Cinta Subuh

Coconut Books
Chapter #3

Bagian 3

Angga Sebagai mahasiswa salah satu jurusan dengan peminat paling sedikit di kampus ini, aku sudah cukup ketakutan ketika harus membayangkan kelulusan. Lebih tepatnya setelah kelulusan. Tanpa bermaksud mendiskreditkan diri sendiri dan teman-teman Sastra Jawa, aku harus menjelaskan betapa jurusan tercinta kami ini kerap mendapat pertanyaan, pernyataan, dan tudingan tidak berdasar.

“Kalau Sastra Jawa kerjanya apa? Jadi dalang wayang kulitkah?” Pertanyaan sejenis itu yang kerap muncul. Sebagian besar penanya adalah orang-orang kepo tidak terdidik yang minta dipentung pakai Gada Rujakpala, salah satu senjata pusaka dalam kisah pewayangan! Tentu saja sebagian kecil adalah orang-orang terkasih dan tersayang yang bertanya karena memang memiliki rasa ingin tahu dalam kepedulian mereka terhadap kami, mahasiswa Sastra Jawa.

“Normalnya beberapa alumni mengambil jalur untuk menjadi dosen, pengajar, peneliti, atau pelaku seni. Tapi, buat saya sendiri, ilmu itu bukan alat untuk mempermudah mendapatkan pekerjaan.

Ilmu itu kaitannya dengan pengembangan diri. Insyaallah, jurusan yang saya ambil ini menjadi jalan pengembangan diri terbaik demi mencapai masa depan gemilang.” Biasanya, setelah menjawab seperti itu aku sendiri merasakan kegelapan pekat dalam hati. Meragukan ucapan yang keluar dari mulut sendiri. Karena sesungguhnya sejak awal aku kuliah dan mengambil jurusan ini hanya demi cinta. Ya, aku adalah Angga si budak cinta yang kemudian dihempaskan ke bumi oleh dewi yang kukejar ke kayangan.

Ah, Mira, betapa keji dirimu! Tiba-tiba teringat lagi dengan Mira, aku mengutuk dalam hati.

Untungnya, takdir Tuhan tidak sekejam Mira. Dia dan segala keagungan-Nya menuliskan takdir bahwa di bumi ada bidadari lain dalam wujud manusia, yang wajahnya membuat Natalie Portman terlihat seperti nenek-nenek 70 tahunan, dan saking merdu suaranya membuat Isyana Saraswati dan Raisa malu untuk melanjutkan konser keliling Indonesia. Nama bidadari itu Ratih. Dan di genggamanku sekarang ada sebuah alat untuk membuka jalan komunikasi, yang kalau lancar, maka bidadari itu akan menjadi Nyonya Rizky Anangga Wijayanu! HUAHAHAHAHA! Aku masih merenungi wajah Ratih dan membuat otakku bekerja keras menyimpan arsip tentang Mira ke tempat pembuangan sampah di pojokan hati. Lalu menggantinya dengan wajah Ratih ke tempat istimewa di tengah hati. Ini efek samping pacaran, kita terpaksa membuang kenangan kalau kemudian Tuhan tidak setuju mengikat jodoh sampai pelaminan. Belum lagi kalau tidak cukup kuat maka kita harus membuang barang dari mantan, dan segala hal yang menyimpan kenangan indah dengan mantan Mira.

ARGGHHH! MIRA!!! BRAK! Pintu kamar kosku terbuka, membuyarkan khayal tentang siluman ular Mira yang picik, tapi masih agak jelita, masuk pria tegap sawo matang yang kukenal sejak duduk di bangku SMA.

“Boi, lu katanya putus?” tanya Ghani, sahabat sejati yang mengikuti budak cinta ini masuk ke Sastra Jawa.

“Eh, iya. Kan, tadi udah gue WA?” Aku memang mengirim pesan singkat waktu masih galau di taman kampus, mau curhat rencananya.

“Biasanya kalau putus muka lu asem total. Kok, ini ada manis- manisnya?” Aku hanya tersenyum. Iyalah, udah ada pengganti! “Ah, gue buru-buru ke sini, nyesel!” “Eh, nggak apa-apa, untung lu ke sini. Gue mau cerita!” “Ceban!” todong Ghani.

“Buat?” “Ongkos ojek, gue buru-buru ke sini, takut lu bunuh diri!” Keseimbangan serotonin, endorfin, serta dopamin membuatku mengeluarkan uang lima puluh ribuan dan dengan senang hati memberikannya pada Ghani.

“Serius?” Aku mengangguk.

“Lu diputusin Mira jadi gila apa gimana, Ga?” “Boi, siapa Mira? Siluman ular?!” Aku nyengir, lalu dilanjut dengan, “Gue ketemu bidadari!” Ghani mengeryitkan kening, heran, dan mungkin pengin nampol temannya yang sedang kasmaran ini.

“Bentar-bentar, lu putus siang-siang tadi, kan? Terus ketemu si bidadari itu kapan?” tanya Ghani memastikan kewarasanku.

“Abis itu!” jawabku tegas.

“Selisih berapa lama?” “Yaaa, sekitar… sepanjang jarak taman kampus sampai masjid.” “Masjid kampus? Jami Baitullah?” Ghani memastikan.

Senyumku kali ini terlalu lebar sampai terlihat mengejek. Ghani lalu melemparkan bantal ke wajahku.

“Tapi, serius, Ghan. Semua yang ada di Mira, lewat!” “Gendeng sampeyan!” Ghani kesal.

Tapi, aku tidak peduli. Aku ceritakan panjang lebar semua tentang Ratih yang baru kukenal sekitar empat jam yang lalu. Detail, sampai sepatu berwarna hitam dengan pita cokelat yang tersimpan dalam pikiran ikut kuceritakan.

Ghani memang sahabat yang baik, walaupun sesekali memperlihat kan wajah tidak suka, pemuda 19 tahun asli Aceh ini rela mendengarkan sampai tuntas ceritaku tentang Ratih.

Persahabatan sejak masuk SMA memang membuat kami lebih dekat dari saudara kandung. Ghani ini salah satu saksi hidup gulungan ombak yang menyantap sebagian besar daerah pinggir pantai di kota bergelar Serambi Mekkah. Tahun 2004, tepatnya pada 26 Desember, tsunami menghantam rumah tempat tinggal Ghani. Beruntungnya Ghani yang waktu itu baru berusia lima tahun sedang pergi dengan ayahnya menghadiri acara haul seorang habib di tanah Jawa. Ghani dan ayahnya selamat, tapi ibunda dan adik perempuannya tidak seberuntung mereka.

Jenazah ibu dan adik Ghani ditemukan selang dua bulan kemudian. Ghani kecil hanya bisa menyaksikan tubuh kaku hampir beku dua orang penting dalam hidupnya. Tidak terbayang olehku bagaimana anak sekecil itu harus menghadapi kenyataan bahwa dia tidak lagi memiliki sosok seorang ibu. Ketika kami mulai bersahabat, aku beranikan diri untuk bertanya langsung. Ghani pun menjawabnya dengan tenang.

“Abi selalu ingatkan aku kalau dunia ini singkat dan sementara, sementara akhirat kekal selamanya. Jangan karena kehilangan Umi dan Dedek kemudian kita berlarut dalam kesedihan sampai mengutuk Tuhan. Kita masih diberi nyawa maka kita harus hidup untuk mereka juga!” “Angga, begini loh, Tuhan itu ambil Umi dan Dedek duluan karena Dia lebih sayang mereka dibanding gue dan Abi.” Pada lain kesempatan Ghani memberi jawaban berbeda.

Dan setiap Ghani menjawab muncul rasa kagum dalam hati, aku bangga memilikinya sebagai sahabat sejati.

“Dia pakai jilbab?” tanya Ghani ketika ceritaku sampai pada detail tentang khimar yang dikenakan Ratih.

“Pakai,” jawabku.

“Aduh Gusti… cari mangsa lain, Ga! Jangan sampai anak gadis baik-baik jadi korban playboy macam sampeyan ini!” Kadang aku terganggu dengan penyusupan bahasa Jawa di kalimat yang dikeluarkan Ghani. Soalnya beneran berantakan! Tapi, kali ini tidak kukritik sama sekali. Tentu saja karena sedang fokus membahas sang bidadari. “Kok, gitu, sih. Gue pacaran sama Mira lama, lho. Tanpa lirik- lirik perempuan lain! Masa dibilang playboy?” “Tapi, sadurunge sama Mira? Kabeh alasan sampeyan omongin demi putus sama wong wadon malang itu, nuwun, Ga!” Tapi, sebelum sama Mira? Semua alasan kamu keluarin untuk putus sama perempuan-perempuan malang itu! Mungkin begitu maksud Ghani.

Anak satu ini—walaupun dia juga jurusan Sastra Jawa—darah Acehnya begitu kental, sampai kalau orang Jawa asli dengar dia ngomong Jawa, mungkin bisa ditabok karena malah terdengar ngejek.

“Beda ini, Ghan. Ketemunya aja di masjid, rumah Tuhan, yakin gue. JODOH!” “Giliran gini baru sebut rumah Tuhan buat tameng. Biasanya nggak percaya simbol lu!” Ghani merujuk pada kebiasaanku yang agak anti terhadap simbol dan ritual berbau Islam. Sejak lahir aku berada pada lingkungan yang religius. Kedua orang tuaku, baik Ayah maupun Ibu, tidak pernah lupa membekali putra semata wayangnya ini dengan pengetahuan agama. Sejak kecil aku disekolahkan di SDIT, berlanjut ke SMPIT, baru kemudian di sekolah negeri SMA unggulan ibu kota, tentu juga karena nilai ujuan akhir nasionalku cukup bisa dibanggakan.

Pendidikan agama yang dibekali tidak hanya di sekolah. Kebiasaan salat berjamaah di rumah silih berganti dengan kebiasaan salat berjamaah di masjid. Bahkan, sepanjang aku bisa mengingat, kami selalu salat berjamaah, aku dan Ayah—kecuali ketika Ayah berada di kantor—selalu melakukan anjuran Rasulullah salallahu alaihi wa alihi wasalam, salat berjamaah mengincar saf pertama di masjid. Baru kemudian sejak aku berpisah dari mereka, melanjutkan sekolah di perguruan tinggi, kebiasaan baik itu pelan-pelan kutinggalkan. Tentu tidak sepenuhnya. Aku masih salat lima waktu, sebagian kulakukan berjamaah di masjid kampus, hanya saja untuk subuh dan isya biasanya berakhir sendirian di kos. Parahnya, sekarang salat subuh biasa kulakukan pas matahari mulai nongol.

Begitulah, ketika pelan-pelan kebiasaan ritual aku tinggalkan, secara otomatis pemikiranku juga mulai terbawa zaman. Aku tetap meyakini kebenaran Islam, hanya saja tidak seperti dulu. Itulah kenapa Ghani yang mengenalku cukup lama, bersahabat denganku sampai lebih erat dari saudara, mengenalku sebagai sosok yang tidak akan menjadikan simbol agama sebagai pertanda, termasuk masjid dan jodoh yang tidak ada hubungannya.

“Gue masih percaya jodoh di tangan Tuhan, kok!” “Tapi, sampeyan ini ora percoyo takdir dan pertemuan ada campur tangan Tuhan!” “Tapi, bisa aja…” “Yang konsisten, liberal ya liberal, jangan setengah-setengah!” “Jangan nyerang gitu, Boi!” jawabku karena kaget tiba-tiba dikatai liberal sama sahabat sendiri.

Ghani memang menentang habis pemikiranku, lebih karena sahabatku ini belum mencoba diskusi dalam denganku. Jadi, sebagian besar penolakannya masih merupakan prasangka belaka.

Menurutku.

“Kesel gue, Ga,” Ghani mulai menggunakan bahasa Indonesia tanpa selipan bahasa Jawa seadanya. “Dari cerita lu barusan, kesannya itu si…” “Ratih,” aku mengingatkan.

“Iya, itu. Kesannya Ratih pelarian doang. Kasihan anak orang!” Aku berusaha membela diri.

“Gini, pertama, belum tentu juga dia mau sama gue, kan?” Aku tidak menunggu Ghani menjawab.

Lihat selengkapnya