Mendung menggantung. Langit kelam. Gerimis perlahan turun. Titik-titik air membasahi tanah, aspal, rerumputan, genting, juga landasan terbang. Ia menatap ke luar. Sebuah pesawat turun. Suaranya menderu, roda-rodanya menapak dan mencengkeram landasan. Terdengar pengumuman bahwa pesawat SilkAir dari Singapura baru saja datang.
Gerimis terus turun. Ia melihat jam tangannya. Jam dua siang. Ia mendesah menghela napas dalam-dalam. Dua puluh menit lagi ia akan masuk pesawat dan terbang ke Singapura, lalu terbang ke Beijing, Cina. Seharusnya ia merasa senang dan bahagia. Tetapi entah kenapa ia merasa seperti ada kabut tebal yang menyesak di dadanya sehingga rasa bahagianya tidak bisa ia rasakan seutuhnya.
Bukan mendung, bukan petir yang menyambar dan juga bukan hujan yang turun semakin lebat yang membuat hatinya gamang. Wajah ayah dan ibunya yang dinginlah telah membuat rasa bahagianya tidak sempurna, bahkan rasa bahagia itu nyaris sirna. Ia bertanya-tanya dalam hati, bukankah ia bersusah payah dan berjuang keras mengukir prestasi selama ini untuk membahagiakan kedua orangtuanya? Sebagai anak semata wayang ia tidak mau dimanja-manja. Ia belajar keras dan bekerja tiada henti siang dan malam demi mengangkat derajat kedua orangtuanya. Ia ingin menunjukkan bakti terbaik kepada mereka. Ia ingin menjadi anak yang bisa mikul duwur mendem jero.
Tetapi kenapa orangtuanya seperti tidak mengerti juga apa yang telah ia lakukan? Saat ia menerima undangan dari Beijing dan ia beritahukan kepada mereka, mereka menanggapinya biasa-biasa saja. Seperti tidak ada yang istimewa. Padahal itu adalah undangan istimewa dan luar biasa.
Ia diundang ke Beijing untuk menerima penghargaan atas karya-karya dan prestasinya di bidang arsitektur. Artikel yang ia tulis di jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh RMIT Melbourne, Australia mendapat apresiasi yang sangat luas dari para pakar arsitektur dunia. Dan puncaknya ia diundang ke Beijing untuk diberi penghargaan level internasional oleh School of Architecture, Tsinghua University, sebuah universitas ternama di Cina. Tidak mudah mendapat penghargaan dan pengakuan seprestisius itu.
Di Asia Tenggara, katanya, dialah orang pertama yang meraihnya. Ia tidak hanya mengangkat martabat keluarga, tetapi juga mengangkat martabat bangsa dan negara. Ya, martabat bangsa dan negara yang bernama Indonesia yang amat dicintainya.
Ia telah mendapat puluhan email ucapan selamat. Dari sesama dosen sejawatnya di kampus, dari teman-temannya dulu kuliah, dari dosen-dosennya yang dulu mengajarnya di UGM dan ITB. Bahkan dari Menteri Pendidikan Nasional Indonesia.
Sesungguhnya di kalangan akademisi fakultas teknik, khususnya jurusan arsitektur di Indonesia ia sedang menjadi bintang dan bahan perbincangan.
Ada seorang teman lamanya yang tidak percaya bahwa ia bisa menulis artikel ilmiah yang bisa menembus dan dimuat oleh jurnal ilmiah RMIT Melbourne sebab ia tidak pernah kuliah di luar negeri. Ia murni produk dalam negeri. Menyelesaikan S1 di Fakultas Teknik UGM dan S2 di ITB. Ia hanya bisa menanggapinya dengan senyum. Temannya itu memang jenis orang yang lebih percaya bahwa lulusan luar negeri dan menganggapnya pasti lebih hebat dari lulusan dalam negeri.
Ia lalu meminta kepada temannya itu untuk membuka beberapa website jurnal ilmiah di dalam dan di luar negeri.
Ia kirimkan dengan lengkap dan detail alamat websitenya.
Artikelnya sudah dimuat tidak hanya di RMIT Melbourne, tetapi juga di jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh NUS, UCLA, ANU, MIT, Utrecht University, dan Osaka Institute of Technology. Ia ingin menunjukkan bahwa lulusan dalam negeri bisa setara, bahkan bisa mengalahkan lulusan luar negeri.
Tetapi apalah artinya semua penghargaan dan ucapan selamat itu jika tidak juga bisa membahagiakan kedua orangtuanya. Ia masih ingat betul wajah ayahnya yang dingin saat ia pamit.
Ayahnya hanya bilang, “Yah, kalau sudah selesai segera pulang.”
Ibunya sedikit lebih ramah, tetapi terasa dingin juga, “Hati-hati ya.”
Ia sebenarnya berharap ayah dan ibunya melepasnya dengan rasa bangga, bahkan ikut mengantarnya sampai Bandara Internasional Adi Sumarmo Solo. Meskipun sudah bukan anak-anak dan remaja lagi, bahkan sudah sangat berumur, tetapi ia ingin dilepas kedua orangtuanya layaknya seorang anak yang dimanja dan—lagi-lagi—dibanggakan. Ia telah berusaha menjadi anak yang baik, anak yang berbakti kepada orangtuanya. Apakah baktinya selama ini masih kurang? Ia hampir selalu mengikuti apa yang diinginkan kedua orangtuanya, kecuali beberapa hal yang rasanya ia tidak harus mengikuti kemauan keduanya. Karena ia merasa bahwa hal itu sama sekali tidak mengganggu orangtuanya dan jika ia mengikutinya ia tidak akan menjadi dirinya sendiri. Misalnya begitu lulus SMP, ayahnya minta masuk pesantren dan menghapal Al-Quran, tidak usah melanjutkan sekolah. Ayahnya mengatakan bahwa di pesantren juga ada madrasahnya, ia bisa melanjutkan sekolah di sana saja. Ibunya mendukung keputusan ayahnya, dengan alasan pesantren biayanya sangat murah. Sesungguhnya ia ingin mengikuti keinginan ayah dan ibunya, tetapi entah sebagai lulusan terbaik di SMP terbaik di Kota Semarang, ia merasa lebih nyaman jika melanjutkan ke SMA terbaik di kota kelahirannya itu.
Ia tidak membantah ayah dan ibunya saat itu, melainkan hanya pura-pura sakit. Dan anehnya, ia benar-benar bisa demam sampai berhari-hari. Akhirnya ibunya iba. Ibunya mengajak bicara dari hati ke hati dan ia mengutarakan bahwa keinginan terbesarnya adalah masuk SMA terbaik di Kota Semarang, bukan ke pesantren.
Ibunya lalu bicara pada ayahnya, “Daripada nanti di pesantren malah sakit-sakitan terus, ya biarlah dia melanjutkan ke SMA.” Maka akhirnya ia pun diizinkan masuk SMA. Ia tahu ayahnya sangat kecewa.
Tiga tahun di SMA ia selesaikan dengan baik. Ia lulus dengan nilai ujian akhir tertinggi di sekolahnya. Keinginannya adalah masuk Fakultas Kedokteran UI, UGM, Undip, atau UNS. Ia utarakan pada kedua orangtuanya. Ibunya menanggapi dengan sangat antusias.
“Wah Pak, kalau Rana jadi dokter, mulia kita, Pak. Oh senangnya kalau punya anak dokter.” Mata ibunya berbinar-binar.
Tetapi ayahnya menanggapi dengan dingin, “Senang-senang, nggak dipikir biayanya dari mana! Mbok yo uteke dienggo ojo perasaane wae sing dienggo!" ( Mbok ya otaknya dipakai, jangan perasaannya saja yang dipakai!)
Mendengar kalimat ayahnya itu ia lalu mawas diri dan berpikir bahwa untuk menembus masuk Fakultas Kedokteran UI dan UGM ia sangat yakin bisa, tetapi setelah masuk ia pun belum yakin dengan cara membiayai kuliahnya. Dari kakak kelas yang sudah dua tahun di Fakultas Kedokteran, ia tahu bahwa biaya pendidikan di sana memang besar. Biaya praktiknya juga mahal. Ia jadi bingung saat itu mau meneruskan ke mana.
Ayahnya bilang, “Sudah masuk IKIP saja, nanti jadi guru.”
Tetapi ia merasa itu kurang menantang. Ia ingat pernah punya keinginan pergi ke Prancis dan melihat Kota Paris yang katanya cantik, serta Menara Eiffel yang legendaris. Ia pernah bertanya pada guru sejarahnya, kenapa Kota Paris bisa begitu cantik dan indah? Gurunya menjawab karena mereka punya insinyur dan arsitek-arsitek yang hebat. Maka ia merasa tertantang dan memilih meneruskan kuliah di Fakultas Teknik UGM, Jurusan Arsitektur.
Ayahnya kurang setuju, tetapi Rana tetap maju dan memberikan seribu alasan sehingga kemauannya diamini sang ibu. Mau tak mau, ayahnya pun akhirnya setuju. Ia berjanji pada mereka berdua bahwa ia akan bertanggung jawab sepenuhnya pada pilihannya. Dan ia membuktikan janjinya. Tahun pertama ia selesaikan kuliahnya dengan hasil gemilang. Ia menghadap ayah dan ibunya dengan membawa IP 3,87, IP tertinggi di jurusannya.
Saat itu, ayahnya berkata, “Alhamdulillah. Terus belajar yang baik. Jangan sekali-kali meninggalkan shalat. Jaga akhlak. Dan jangan neko-neko!”
Ia menjawab, “Inggih, Pak. Pangestunipun Bapak.”
Ayahnya saat itu sudah tua, meski maasih aktif bekerja sebagai pesuruh di sebuah kantor kelurahan di daerah Semarang atas. Sudah menjelang pensiun.
Suatu ketika Rana pulang dari Jogja ke rumahnya. Ia menemukan ibunya sedang menangis tersedu-sedu di kamarnya. Ia menanyakan apa yang terjadi. Di mana ayahnya? Sang ibu lalu berkata sambil tersedu-sedu, “Maka Nduk, kamu sekolahlah setinggi-tingginya. Jangan sampai nasibmu kayak ibu dan bapakmu. Kalau sekolahnya rendah itu tidak diajeni (dihormati) sama orang.”
“Ada apa sebenarnya, Bu?”
Ibunya terus menangis. Hati Rana jadi luluh. Tanpa ia sadari airmatanya meleleh. Setelah agak lama, ibunya bercerita, “Kasihan bapakmu, Nduk. Sudah tua. Tak lama lagi juga pensiun. Bapakmu tadi dimarahi habis-habisan oleh atasannya. Dikata-katai dengan kata-kata yang tidak selayaknya. Dihina sehina-hinanya. Tetapi bapakmu tidak bisa berbuat apa-apa. Satu bulan ini sudah tiga kali bapakmu dihina. Tadi itu yang ketiga.”
“Dihina bagaimana, Bu?”
“Pokoknya dihina sehina-hinanya.”