Ardi duduk di sudut paling terpencil dari sebuah kafe yang berusaha keras terlihat aesthetic dengan pencahayaan minim, sebuah ironi mengingat terangnya harga-harga di menunya. Lampu-lampu temaram itu memang sukses menciptakan suasana romantis artifisial bagi beberapa pasangan, namun bagi Ardi, cahaya itu hanya memperjelas betapa buramnya prospek keuangan masa depannya. Denting sendu lagu indie-akustik yang memenuhi ruangan berpadu dengan desisan mesin espresso, menciptakan simfoni keputusasaan yang sayangnya sangat relevan dengan isi dompet Ardi. Bahkan hembusan napas para pelanggan pun terdengar berat, seolah mereka sedang mempertimbangkan pilihan hidup yang sama sulitnya: memesan kopi kekinian atau membayar tagihan listrik yang sudah jatuh tempo.
Di hadapannya, segelas latte dengan hiasan latte art berbentuk hati yang lebih menyerupai anatomi ginjal perlahan kehilangan keindahan buihnya, sama seperti harapannya untuk melamar Dina dengan sempurna. Di dalam genggaman tangannya yang berkeringat, sebuah kotak beludru kecil terasa bergetar, seolah cincin di dalamnya mendesaknya untuk segera bertindak sebelum saldo PayLater-nya benar-benar mencapai titik nadir. “Cepatlah, Bro,” bisik kotak itu dalam hati Ardi, “sebelum kamu harus menjual ginjalmu yang sebenarnya untuk membeli cincin yang lebih layak!”
Mata Ardi bergerak gelisah, mengamati sekeliling kafe yang menjadi saksi bisu kegalauan anak muda zaman sekarang. Di meja sebelah, sepasang kekasih asyik merekam konten TikTok dengan senyum palsu dan caption #KopiDuluBaruMenikah, sebuah ironi mengingat kopi Ardi sendiri terasa pahit seperti kenyataan hidup. Di sudut lain, seorang freelancer tampak frustrasi menatap layar laptopnya, di mana notifikasi “Maaf, gaji kamu belum bisa dicairkan” terpampang jelas, seolah menjadi mantra penolak rezeki bagi generasi serba digital ini.
Ardi kembali menatap kotak cincin di tangannya. Perjuangannya untuk mendapatkan benda kecil ini cukup heroik, setidaknya dalam skala anggaran terbatasnya. Dua minggu penuh ia habiskan berselancar di dunia maya, membandingkan kilau berlian imitasi dari toko perhiasan daring hingga penawaran cincin preloved dari akun-akun reseller di media sosial. Pada akhirnya, akal sehat (dan saldo rekening yang menipis) membawanya pada pilihan paling rasional: cincin titanium dengan diskon 70% dan embel-embel menggoda “Cincin Lamaran Hemat, Cinta Tetap Nikmat.” Ia berharap Dina tidak akan terlalu mempermasalahkan label harga yang mungkin masih menempel samar di bagian dalamnya.
Seorang barista mendekatinya, senyumnya tulus namun matanya menyimpan sedikit rasa iba, seolah ia bisa membaca riwayat transaksi PayLater Ardi yang penuh dengan tanggal jatuh tempo berwarna merah. “Maaf, Kak, pesanan tambahan toast avocado-nya belum bisa kami proses karena sistem PayLater Kakak belum diverifikasi ulang,” ujar barista itu dengan nada menyesal.
Ardi hanya bisa mengangguk kaku, berusaha menyembunyikan rasa malu yang membakar pipinya. “Nggak apa-apa, Mas. Saya kenyang kok… kenyang dengan harapan.” Ia mencoba menyelipkan sedikit humor di tengah situasi yang terasa seperti lelucon pahit.
Barista itu tersenyum simpatik, lalu berbalik sambil membawa kembali sepotong roti tawar yang gagal menjadi saksi bisu momen bersejarah dalam hidup Ardi. Ardi menghela napas panjang. Setidaknya kopi di hadapannya masih aman, meskipun rasanya kini lebih mirip perpaduan antara penantian cinta yang penuh harap dan jeritan dompet yang kekeringan.
Tiba-tiba, dari kejauhan, sosok yang ditunggunya muncul. Dina. Rambutnya dikuncir seadanya, menyiratkan kesederhanaan yang selalu Ardi kagumi. Ia mengenakan totebag lusuh dengan tulisan provokatif “Stop Overthinking, Start Nyicil,” sebuah nasihat yang ironisnya sedang berusaha keras diabaikan oleh Ardi. Langkah Dina mantap, penuh percaya diri, seperti seorang wanita yang tidak menyadari bahwa sebentar lagi hidupnya akan berubah drastis… menjadi serangkaian cicilan bersama Ardi.
“Sorry ya, macet,” kata Dina sambil mendudukkan diri di kursi kosong di depan Ardi. “Tadi ada truk bawa kulkas mogok. Tengah jalan!”
Ardi tersenyum gugup, berusaha menutupi kegelisahannya dengan sedikit candaan. “Mungkin kulkasnya juga lelah dibuka-buka doang tapi nggak jadi makan apa-apa.”
Dina tertawa. Tawa renyah itu, meskipun sederhana, mampu menenangkan badai kecemasan di hati Ardi. Ia yakin. Inilah saatnya. Tidak ada waktu yang lebih tepat (atau lebih mendebarkan secara finansial) untuk mengajukan pertanyaan penting itu.
Sambil mencoba menyembunyikan gemetar di tangannya, Ardi menyesap kopinya yang kini sudah dingin dan terasa seperti es kopi sisa semalam. Ia memastikan tidak ada buih susu yang menempel di giginya, lalu dengan gerakan hati-hati seperti seorang ahli bedah yang akan melakukan operasi penting, ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan kotak beludru berisi cincin harapan.
Namun, tepat ketika ia hendak membuka mulut, suara nyaring alarm notifikasi dari ponselnya memecah keheningan yang tercipta. Layar ponselnya menyala, menampilkan pesan yang membuatnya lemas seketika: “Tagihan PayLater Anda jatuh tempo hari ini.”
Suasana di meja mereka mendadak hening. Lagu latar di kafe seolah mengerti situasi tragis yang sedang dialami Ardi, berubah menjadi instrumen sendu yang menusuk kalbu. Dina melirik ke arah ponsel Ardi, lalu menatapnya dengan ekspresi yang berusaha keras menyembunyikan rasa penasaran yang membuncah.