Dina berdiri terpaku di tengah ruang tamu yang masih memprihatinkan, sebuah hamparan tikar pandan tipis menjadi satu-satunya alas di lantai semen yang dingin. Di sudut ruangan, berdiri dengan gagah namun menyedihkan, sebuah kipas angin butut yang suaranya lebih mirip helikopter kelelahan yang sedang sekarat.
“Ardi sayang,” keluh Dina, mengipasi wajahnya dengan brosur toko mebel seolah benda itu adalah artefak kuno yang bisa memberikan kesejukan magis. “Kita ini manusia modern, bukan biksu yang sedang bermeditasi di gua tanpa perabotan. Masa iya kita terus-terusan duduk lesehan begini? Nanti aura rumah kita jadi benar-benar low budget permanen.”
Ardi, yang sedang berkutat dengan aplikasi pengatur keuangan di ponselnya (yang sebenarnya lebih sering ia gunakan untuk melihat grafik pengeluaran berwarna-warni yang tidak pernah menunjukkan angka positif), mendongak dari kesibukannya mencatat tagihan listrik, air, dan kuota internet yang selalu membengkak di akhir bulan.
“Sayangku cintaku,” jawab Ardi tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel, “yang paling penting kan kita sudah punya rumah sendiri, meskipun belum sepenuhnya terisi. Sofa itu kan bisa menyusul nanti, kalau tabungan kita sudah tidak lagi berbentuk angka koma di belakang nol.”
Dina dengan dramatis menunjuk sebuah brosur dengan gambar sofa modular berwarna krem tulang yang tampak begitu menggoda, bahkan memiliki fitur ajaib yang memungkinkannya bertransformasi menjadi tempat tidur darurat. “Lihat ini, Ardi! Diskon tiga puluh lima persen! Cicilan nol persen selama tiga bulan! Ini tuh seperti... jodoh yang datang di saat yang sangat tepat.”
Ardi menghela napas panjang, sebuah helaan yang sarat akan kepasrahan dan perhitungan finansial yang ketat. “Dan kita baru saja menikah, Dina. Cicilan KPR kita bahkan belum lunas seujung kuku. Kita tidak bisa gegabah membeli sofa hanya karena... bentuknya terlihat seperti pelukan hangat seorang ibu.”
“Tapi duduk di lantai terus-menerus itu tidak manusiawi, Ardi! Bokongku sudah nyaris memiliki Nomor Induk Kependudukan sendiri karena terlalu sering bergesekan dengan dinginnya keramik lantai!” Dina menatap suaminya dengan tatapan serius yang menusuk. “Lagipula, kita ini pasangan muda, pengantin baru yang masih hangat-hangatnya. Masa iya malam minggu kita hanya bisa selonjoran tidak berdaya di lantai sambil menonton TV dari layar HP yang ditaruh di atas galon Aqua bekas?”
Ardi menegakkan badannya, merasa terpanggil untuk membela inovasi teknologi sederhana mereka. “Hei, tapi itu galon terbaik yang pernah ada! Aku sudah menyusunnya dengan triple tape super kuat dan dialasi kotak sepatu bekas. Jadilah sebuah tripod multifungsi!”
“Ardi, ini bukan film indie dengan estetika minimalis yang dipaksakan. Ini adalah kehidupan nyata! Kita butuh sofa! Perabot rumah tangga, bukan sekadar kerabat jauh yang datang berkunjung lalu pergi lagi!” bentak Dina dengan nada dramatis, hampir seperti sedang melakoni adegan puncak dalam sebuah sinetron dengan rating tinggi.
Ardi berdiri dari posisinya, merasa terpanggil untuk memberikan pembelaan rasional. “Kita ini sedang berperang, Dina! Perang sengit antara keinginan untuk hidup nyaman dan kebutuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidup finansial kita. Kamu tahu tidak, satu kali cicilan sofa mewah itu bisa membuat kita telat membayar tagihan listrik. Dan kalau listrik mati... siapa yang akan menyalakan magic jar kesayangan kita?”
Dina terdiam, argumen Ardi mengenai kesakralan nasi dalam hubungan mereka memang sulit untuk dibantah.
Namun, beberapa saat kemudian, ia kembali menunjuk brosur sofa dengan tatapan penuh harap. “Tapi di sini ada cashback besar-besaran, Ardi!”
“Cashback itu bukan uang tunai, Sayang. Itu hanya ilusi pemasaran! Itu seperti mantan pacar yang tiba-tiba bilang, ‘aku bahagia melihat kamu bahagia sekarang,’ padahal dia masih setia me-like semua story Instagram-mu setiap malam!” jawab Ardi dengan nada sinis.
Hening kembali menyelimuti ruangan. Keduanya saling bertukar pandang, terjebak dalam kebimbangan antara keinginan dan kenyataan. Di latar belakang, kipas angin butut terus mengeluarkan suara “tek-tek-tek” yang monoton, seolah memberikan beat untuk adu argumen mereka yang belum menemukan titik temu.
Dina beringsut menuju dapur kecil mereka yang hanya diisi oleh satu kompor portable yang sudah berkarat dan satu wajan anti lengket yang sudah lama kehilangan kemampuan “anti”-nya. Ia membuka pintu kulkas—sebuah kulkas satu pintu yang tampak menyedihkan, hanya terisi oleh dua botol air putih dingin dan sisa satu kotak tahu isi yang mereka beli semalam.
“Ardi,” panggil Dina dengan nada sendu sambil menatap isi kulkas yang kosong melompong. “Kulkas kita bahkan terlihat kesepian. Tidak ada satu pun makanan yang sudi menemaninya. Sofa itu... bukan hanya sekadar barang, Ardi. Itu adalah bagian dari rumah, tempat kita bisa bersantai bersama setelah seharian bekerja.”
Ardi ikut menatap kulkas dengan ekspresi yang sama melankolisnya, seolah sedang menatap seekor kucing liar yang kedinginan di tengah malam.
“Aku mengerti betul apa yang kamu rasakan, Din. Aku juga ingin kita memiliki rumah yang nyaman dan indah. Tapi kita ini masih dalam tahap bertahan hidup secara finansial. Dan... dan aku jujur takut. Aku takut kita terlalu cepat merasa ‘berhak’ memiliki segalanya sebelum kita benar-benar mampu.”
Dina mendekat ke arah Ardi, lalu duduk bersimpuh di atas tikar pandan tipis. “Aku juga mengerti kekhawatiranmu, Di. Tapi kamu juga harus mengerti satu hal tentang perempuan... kami memiliki kebutuhan estetika yang terkadang sulit untuk dijelaskan dengan logika.”