cukup membuat gue bahagia.
“Hmm … sayang … kalau kita nikah, kamu masih mau jadi konten kreator?” Dhea langsung mendelik heran ke arah gue. Gue bukan ingin mengalihkan perhatian, tapi kayaknya dia memang harus tahu soal ini juga supaya keuangan gue nggak ketar-ketir lagi bulan depan. Tapi kalau gue jelaskan sekarang, mau di bawa ke mana harga diri gue sebagai laki-laki? Gue nggak mau dianggap laki-laki yang nggak bisa bertanggungjawab hanya karena nggak punya uang untuk bayar cicilan-cicilan kami, dan jadi numpang hidup sama dia. Ah, nggak-nggak. Kali ini dia memang harus tahu sebelum cicilan gue semakin menumpuk seperti pakaian kotor sepulang gue survei lokasi di luar negeri. “Maksudku, apa kamu nggak mau punya kerjaan yang lain?”