Darya—bapaknya Runi—mengamati makanan yang terhidang di meja. Sebakul nasi yang masih mengepul, semangkuk besar sayur asem, ikan asin goreng, tempe bacem, dan sambal terasi sungguh menggugah selera di siang hari yang cerah. Namun, ada sesuatu yang dirasa kurang pas oleh lelaki berkumis tipis itu.
“Hmm, masakan kesukaan Bapak ini, sayur asem. Tapi ..., sayur asem itu rasanya akan lebih pas kalo dimakan sama tempe goreng, Buk. Ya, walaupun dibacem juga enak.” Hati-hati Darya menyampaikan. Bahaya kalau Haryati, istri semata wayangnya itu, jadi mogok masak.
“Ya sudah, Pak. Tinggal makan saja pakai protes segala. Ibuk juga maunya gitu, tapi minyak goreng lagi susah. Dibatesin sama pemerentah. Untung tempo hari masih kebagian satu liter. jadi mesti dihemat,” jelas Haryati sembari memberikan piring pada Darya. Lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan suaminya.
Darya hanya diam, tak ingin memperpanjang ceramah siang istrinya. Ia lekas memasukkan nasi dan lauk-pauknya ke piring.
“Runi tidak ikut makan, Buk?” tanya Darya, dengan mulut mengunyah makanan.
“Sudah Ibuk ajak tadi.”
“Coba panggil lagi, Buk. Anakmu itu kenapa jadi malas makan akhir-akhir ini.”
Baru saja Haryati akan bangkit dari kursi, Runi datang dan duduk di kursi terdekat. Namun, ia hanya melamun menatap piring di depannya.
“Runi tidak berselera sama lauknya? ini enak loh. Lihat Bapak lahap bener makannya. Ibu ambilkan ya.” Haryati mengambil piring Runi, tangannya cekatan mengisi piring. “Meski lagi krismon, tapi alhamdulillah masih Allah mudahkan buat makan. Walau apa adanya, tapi tetap nikmatnya tidak kalah sama makanan orang-orang kaya itu. Makan ya.”
Sepiring nasi lengkap Haryati berikan pada Runi. Tetapi, Runi hanya memandangnya dengan tatapan kosong.
Darya dan Haryati saling tatap-tatapan. Haryati hanya menghela napas.
Setelah hening beberapa saat, Runi akhirnya memakan apa yang telah disediakan, walau dengan ogah-ogahan. Bukan karena makanannya tapi pikirannya penuh dengan pertanyaan di mana Rain dan keluarganya kini.
Runi memaksa diri menyelesaikan makannya dengan cepat, lalu kembali ke kamar. Baru sampai di ambang pintu, Runi lupa kalau ia belum minum. Pantas saja kerongkongannya terasa seret. Runi berjalan menuju dapur. Akan tetapi, langkahnya terhenti di dekat dinding pemisah antara dapur dan ruang tengah, ketika tak sengaja mendengar pembicaraan orang tuanya.
“Banyak orang Cina yang diculik, bahkan ada yang dibunuh.”
“Kok kejam ya, Pak. Ibuk dengarnya cuma tentang penjarahan. Barang-barang di toko mereka pada habis. Dibakar juga.”
“Tidak hanya toko, bahkan kabarnya ada rumah orang-orang Cina yang juga dibakar, Buk. Untungnya rumah keluarga Pak Candra aman. Alhamdulillah di sini tetangga saling jaga. Bergantian siang malam. Tapi toko mereka habis terbakar.”
“Apa benar kerusuhan terjadi karna protes warga pribumi terhadap orang Cina yang menguasai perekonomian, Pak?”
“Memang ada mahasiswa yang berdemo, karna apa-apa semua naik, serba mahal. Sudah mahal, langkah pula. Krisis moneter melanda. Bahkan banyak perusahaan yang merumahkan karyawannya dalam jumlah besar. Yang miskin makin terpuruk.” Penjelasan Darya terjeda, setengah gelas air memasuki kerongkongannya.
“Rakyat miskin yang kehilangan harapan mudah sekali terprovokasi. Terjadilah kerusuhan di mana-mana. Huru-hara dan penjarahan terjadi hampir di semua kota besar yang ada di negara kita ini. Tapi Bapak tidak tau persis mengapa mereka itu hanya menyerang orang-orang Cina. Setau Bapak karena orang-orang Cina itu, etnis Tionghoa tepatnya, dianggap mendominasi perekonomian.”
“Ibuk pernah dengar di tv, kerusuhan ras ... ras ..., ras apa itu, Pak?”
“Rasial, Buk. Kerusuhan rasial.”