Cinta Segitiga: Aku, Kamu dan Cicilan KPR

Tresnawati
Chapter #7

Dilema Kresit dan Cinta Lama

Dina menatap nanar pada deretan angka yang berkedip-kedip di layar meteran listrik digital di dapur mungil mereka. Baru seminggu dipasang, alat itu sudah menunjukkan penurunan drastis pada sisa kWh, seolah daya listrik di rumah mereka menguap secepat saldo e-wallet saat flash sale tengah malam. Ia menghela napas panjang, sebuah helaan yang sarat akan perpaduan antara frustrasi dan realita. Ternyata, membangun biduk rumah tangga bersama Ardi bukan sekadar berbagi kehangatan cinta dan sempitnya ruang dapur—melainkan juga berbagi kecemasan setiap kali notifikasi aplikasi PLN Mobile berbunyi, mengumumkan tagihan yang selalu datang lebih cepat dari gajian.

 

Sore itu, kesunyian rumah hanya ditemani suara gemericik minyak goreng yang memanaskan beberapa potong nugget di dalam air fryer. Dina, seorang diri, mencoba menaklukkan labirin angka dalam buku catatan keuangannya, berusaha menyusun anggaran bulanan yang selalu terasa seperti benang kusut. Sejak menikah, kehidupan mereka memang terasa seperti sinetron stripping dengan episode yang tayang setiap hari: selalu ada plot twist tak terduga, mulai dari genteng bocor saat hujan deras hingga kabel stop kontak yang mengeluarkan asap misterius akibat ulah iseng Ardi yang gemar mencolokkan tiga charger sekaligus.

 

Di tengah konsentrasinya yang terpecah antara mencocokkan deretan tagihan dengan saldo rekening bank (yang ironisnya lebih mirip sisa kembalian parkir di mal), ponsel Dina berdering, memecah keheningan. Sebuah pesan singkat muncul di layar. Dari... Dimas.

 

“Hai, Din. Minggu ini aku ada event pameran properti lagi di JCC. Kamu dan Ardi ada rencana datang lagi, nggak?”

 

Dina terdiam, menatap nama itu di layar ponselnya. Muncul bagai notifikasi diskon ongkir tengah malam: kehadirannya terasa sedikit mengganggu rutinitas, namun di saat yang sama membangkitkan rasa penasaran yang sulit diabaikan.

 

Dimas. Sahabat lama sejak bangku kuliah. Mantan teman seperjuangan yang rela berbagi sebungkus tahu bulat pedas saat dompet menipis di akhir bulan. Sekarang menjelma menjadi seorang marketing KPR yang—tidak seperti Ardi dengan segala ketidakpastiannya—memiliki senyum ramah yang profesional, gaji tetap yang tertera jelas di slip bulanan, dan—yang paling kentara—sebuah mobil pribadi tanpa embel-embel cicilan misterius yang selalu menjadi bahan perdebatan antara Dina dan Ardi.

 

Dengan jari ragu, Dina mengetik balasan singkat, “Lihat nanti, ya.”

 

Seketika, tanpa bisa dicegah, gelombang pikiran menerjang benaknya. Kilasan-kilasan memori saat mereka bertemu di pameran properti minggu lalu kembali berputar di kepalanya. Dimas masih seperti yang ia ingat—ramah, jenaka dengan selera humor yang tidak berubah, dan memiliki aroma parfum yang sepertinya tidak pernah mendapat diskon di minimarket dekat kosan dulu. Tidak ada perubahan signifikan dalam dirinya... kecuali satu hal yang tidak bisa Dina abaikan: tatapan mata Dimas yang kini berani singgah lebih lama dari sekadar sapaan persahabatan. Seolah ada pesan tersirat yang berbisik, “Di dunia ini, masih ada ruang... di mana kamu bisa menjadi prioritas utama.”

 

Tiba-tiba, aroma gosong menusuk hidungnya. Dina tersentak dari lamunannya, menyadari bahwa nugget di dalam air fryer sudah berubah warna menjadi arang yang malang. Dengan panik, ia buru-buru membuka laci dapur, mencari sesuatu yang bisa memadamkan potensi kebakaran kecil ini, lalu dengan bodohnya menyadari bahwa laci itu hanya berisi sendok garpu dan spatula, bukan alat pemadam kebakaran mini.

 

“Din, aku pulang!” Suara Ardi yang sedikit terengah-engah terdengar dari ruang depan. Tak lama kemudian, sosoknya muncul di ambang pintu dapur, membawa kantong plastik berisi dua liter minyak goreng merek tidak terkenal dan sebungkus mi instan rasa kari ayam.

 

“Kamu kenapa kayak habis ikut lomba lari maraton dadakan?” tanya Dina, nada suaranya masih dipenuhi sisa kepanikan akibat nugget gosong.

 

“Naik ojek, Din. Tapi ojol-nya sambil curhat soal cicilan motor yang nunggak tiga bulan dan mantan pacarnya yang masih tinggal satu kontrakan tapi beda kamar. Lumayan, dapat drama gratis,” jawab Ardi sambil meletakkan belanjaannya di meja.

 

Dina tertawa kecil, sebuah tawa yang jujur dan spontan. Ardi, dengan segala kekonyolan dan cerita-cerita absurdnya, selalu berhasil menyelamatkan harinya dan mengukir senyum di wajahnya—meskipun senyum itu seringkali terselip di balik kerutan dahi akibat memikirkan tanggal jatuh tempo cicilan KPR yang semakin dekat.

 

Ardi membuka jaketnya yang sudah mulai usang. “Eh, kamu kenapa gosongin nugget? Biasanya kan kamu secepat kilat kalau urusan gorengan.”

 

Dina terdiam sejenak, menimbang kata-kata yang akan diucapkannya. “Tadi... ada pesan dari Dimas.”

 

Lihat selengkapnya