Dina duduk di ruang tunggu bank dengan wajah cemas, jari-jari tangannya sibuk memainkan ujung totebag bertuliskan "Menabung Bukan Karena Sisa, Tapi Karena Terpaksa." Di sebelahnya, Ardi tampak santai, meski keringat di pelipisnya berkata lain.
“Aku kira... akad itu cuma di pelaminan,” bisik Dina, melirik ke arah papan kecil bertuliskan Ruang Akad Kredit.
Ardi terkekeh pelan. “Ya... ternyata ada juga akad yang bikin deg-degan tapi nggak ada catering-nya.”
Seorang pegawai bank keluar, memanggil nama mereka. Dina menatap Ardi. “Kamu yakin ini nggak kayak perjanjian jual diri?”
“Nggak kok. Ini cuma... kayak janji suci, tapi dengan bunga efektif flat kombinasi anuitas,” jelas Ardi dengan senyum pasrah.
Mereka masuk. Di dalam, seorang petugas bank duduk dengan senyum penuh birokrasi. Di meja, tumpukan dokumen setebal skripsi tersusun rapi. Dina langsung merasa seperti akan ujian negara.
“Selamat pagi, Pak Ardi, Bu Dina. Kita mulai proses akad kreditnya, ya. Sebelumnya, saya ingin memastikan bahwa Bapak dan Ibu sudah membaca dan memahami seluruh isi dokumen ini.”
Dina menelan ludah. “Sebanyak ini? Saya kira cuma tanda tangan doang.”
Petugas itu tertawa sopan. “Kami memang menganjurkan untuk dibaca semua. Ini mencakup klausul denda keterlambatan, bunga mengambang, serta hak dan kewajiban Bapak dan Ibu selama masa kredit 20 tahun ke depan.”
“Dua puluh tahun?” Dina spontan. “Itu sama kayak... kayak... dua dekade hidup!”
Ardi menepuk lututnya. “Santai, Sayang. Anggap aja kayak pelihara anak. Tapi anaknya rumah. Dan nggak bisa protes kalau kita jarang pulang.”
Petugas hanya tersenyum. Ia lalu mulai membaca poin-poin penting: biaya notaris, appraisal, asuransi jiwa, asuransi kebakaran, biaya administrasi, biaya admin untuk biaya admin...
“Sebentar, Pak,” potong Dina. “Itu... biaya administrasi untuk administrasi, maksudnya gimana?”
Petugas bank menjelaskan panjang lebar, tapi di telinga Dina, suaranya terdengar seperti mesin printer kehabisan tinta.
Satu jam berlalu.
Dina sudah mulai kehilangan fokus. Pandangannya kosong menatap halaman demi halaman, sesekali tanda tangan dengan rasa lelah seperti mengisi formulir UNBK.
Ardi tampak lebih fokus, tapi hanya karena dia sibuk menghitung: Kalau satu bulan bayar segini, dikali 240 bulan... terus bunga segitu... Wajahnya pucat.
“Sayang,” bisik Dina, “kalau kita gagal bayar, rumahnya diambil, kan?”
Ardi mengangguk pelan.
“Kalau kita cerai, rumahnya jadi punya siapa?”
Petugas bank tiba-tiba menjawab, “Itu tergantung perjanjian pra-akad, Bu. Bisa dibuat kesepakatan bahwa rumah dibagi dua, atau salah satu melanjutkan cicilan.”
Dina membelalak. “Lho? Ini akad KPR atau akad cerai?”
“Bu... di dunia KPR, semuanya harus dipertimbangkan,” jawab petugas dengan wajah datar.
Beberapa menit kemudian, mereka masuk ke sesi tanda tangan kontrak. Ardi menggenggam tangan Dina sejenak sebelum memulai.
“Ini dia, Din. Momen sakral. Bukan ijab kabul, tapi... ijab cicilan.”
“Cincin pernikahan cuma segram emas,” kata Dina pelan. “Tapi kertas ini... beratnya satu ton beban hidup.”