Cinta Subuh

Coconut Books
Chapter #1

Bagian 1

Angga Cuaca Jakarta sedang ngajak berantem. Setelah memberi harapan palsu berupa awan mendung dan cuaca berangin sejak pagi tadi, mendadak matahari bersinar terik menusuk. Panas. Sampai rasanya telur mentah bisa dijadikan omelette hanya dengan diletakkan di atas aspal. Rasanya aku salah kostum, kemeja hitam lengan panjang yang kupakai karena merasa angin sepoi-sepoi banyak berembus hari ini malah membuat panas setengah mati. Ah, in case kalian belum tahu, baju warna hitam serap panas dalam tubuh sehingga cocok dipakai ketika cuaca panas berangin. Perubahan cuaca mendadak ini persis pacar yang baru sebulan jadian kemudian memutuskan bahwa kita bukan laki-laki yang cukup baik, setelah semua harta, energi, dan waktu terbuang percuma.

Di taman kampus dengan kuota tanpa batas yang menemani, aku menunggu Mira, pacarku. Nama panjangnya Mirana Astina, agak mirip Hero Dota 2 yang cantik jelita dan naik semacam harimau. Bedanya, Mira-ku tidak naik Harimau. Dia naik ojek online dan angkutan umum. Katanya, demi mengurangi kemacetan ibu kota. Keren, kan? Begini, dia wanita terbaik—kalau tidak boleh kubilang sempurna—yang pernah kupacari. Bayangkan, mandiri, cantik, murah senyum, jago masak, selalu siap patungan kalau jalan, dan pengertian. Pernah suatu hari, di akhir bulan ketika uang kiriman orang tua untuk mahasiswa telah mendekati receh terakhir, ketika kami memilih Indomie sebagai makanan darurat, Mira tiba- tiba mengajak berakhir pekan bersama, menjalani romantisme ibu kota di akhir minggu yang ceria. Dengan berat hati, setelah mempertimbangkan keberlangsungan hidup, aku menolak. Tapi, Mira memang bukan wanita biasa.

“Nggak perlu jalan ke mal, nggak perlu keluar uang banyak, kita ke kebun binatang atau museum aja! Lebih manfaat, kan?” Sekarang bayangkan deskripsi di atas dengan wajah Natalie Portman di era keemasannya—bukan ketika memerankan Evey Hammond di V for Vendetta—dengan rambut lurus tergerai sebahu, kulit putih setara pualam, bibir merah alami tanpa gincu, dengan suara lembut Lalisa Manoban tanpa sok imut. Sempurna? Nah, satu lagi yang paling penting, Mira tidak pernah bilang terserah, bayangkan! Kesempurnaan Mira tidak berhenti sampai di situ. Bidadari kayangan itu juga merupakan mahasiswi berprestasi yang diterima di kampus ini berkat nilai ujian akhir nasional di atas rata-rata, bahkan sempurna. Sementara aku, sebagai pria tanpa nilai lebih yang takut kehilangan sang bidadari tentu harus mengejarnya kuliah di kampus unggulan yang sama di kota J ini. Aku putuskan mengambil jurusan Sastra Jawa yang tentu saja paling logis secara hukum probabilitas, tanpa kupikirkan jadi apa setelah lulus nanti. Benar saja, aku diterima di kampus yang sama, walaupun di jurusan berbeda. Peduli setan, toh tujuanku kuliah adalah demi menyusul Mira, sang dewi sempurna rupa.

Di tengah lamunanku tentang sosoknya, Mira datang dari arah pintu masuk taman kampus. Wujud yang akan langsung kukenali, walaupun di tengah kerumunan. Cantik tanpa tanding, bahkan lebih cantik dari bayangan yang tersimpan dalam ingatanku. Mira memunggungi kilau terik surya yang kejam pada ibu kota. Tapi, tidak masalah karena panas matahari tak terasa lagi berkat pancaran keteduhan yang dibawa manusia serupa bidadari itu.

“Hai, lama nunggu?” sapanya tanpa basa-basi.

“Nggak, tapi sebentar lagi terasa kayak sauna!” Aku tersenyum sambil menunjukkan peluh yang deras dari kening. Ini juga kelebihan Mira, dia nggak mudah ilfeel.

Dia lalu duduk di sebelah kiriku, seperti setiap hari, setiap kita duduk bersama. Di kelas. Di bioskop. Di mana pun. Sekalinya Mira nggak duduk di sebelah kiriku adalah ketika dibonceng di motor. Ya, iyalah.

Aku bergeser sepuluh senti demi membuatnya men dapatkan tempat lebih lega.

“Udah makan?” Aku ingin mengajaknya makan siang.

“Udah, sebelum ke sini.” Mira tersenyum.

Aku mulai curiga, biasanya kami bertemu di depan kelas, atau di kantin, atau di depan rumahnya ketika aku menjemput untuk mengajaknya jalan. Seperti yang biasa dilakukan anak muda seumur kami. Aku menerawang tanpa aba-aba, menyusun kembali penyebab kami bertemu muka di taman kampus. Tidak biasanya. Tentu saja kami ini seperti anak muda pada umumnya yang menjadikan mal dan warung kopi kekinian sebagai tempat biasa untuk bercengkerama dan bertukar cerita.

Lihat selengkapnya