Cinta Sepotong Pensil

Aizawa
Chapter #2

Bab 2

Suasana pasar sangat memprihatinkan, banyak ruko mengeluarkan asap, sebagian lagi tidak terbakar tapi hancur berantakan, dengan puing-puing berserakan di teras ruko dan di jalanan. Tak hanya itu, di tengah jalan, belasan pria dewasa penuh amarah, secara brutal membalik mobil yang tadi terparkir di depan ruko, memukulnya dengan kayu atau benda apa saja yang ada dalam genggaman mereka, menendang body mobil, memecahkan kaca, menghantam kendaraan roda empat itu tanpa ampun, lalu membakarnya.

Tak sedikit juga lelaki, maupun wanita yang keluar masuk toko, mengambil tanpa izin apa saja yang ada di sana, seolah toko-toko tersebut milik bersama. Berlalu lalang menjarah sesuka mereka, tanpa ada yang bisa mencegah.

Pria berkumis tebal membawa televisi berukuran sedang. Lelaki kurus tinggi dengan kaus hitam pudar yang tampak kebesaran, mengangkut sekarung besar beras di pundaknya, dengan susah-payah. Dua wanita yang sama-sama memakai celana jeans, berumur sekitar pertengahan dua puluhan, bergotong royong mengangkat kardus berisi televisi 32 inci. Bapak-bapak tengah baya berbadan besar, baru saja keluar dari toko dengan membawa radio tape besar di pundak kirinya, dan kipas angin yang ia gotong dengan tangan satunya. Juga warga-warga lainnya yang tak mau kalah dalam aksi penjarahan itu.

Runi di seberang jalan, menyaksikan semua hiruk-pikuk dan kegaduhan itu dengan wajah tegang. Ia harus melewati dua blok lagi untuk sampai ke lokasi ruko milik keluarga Rain.

*

Sementara itu, Rain—dengan memakai kaca-mata hitam dan topi berwarna sama gelapnya—baru saja sampai di depan ruko. Entah dari mana ia mendapatkan benda-benda yang ia pakai itu, dan bagaimana ia berhasil melewati orang-orang yang saat ini tengah sentimen dengan etnis kaumnya.

Plang nama “Adicandra Elektronik” yang biasanya terpasang kokoh di bagian dinding luar, telah berubah miring, sebagian besar baut telah lepas dari tempatnya. Bahkan dipastikan langsung jatuh apabila disenggol sedikit saja atau tertiup angin.

Rain memandang miris ruko di hadapannya, yang keadaannya kini tak berbeda jauh dengan ruko-ruko yang tadi Runi lihat. Hanya saja suasana di sekitar ruko terlihat sepi, hingga Rain dengan mudah masuk ke dalamnya. Namun, Rain tak menemukan papahnya di sana.

Barang-barang elektronik yang pagi tadi masih rapi tersusun di tempatnya, dan memenuhi isi toko, sebagian besar tak terlihat lagi wujudnya. Beberapa ada yang berserakan dan hancur di lantai. Rain menanggalkan topi dan kacamata dengan tak bertenaga.

Rain bergegas ke belakang, ia melihat api telah menjilat pintu dan jendela di ujung toko. Rain semakin cepat menaiki tangga, lalu menuju kamar yang terletak di bagian tengah lantai dua. Ia menatap pintu kamar yang keadaanya masih baik-baik saja. Rain mengeluarkan kunci dari saku, lantas membuka pintu.

Tanpa membuang waktu, Rain segera menuju meja yang ada di dekat jendela, membuka laci, kemudian mengambil kotak kayu persegi panjang, lantas membukanya. Ia bernapas lega ketika mendapati potongan pensil biru muda bertuliskan inisial “R” masih tersimpan rapi di sana. Rain membawa kotak kayu berisi pensil dalam genggamannya.

Ketika hendak menuruni tangga, Rain melihat api telah sampai di ujung tangga. Ia berpikir cepat supaya bisa melewati tangga dengan selamat. Remaja berhidung mancung menatap nanar sekitar, mencari sesuatu. Rain tak menemukan benda yang cocok, lantas kembali ke kamar. Matanya tertuju pada selimut tebal yang ada di atas kasur.

Rain membuka kotak kayu yang tadi ia genggam, mengambil pensil, lalu menyimpan benda runcing berwarna biru itu ke dalam saku celana. Setelah melempar kotak kayu persegi panjang sekenanya, Rain mengambil selimut tebal, kemudian masuk ke kamar mandi. Ia benamkan selimut tebal ke dalam bak yang berisi penuh air, hingga basah seutuhnya.

Sampai di pangkal tangga, Rain menyelimuti tubuhnya dengan selimut basah. Tanpa keraguan, Rain menuruni tangga yang telah terbakar sebagian pinggirannya yang terbuat dari kayu. Rain bersyukur anak tangga yang ia lalui tak berbahan sama. Hingga ia tak begitu kesulitan melewatinya. Meski panas mendera kaki remaja berbadan tegap itu.

Rain keluar dari ruko dengan melepas selimut tebal. Ia menjauh, berdiri menatap sedih ruko yang dibangun papahnya bahkan sejak ia belum lahir. Bangunan tiga lantai yang sedianya berdiri kokoh, kini tanpa ampun sedikit demi sedikit, habis dilahap si jago merah.

“Woy, Cina! ADA CINAAA!”

Lihat selengkapnya