Ratih “Apa beda kenabian Muhammad dengan Musa dan Isa?” Kelas diam tak bereaksi dengan pertanyaanku.
Dari sudut mata aku melirik dan mendapati Prof. Henry Alexander, atau biasa kami sapa Prof. Halex, mulai terlihat risih dengan pertanyaan pembuka diskusi dariku. Dia menganggap semua yang berkaitan dengan agama adalah dongeng yang tidak berdasar.
Ateis, begitu dia menyebut dirinya. Lulus S3 dengan memuaskan, dan mendapat penghargaan berkat karya tulisnya yang berjudul Agama: Dongeng Primitif Pemuja Kekuasaan. Karya tulis yang sebagian besar berisi kritik terhadap kejahatan perang, perpecahan, kelaparan, dan kehancuran yang menuduh agama sebagai penyebabnya.
Judul makalahku yang jadi tema diskusi adalah Peradaban Muhammad. Awalnya, mau kuberi judul Peradaban Tuhan, tapi takut segera dibantah habis oleh “dosen terbaik kampus ini”. Bahkan, aku sengaja tidak menuliskan salallahu alaihi wa alihi wasalam di belakang nama Sang Utusan Mulia demi kesempatan presentasi ini, demi mendapat peluang memberi serangan balasan pada Prof. Halex.
Aku sudah cukup kesal sejak Prof. Halex mencuci otak mahasiswanya dengan pemikiran anti-Tuhan. Masalahnya adalah sebagian besar mahasiswa tidak sedikit pun meragukan, apalagi mempertanyakan semua yang beliau sampaikan. Sebenarnya, mungkin mereka bukannya tidak kritis, tapi hanya takut pada sanksi berupa nilai jelek yang dilanjutkan pada semester pendek kalau dosen tersebut ditentang.
Aku menyiapkan materi ini bukan agar mereka mengamini pendapatku tentang agama dan kemudian meyakininya. Aku hanya ingin berbagi sudut pandang, tentang agama, tentang ketuhanan, dan lebih utama; tentang menyikapi perbedaan.
Dalam penelitiannya ketika tengah menulis buku Muhammad, Karen Armstrong berubah dari seorang yang membenci Islam menjadi seorang yang merasakan kebenaran Islam, walaupun tidak menjadikan Islam sebagai keyakinannya. Sengaja kuangkat Karen Armstrong karena menurutku karyanya dalam memahami sosok sang Nabi adalah salah satu sudut pandang humanis terbaik yang manusia pernah hasilkan. Terlepas dari berbagai isu yang bilang bahwa buku dan pemikirannya tentang agama hanya gimmick marketing, menurutku penyampaiannya dalam setiap tulisan yang dibuat sungguh tajam, padat, dan tepat sasaran. Mereka yang men- judge Islam dengan sebutan agama teroris harus membaca tulisan- tulisan Karen Armstrong.
“Tunggu-tunggu!” suara berat Prof. Halex menghen tikanku.
“Saya tahu arah pembicaraanmu, 180072009.” Dia menunjukkan kecerdasannya dengan menggunakan NIM untuk menggantikan nama kami. Pada satu sisi menunjukkan kemampuan hafalannya yang memang luar biasa, tapi di sisi lain dehumanisasi. Tidak memanusiakan manusia.
“Kamu mau mencoba mengambil kesimpulan bahwa ada kaitan antara Tuhan dengan peradaban manusia?!” Menyadari dia akan melanjutkan kalimatnya untuk memo- jokkanku, aku lebih memilih diam. Lebih tepatnya, menunggu kesempatan mengeluarkan kata-kata pemungkas untuk mengakhiri cuci otak yang dia lakukan pada setiap mahasiswa di kelas ini.
“Kalau Tuhan memang ada maka Tuhan adalah eksistensi paling biadab di dunia ini!” lanjutnya.
“Kamu tahu berapa banyak terjadi pembantaian mengatas- namakan agama dan ketuhanan?” Pertanyaan yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban.
Pertanyaan yang memancing perhatian teman-teman sekelas. Aku sangat paham sorot mata mereka. Mata orang-orang yang sedang haus ilmu, atau lebih tepatnya haus konflik. Berharap sesuatu yang keren terjadi. Bahkan, beberapa orang terlihat merekam dengan smartphone, seperti tahu akan terjadi hal menarik yang bisa menjadi konten viral santapan netizen. Dan karena hanya fokus padaku, Prof.
Halex tidak sadar atas penampakan kamera-kamera mungil yang bahkan tidak berusaha disembunyikan teman-teman sekelasku.
“Kamu tahu, 180072009?” Aku masih diam menunggunya melanjutkan penjelasan tentang ketidaktahuanku.
“Agama itu alat penguasa, alat politik, sesuatu yang dimanfaatkan manusia untuk kepentingannya. Tuhan itu ciptaan manusia!” “Jangan kamu buat diskusi kelas ini membosankan dan berbau gurun pasir! Kamu dan kepercayaanmu akan merusak teman- temanmu!” Ini dia. Sedikit lagi! “Jangan kamu salah gunakan kesempatan dialog ini dengan ceramah monolog ala kiai di masjid-masjidmu!” Ini giliranku! Aku mengangkat tangan meminta interupsi.
“Apa?!” jawabnya ketus.
“Prof tahu yang sekarang Prof lakukan justru monolog?” kataku.
“Nonsense! Kita sedang berdialog!” “Dialog harusnya sesuatu yang komunikatif, saling bertukar informasi, mengembangkan dua gagasan yang berbeda. Itu dialog Pr o f.” Kuakui Prof. Halex cerdas dan selalu ingin tahu. Rasa ingin tahunya luar biasa. Tapi, kali ini rasa ingin tahunya itu membuatnya terdiam, penasaran dengan kalimat lanjutanku, dan memberiku kesempatan melakukan serangan balasan.
“Tapi, yang Prof lakukan sekarang itu monolog yang dibungkus dengan gaya dialog, sama seperti yang Prof lakukan terhadap presentasi teman-teman saya sebelumnya!” “Apa maksud kamu?” tanyanya dengan nada gusar.
“Prof memaksakan pemikiran kepada kami, memaksakan pendapat kami untuk terkubur tanpa ada kesempatan untuk berkembang! Saya memahami dan mencoba mengerti sudut pandang Prof, tapi rasa-rasanya Anda jarang sekali mencoba menikmati perbedaan pemikiran. Sebaliknya, kami dipaksa meyakini pemikiran Prof, dipaksa meyakini apa yang Prof yakini!” Kelas mulai bergemuruh, mereka terbakar seperti Prancis saat revolusi.
“Saya dosen! Ilmu dan pengalaman saya memberikan saya kuasa untuk…”
“Untuk apa, Prof? Untuk memaksakan keyakinan Prof ke kami?” Adam, salah seorang aktivis di kelasku angkat bicara.
BRAK! Prof. Halex memukul meja dosen sekeras-kerasnya, dan seperti rakyat Prancis ketika kepala Raja Louis terpisah dari lehernya, kelas kami padam.
“180072009, hebat! Kamu hebat!” Pujian yang lebih memberi kesan menyindir itu menjadi kata- kata terakhir Prof. Halex sebelum dia meninggalkan kelas.
Sementara aku gemetar hebat karena rasa bangga dan takut yang campur aduk, teman-teman di kelas merayakan kemenanganku dengan gemuruh teriakan mengiringi keluarnya Prof. Halex. Satu persatu mereka menepuk bahuku seakan mengucap selamat dan ikut bangga akan kejadian barusan. Tentu saja mereka semua perempuan.
Teman laki-laki yang sekelas sudah mengenalku cukup lama untuk paham dan mengerti bahwa aku menjaga diri dari sentuhan dengan lawan jenis.