Cinta Segitiga: Aku, Kamu dan Cicilan KPR

Tresnawati
Chapter #8

Bulan Madu Rasa Hemat


Tidak semua bulan madu harus di Bali, Maldives, atau tempat-tempat eksotis yang sering muncul di feed influencer. Tidak juga harus ada floating breakfast atau villa dengan kolam renang pribadi. Kadang, bulan madu bisa dilakukan di rumah baru yang bahkan belum ada kasur dan airnya—asal ada cinta dan colokan listrik buat ngecas ponsel.

Itulah yang sedang Ardi yakini, meskipun Dina belum tentu setuju.

“Serius, Di. Staycation di rumah baru kita itu romantis banget. Nggak perlu hotel mahal, kita bisa bikin tenda sendiri dari sprei bekas kos-kosan,” kata Ardi dengan penuh semangat, seperti sales sprei keliling.

Dina hanya menatapnya dengan tatapan setengah antara “kamu gila” dan “aku udah nikah sama kamu, ya sudahlah.”

“Ardi, itu rumah belum ada tirainya. Malam-malam bisa jadi tontonan umum. Masa pengantin baru disangka instalasi seni kontemporer?”

Ardi cengar-cengir. “Kan biar menantang. Anggap aja kita kayak camping... versi perumahan subsidi.”

Dina menepuk dahinya.


Akhirnya, setelah perdebatan yang diwarnai dengan “aku istrimu, bukan anak pramuka” dan “aku cuma pengen hemat, bukan hidup di hutan,” Dina setuju. Tapi dengan syarat:

“Kita harus bawa kasur angin. Aku nggak mau malam pertama tidur di lantai pakai kardus Indomie.”

Ardi mengangguk seperti petugas logistik. “Siap. Aku pinjam dari Danu. Dia masih punya kasur angin bekas acara camping komunitas pencinta film horor.”

“Kenapa film horor?”

“Katanya biar tidur sambil nonton ‘Pengabdi Setan’ itu pengalaman spiritual.”


Hari H pun tiba. Mereka datang ke rumah baru dengan koper besar, satu kardus mie instan, rice cooker, dua cangkir kopi bertuliskan “Istriku Bosku” dan “Suamiku, Sopirku”, serta lilin aroma terapi rasa ayam bakar. Karena listrik PLN belum sepenuhnya menyala, mereka membawa power bank sebanyak botol minuman keras di acara nikahan orang kaya.

“Selamat datang di bulan madu rasa hemat,” kata Ardi, membuka pintu rumah yang masih bau cat dan semen. “Silakan duduk di... karpet plastik hasil sisa dari akad kemarin.”

Dina masuk dengan ragu, menaruh koper di pojok, lalu duduk sambil melihat sekeliling.

“Kita beneran nginep di sini?” tanyanya, melihat atap yang belum diplafon dan dinding yang masih menyisakan tulisan tukang: “Pak Suro, utang pasir 2 karung.”

“Yakin dong. Ini rumah kita, Di. Kita mulai semuanya dari sini. Dari nol. Bahkan minus, kalau lihat saldo rekening kita sekarang.”

Lihat selengkapnya