Cinta Sekolah Menengah Pertama

Arumi Sekar
Chapter #1

Ditolak

Bulan November 2000

Davi menutup ruang kapel dengan kunci secepat mungkin. Mata pelajaran agama Kristen baru saja usai. Dan dia yang ditugaskan oleh Bu Dharma untuk menutup ruang kapel dan menyerahkan kuncinya pada Pak Agus, petugas yang bertanggung jawab menyimpan kunci seluruh ruangan di sekolah dan kebetulan juga tinggal di belakang kantin sekolah mereka.

Sebagai sekolah negeri yang memang khusus pelajaran agamanya di ruangan lain bagi murid penganut agama non-muslim, Bu Dharma akan secara acak menunjuk siapapun yang berwenang mengunci ruangan kapel hari itu. Sedangkan beliau sendiri akan menyerahkan daftar absensi ke Bu Ika, petugas Tata Usaha yang bertugas merekap seluruh absensi siswa SMP negeri tempat dia bekerja itu.

“Mau ditemenin nggak?” tanya Abdi, yang tiba-tiba muncul di belakang Davi.

“Ah, pasti lu mau sekalian ke kantin kan. Dasar! Tau aja gue mau kasih kunci ke Pak Agus.” Sahut Davi sambil menatap sahabat sekaligus teman sebelahnya di kelas, dengan tatapan mengejek.

“Dikasih tahu Irene. Kata dia, suruh nemenin elu, kasihan, biar mentalnya kuat kalau ntar mau nembak lagi. Lagian suntuk gue. Tadi disuruh hapalin ayat Al-Qur’an dan maju satu-satu di depan,” sahut Abdi sambil mengeluh mengenai pelajaran Agama Islam sebelumnya.

“Tadi agama Kristen juga lumayan bosen. Kalo gue liat, Bu Dharma lagi nggak mood nerangin panjang lebar kaya biasanya. Dia cuma kasih info untuk ngerjain essay tentang pengampunan. Yang mana gue cepet banget ngerjainnya. Gue udah tamat soal pengampunan secara gue dijudesin ama Thea tiap hari.” Sahut Davi sambil tertawa.

Abdi pun tertawa. “Lagian lu yah, udah tahu Thea ngga suka sama lo. Masih dikejer juga. Mana ntar pulang sekolah mau nembak lagi. Ini yang ke 3 kalinya ya?”

Davi tersenyum. “Iya. Nanti sepulang sekolah kayanya. Tenang, Di, ini kali terakhir. Kalo masih mental juga, gue move on.”

Abdi menggeleng-geleng menatap sahabatnya yang bermental entahlah itu. Pantang menyerah dan tidak tahu malu, bagi Davi kayanya tidak ada bedanya. Betul kata Irene, Davi harus didampingi ke mana-mana biar masih kekontrol mentalnya yang sedikit nekat.

*********************************************************************************************************************************

Gayung bersambut tampaknya, ada Thea di kantin sekolah saat mereka sampai. Gadis berambut panjang lurus itu tampak duduk sambil bersenda gurau bersama Matari dan Lisa, dua sahabatnya yang selalu bersamanya ke mana pun Thea pergi. Rupanya mereka baru saja selesai pelajaran olahraga. Abdi melihat jam digitalnya dengan sekilas. Bel istirahat pertama masih sekitar 5 menit lagi. Pantas saja kantin masih tidak terlalu ramai. Hanya segelintir anak-anak yang selesa jam olahraga atau mata pelajaran yang selesai lebih awal beberapa menit saja.

Matari dan Lisa, dua gadis bertubuh jangkung itu berdiri hampir bersamaan saat melihat Thea mendenguskan nafasnya dengan kesal melihat kehadiran Davi. Thea langsung membayar pesanannya dan memberi isyarat pada dua sahabatnya untuk pergi dari situ. Tentu saja hal itu selalu terjadi setiap Davi datang. Sudah menjadi rahasia umum kalau Thea tidak pernah suka dengan kehadiran Davi. Dan sebisa mungkin Thea selalu berusaha menghindar tidak berada di dalam lokasi yang sama dan berdekatan.

Dan entah kerasukan apa, Davi pun tidak pernah menyerah akan perasaannya pada Thea. Dua kali ditembak. Satu kali ditelepon, dan satu lagi setelah ekskul basket, di mana Thea bergabung. Dan dua kali pula ditolak. Mungkin itulah keajaiban yang dinamakan cinta monyet, Davi tidak pernah sakit hati karena ditolak Thea dua kali. Bahkan hendak melakukannya lagi yang ketiga kali nanti sepulang sekolah.

Abdi menatap punggung sahabatnya yang tampak acuh menuju kediaman Pak Agus untuk mengembalikan kunci ruang kapel. Abdi malas untuk ikut ke sana. Karena bau harum soto kantin menggodanya untuk segera dibeli dan mengisi perutnya.

“Di, ntar jadi?” tanya Matari yang ternyata tidak mengikuti Thea dan Lisa kembali ke kelasnya.

“Lo tahu soal ntar, Mat?” sahut Abdi. “Perasaan Davi bilang sama gue buat rahasiain.”

“Mat mat mat, emang nama gue Somat? Tahulah gue. Udah bocor. Si Thea udah tahu deh kayanya. Soalnya tadi dia bilang ke Ibunya buat jemput lebih cepet. Gimana dong?”

Abdi tertawa. “Lah, nama lo Matari kan?”

Matari meninju lengan Abdi dengan kencang. “Sialan lo. Serius nih.”

“Gue sih yakin sobat gue nggak akan mundur. Tapi Thea mungkin bakalan menghindar. Tau dari siapa sih dia?”

“Dari Irene. Kan lo tahu mereka setim di basket. Lagian kenapa nggak kapok sih, Di?”

“Ya mana gue tahu, Mat. Lo jelas nggak kenal Davi berarti kalo lo ngomong soal kapok atau enggaknya.”

“Thea kan masih suka ama Kak Ben, senior kita. Lagian lo tuh ya, harusnya dinasehatin sahabatnya dong. Suruh move on kek.”

“Hmmm, santai. Kayanya sih ini bakalan jadi penembakan Davi yang terakhir.”

“Yakin lo? Jujur gue agak nggak tega sama Davi, Di. Thea… yah, emang sekejam itu sama dia.”

“Soal Thea kejam itu gue setuju banget. Tiap Davi telepon masih direspon kok, kasih kado yang kemarin tuh cokelat sama kamus bahasa alf*link*) yang mahalnya kaya gitu juga diterima. Itulah yang mungkin ya, bikin Davi mungkin mikir kalo masih ada kesempatan walopun 1 % aja.”

“Ya gue juga heran sih, Thea masih aja nerima hadiah Davi dan nerima telepon dia walopun responnya cuma kaya nggak tertarik gitu. Bingung juga gue. Ya udah, gue balik kelas ya. Eh bocorin soal ulangan Matematika dong, Di.”

“Nanti ya, gue tulisin kisi-kisinya di kertas. Nanti gue titip sama Echa pas keliling nempel mading.”

Matari berdiri saat Davi ternyata sudah ada di belakang mereka.

“Hai, Ri.” Sapa Davi ramah.

Lihat selengkapnya