Cinta Segitiga: Aku, Kamu dan Cicilan KPR

Tresnawati
Chapter #11

Promo 0% Hati 100% Resah


“Sayang, kita cuma mau cuci mata ya. Nggak beli apa-apa. Ingat, cicilan rumah masih 28 tahun 3 bulan lagi,” kata Ardi sambil menarik tangan Dina masuk ke dalam toko furnitur mewah itu.

Dina mengangguk mantap. “Iya, aku tahu. Cuma liat-liat doang kok, janji. Kayak kita dulu liat-liat rumah contoh—eh, tau-tau jadi kredit.”

Langkah mereka memasuki showroom seperti adegan slow-motion dalam film thriller. Karpet tebal, lampu gantung seperti perhiasan, dan AC yang dinginnya lebih menusuk daripada sindiran mertua membuat Ardi langsung refleks pegang dompetnya erat-erat. Aura kemewahan toko itu tidak sebanding dengan saldo tabungan mereka yang sudah mulai mendekati zona darurat.

Seorang SPG mendekat. “Selamat siang, Kak! Hari ini ada promo spesial: cicilan 0% selama 24 bulan untuk pembelian sofa dan set ruang tamu. Mau saya bantu?”

Ardi buru-buru menjawab, “Nggak usah Mbak, kami cuma cuci mata aja.”

Dina menyahut, “Tapi... boleh dong liat yang itu? Yang sofa warna beige dengan bantal empuk kayak marshmallow itu?”

Ardi menoleh tajam. “Beige? Kamu kan biasanya sukanya abu-abu supaya nggak kelihatan kotor!”

Dina melengos, “Abu-abu tuh cocoknya buat hubungan nggak jelas. Ini kan sofa, bukan mantan.”

Sang SPG langsung aktif mode “menjual sambil ghibah ringan”. “Sofa ini bahan premium, imported, pernah dipakai di serial drama Korea juga lho, Kak. Jadi kalau Kakak duduk, tuh rasanya kayak jadi tokoh utama—walau cicilannya juga cocok buat jadi konflik utama.”

Dina tertawa. Ardi tidak.

“Berapa harganya?” tanya Dina, suara mulai bergetar antara antusias dan takut.

“Cuma 24 juta, Kak. Tapi tenang, cicilan 0%, cuma sejuta per bulan selama dua tahun.”

Ardi langsung mengeluarkan kalkulator mental. “Sejuta per bulan? Kita aja baru mulai nyicil water heater... yang belum bisa panas.”

Dina memegang lengan Ardi sambil berkata manja, “Sayang... ini kan investasi kenyamanan. Kita kerja keras tiap hari, masa pulang-pulang harus duduk di lantai terus? Belum lagi nanti kalau tamu datang, masa disuruh duduk di karpet karet dari TikTok Shop?”

Ardi mencoba diplomatis. “Tamu itu datang buat silaturahmi, bukan buat review interior rumah. Lagian, siapa juga tamu yang mau duduk lebih dari satu jam? Mereka pasti udah kenyang minum teh manis dan makan biskuit kaleng—yang isinya bukan biskuit.”

Dina memutar mata. “Kamu tuh nggak visioner. Aku tuh bisa bayangin: aku duduk santai di sofa ini, nonton drama Korea, kamu di sebelahku sambil peluk aku—terus kita berantem kecil karena rebutan remote. Romantis banget!”

“Yang romantis itu kalau kita bisa hidup damai tanpa ditagih debt collector, Din.”

Namun godaan promo 0% itu seperti magnet spiritual. Dina sudah terduduk manis di atas sofa impian, sambil menekan-nekan sandaran dan berkata, “Ya ampun empuk banget. Rasanya kayak dipeluk awan.”

Ardi menggumam, “Peluk awan, tapi bayar pakai dompet kosong.”

Melihat kekasihnya bimbang, Dina mengeluarkan jurus pamungkas: tatapan anak kucing.

Lihat selengkapnya