Cinta Segitiga: Aku, Kamu dan Cicilan KPR

Tresnawati
Chapter #6

Sahabat Lama Masalah Baru

Hari Minggu yang seharusnya menjadi oase ketenangan di tengah gurun rutinitas kerja, bertransformasi menjadi medan pertempuran brosur, invasi balon gas berwarna-warni, dan dominasi suara seorang MC yang energinya melampaui sambutan pahlawan Olimpiade yang baru saja memenangkan medali emas ganda. Ardi, dengan kaus oblong lusuh andalannya, dan Dina, yang berharap bisa sekadar window shopping properti sambil mencuci mata dari pemandangan kota dan mencuci pikiran dari tumpukan tagihan yang menggunung, mendapati diri mereka tersedot ke dalam pusaran dunia pameran properti yang absurdnya sudah di level meta.

"Ini kenapa ya, mereka nawarin diskon sepuluh persen buat uang muka rumah tuh kayak lagi bagi-bagi kupon promo es kopi susu?" gerutu Dina, matanya nanar menatap spanduk raksasa yang berteriak, 'Hunian Impian, Cicilan Ringan Menggoda Iman!' dengan font Comic Sans yang entah kenapa terasa mengancam.

"Ya namanya juga marketing, Din. Mereka itu seniman persuasi tingkat dewa. Rumah aja bisa mereka jual kayak lagi nawarin gorengan anget di pinggir jalan. 'Tiga juta aja, Bu! Anget-anget! Rumah tipe tiga puluh enam, sisa dua unit!'" balas Ardi, sambil membolak-balik brosur yang ilustrasinya didominasi gambar pohon rindang dan hamparan rumput hijau, seolah penghuninya nanti akan lebih sering berinteraksi dengan ekosistem daripada dengan tetangga sebelah.

Tiba-tiba, di tengah riuhnya suara MC yang mempromosikan "Investasi Cerdas untuk Generasi Milenial Z Alpha" dan hiruk pikuk calon pembeli yang berebut brosur gratisan, sebuah suara yang familiaritasnya menusuk gendang telinga Ardi dan Dina bagai petir di siang bolong menggelegar.

“ARDIIII! Ya ampun, ini beneran kamu? DAN... DINA? Astaga naga bonar! Dunia ini memang selebar daun kelor yang tersangkut di gigi!”

Dina dan Ardi, yang sedang asyik mengamati maket perumahan dengan miniatur mobil-mobilan yang lebih kecil dari kuku jari, menoleh hampir secara sinkron. Di hadapan mereka berdiri tegak seorang pria yang rambutnya disisir klimis ke samping, mengingatkan pada asisten dosen ekonomi yang selalu membawa tas koper kosong. Jas kebesarannya, dengan warna abu-abu yang tampak seperti sedang bernegosiasi untuk menjadi lebih gelap, menggantung dengan gagah. Sebuah ID card dengan tali lanyard norak tergantung di lehernya, menampilkan nama: Dimas – Marketing Senior, KPR Ceria Abadi (Slogan Kami: Bunga Hari Ini, Kejutan Esok Hari!).

“DIMAS?!” seru Ardi, matanya membulat sempurna. “Woi, kampret! Lu ngapain nyasar di sini sekarang? Terakhir ketemu lo masih jualan stiker band metal di parkiran Senayan!”

“Sukses, bro! Transformasi! Evolusi!” jawab Dimas dengan nada suara penuh kemenangan, sambil membusungkan dada yang tampak sedikit tertekan di balik jasnya. “KPR adalah the next big thing, Ardi! Orang-orang butuh atap di atas kepala, dan gue adalah arsitek impian mereka... dengan cicilan yang fleksibel dan bunga yang... dinamis!”

Dina mendekat, meneliti penampilan Dimas dari ujung sepatu pantofel mengkilap hingga ujung rambut yang tampak kaku karena hair spray murahan. “Jangan bilang kamu yang dulu suka bolos mata kuliah Ekonomi Mikro cuma buat main game online di warnet?”

“Saya tidak bolos, Dina. Saya sedang melakukan market research mendalam tentang perilaku konsumen kelas menengah ke bawah,” jawab Dimas dengan pembelaan kilat, lalu beralih kembali ke Ardi dengan nada persuasif. “Sekarang gue bantu mewujudkan mimpi orang punya rumah, Ar. Termasuk elo berdua kalau berminat. Spesial friend price! Diskon lima puluh ribu buat biaya administrasi!”

Ardi dan Dina bertukar pandang. Alis Dina terangkat sedikit, menyiratkan keraguan yang mendalam.

“Teman lama itu kadang justru jadi pengingat kenapa kita harus ekstra hati-hati sama keputusan finansial yang dampaknya bisa seumur hidup,” bisik Dina pelan, berusaha menyampaikan sinyal bahaya kepada Ardi.

Tapi Ardi, yang tingkat optimismenya seringkali berbanding terbalik dengan saldo di rekening banknya, menanggapi dengan senyum lebar penuh keyakinan palsu. “Ah, sudahlah, Din. Kita dengerin aja dulu. Siapa tahu memang ini jalan Tuhan. Jalannya agak belok-belok dan penuh bunga mengambang, tapi tetap jalan Tuhan.”

Dimas, bak salesperson yang mencium bau potensi komisi dari jarak satu kilometer, dengan sigap menggiring mereka menuju booth sebuah bank yang logonya tampak seperti gabungan antara logo kartu kredit dan logo deterjen. Booth itu sendiri merupakan representasi absurd dari sebuah ruang tamu ideal: sofa palsu yang terbuat dari karton daur ulang, tanaman plastik yang debunya tampak abadi, dan banner besar menampilkan gambar pasangan muda yang tersenyum bahagia seolah baru saja melunasi KPR—padahal kemungkinan besar mereka baru akan melakukannya dua puluh lima tahun lagi, itupun kalau tidak ada kenaikan suku bunga tak terduga.

“Jadi, sistemnya tuh simple banget, bro, Sis,” ujar Dimas sambil menyodorkan brosur setebal kamus bahasa Indonesia edisi lengkap, yang sampulnya menampilkan gambar rumah dengan awan-awan kartun yang tampak seperti permen kapas. “Elo tinggal pilih rumahnya, kita hitung uang mukanya yang... yah, sedikit menguras tabungan awal, lalu kita simulasikan angsurannya yang... yah, sedikit lebih besar dari biaya makan bulanan. Tinggal tanda tangan di sini, sini, dan sini... voilà! Elo udah terikat secara hukum dan emosi dengan bank selama dua dekade lebih!”

Dina mengangkat tangan dengan sopan, namun matanya menyiratkan kecurigaan seorang detektif yang sedang menginterogasi saksi kunci. “Maaf, Mas Dimas. Saya mau tanya, kenapa di brosurnya ada tulisan kecil sekali di bagian bawah yang berbunyi: ‘Suku bunga dapat berubah sewaktu-waktu sesuai dengan kebijakan otoritas moneter, pergerakan pasar global, dan kehendak alam semesta’?”

Lihat selengkapnya