Di sore yang tenang tapi panasnya kayak tagihan listrik akhir bulan, Ardi dan Dina duduk berdampingan di sebuah warung kopi dekat kantor. Bukan kafe estetik macam tempat lamaran mereka dulu, tapi warung sederhana dengan meja kayu mengkilap karena minyak goreng dan suasana yang... jujur, lebih mirip tempat curhat daripada tempat kencan.
“Jadi,” Ardi membuka pembicaraan sambil menyeruput es teh manis yang lebih banyak gulanya daripada harapannya, “aku tadi lihat ada brosur KPR dari bank. Lumayan, katanya bunga fix lima tahun.”
Dina menoleh dengan antusias, “Fix lima tahun? Habis itu... gratis?”
Ardi melongo. “Hah? Enggaklah. Habis itu bunga mengambang. Tapi ya tetap harus nyicil, Din.”
“Oh... kupikir itu kayak promo Indomaret, bayar lima dapet enam,” jawab Dina polos sambil mengunyah gorengan.
Ardi tertawa pendek. “Enggak, Din. Ini bukan beli sabun cuci. Ini rumah. KPR. Kredit Pemilikan Rumah.”
Dina terdiam, menimbang. “Tapi rumahnya yang kayak gimana, Di? Jangan-jangan tipe 21 tapi harga kayak vila di Bali.”
“Nggak dong,” jawab Ardi. “Tadi aku lihat di brosur, ada yang tipe 36/60. Dua kamar, satu kamar mandi, ada ruang tamu kecil, dapur minimalis... dan halaman belakang cukup buat jemur baju kalau nggak hujan seminggu penuh.”
“Wow. Kayaknya lebih luas dari tempat kos kita digabung, ya.”
“Jelas. Dan harganya juga... lebih luas,” jawab Ardi sambil memperlihatkan brosur.
Dina membacanya dengan seksama, matanya membulat. “Harga mulai 500 juta?! Ardi, kita baru aja bisa nyicil Netflix legal bulan lalu!”
“Iya, tapi kan bisa dicicil. Ini bukan langsung bayar cash. Cicilan per bulan sekitar 3 juta, tergantung tenor dan DP.”
Dina mengangkat alis. “DP? Itu singkatan dari ‘Doa Pagi’ biar kuat bayar cicilan?”
Ardi memukul dahinya pelan. “Din... Down Payment. Uang muka.”
“Ooooh. Ya ampun, bahasa finansial tuh kayak K-pop. Sama-sama bikin aku bingung dan pengin nangis.”
Mereka terdiam sesaat. Gorengan di piring semakin dingin, tapi diskusi mulai memanas.
“Gini, Din. Aku serius. Kita butuh rumah. Sekarang kan masih tinggal masing-masing, nanti kalau nikah masa iya numpang sama orang tua? Lagian, rumah juga investasi.”
Dina menatap Ardi lama. “Aku setuju.”