Cinta Segitiga: Aku, Kamu dan Cicilan KPR

Tresnawati
Chapter #5

Kunjungan Mendadak dari Mertua

Pernikahan Ardi dan Dina tidak diiringi iring-iringan mobil mewah atau pesta resepsi di gedung ber-AC. Tidak ada band pengiring, hanya speaker pinjaman dari masjid sebelah yang kadang mendadak feedback kalau mic-nya terlalu dekat kipas angin. Bunga papan ucapan pun hanya dua: satu dari keluarga besar, satu lagi dari bank yang memberi ucapan selamat atas akad kredit mereka.

Alih-alih menyewa gedung, mereka menyulap garasi rumah orang tua jadi tempat akad. Meja kayu dilapisi taplak bermotif bunga, kursi plastik disusun rapi, dan nasi box dibagikan tanpa antrean—karena tamunya hanya kerabat dekat dan tetangga RT.

“Yang penting sah,” kata Ardi waktu itu, sambil menandatangani surat nikah dan mengecek notifikasi DP rumah yang baru saja ditarik otomatis dari rekening tabungannya.

Dina hanya tertawa kecil. “Iya, sah dulu. Sofa nanti.”

Dan begitulah mereka menikah. Sederhana, tapi sah. Seperti janji mereka: rumah boleh belum mewah, tapi cinta harus lunas duluan.

Rumah baru mereka terletak di ujung perumahan yang masih setengah jadi. Setengah jadi dalam arti: setengah rumah belum dihuni, dan setengah lainnya belum selesai dicat. Tapi bagi Ardi dan Dina, itu adalah istana. Dengan DP yang bikin dompet menipis dan cicilan 20 tahun yang baru dimulai, rumah 36 meter persegi itu terasa seperti langkah pertama menuju mimpi yang—kalau dibayar tepat waktu—bisa jadi kenyataan.

Minggu pertama setelah pindah, segalanya masih terasa seperti bulan madu. Mereka masak bareng, nonton film dengan laptop di lantai karena sofa belum terbeli, dan memandangi plafon sambil berimajinasi: “Nanti kalau punya anak, tempat tidurnya di situ, ya?” atau “Kalau rezeki lebih, kita naikkin jadi dua lantai.”

Tapi seperti semua hal manis dalam hidup, ketenangan itu tidak bertahan lama. Karena datanglah ujian rumah tangga pertama mereka… dalam wujud: kunjungan mendadak dari mertua.

Pagi itu, Ardi baru saja selesai mengganti galon air ketika terdengar suara bel berbunyi. Bunyi bel rumahnya memang unik—bukan "ting-tong" biasa, melainkan suara anak kecil yang merekam, “Assalamualaikum, buka dooong…”

Dina membuka pintu, dan di baliknya berdiri sepasang wajah yang tak asing: ibunya dan ibu Ardi, lengkap dengan tas jinjing dan tatapan penuh inspeksi.

“Surprise! Kami mau nginep semalam ya, Nak. Pengen lihat rumah barunya,” kata Ibu Dina dengan semangat ala ketua arisan yang baru menang doorprize.

Ardi langsung panik, meskipun wajahnya berusaha tenang seperti orang yang pura-pura paham isi dokumen KPR.

“Iya, Bu… Silakan masuk,” katanya sambil buru-buru menyembunyikan tumpukan kardus yang belum sempat dibuang. Di dalam hatinya, ia berdoa semoga ibu tidak minta tur keliling—karena "keliling" rumah ini berarti hanya tiga langkah ke dapur dan satu putaran kecil di kamar mandi.

Dan benar saja, tidak butuh waktu lama sebelum Ibu Dina berdiri di tengah ruang tamu (alias ruang tengah yang juga ruang makan sekaligus ruang jemur) sambil berseru:

“Wah… rumahnya mungil ya. Minimalis banget. Sampe aku jalan dua langkah, udah nyampe ke kulkas!”

“Konsepnya open space, Bu,” jawab Dina, mencoba terdengar meyakinkan, padahal kulkas memang dipaksa masuk karena dapur kekecilan.

Lalu mulailah sesi evaluasi tak tertulis dari dua ibu mertua: dari letak kompor yang terlalu dekat dengan tumpukan panci, lampu kamar mandi yang ‘terlalu dingin warnanya’, sampai ke hal yang paling mengejutkan…

“Lho, tagihan listrik bulan ini kok satu juta lebih?” seru Ibu Ardi dengan alis terangkat seperti harga cabe rawit naik.

Dina membeku. Ardi juga. Mereka berdua saling melirik seperti baru sadar bahwa mereka belum pernah ngecek meteran listrik sejak pindah.

“Serius, Bu? Nggak mungkin segitu... Kita cuma pakai kipas angin dan rice cooker,” kata Ardi.

“AC nggak ada? Setrika juga jarang dipakai? Kok bisa sih?” lanjut ibu Dina, sekarang menggenggam meteran listrik digital dengan ekspresi seolah itu alat pendeteksi dosa.

Dina mencoba menenangkan. “Mungkin salah catat, Bu. Nanti dicek lagi…”

Tapi ibu tidak puas. Ia ambil kursi plastik, duduk di bawah meteran, dan mulai mencatat angka digitalnya pakai pulpen dan buku nota warung.

“Ini... kalo angka segini, berarti tiap hari ada yang nyolokin charger terus-menerus. Kalian jangan-jangan tidur sambil nonton YouTube?”

Ardi menelan ludah. Dina melirik ke pojokan, tempat colokan terminal berisi tiga charger HP, satu untuk kipas angin mini, satu humidifier, dan satu lampu tumblr yang katanya bikin suasana tidur lebih ‘healing’.

“Ya... kadang,” jawab Ardi pelan.

Lihat selengkapnya