Cinta Suci Zahrana

Republika Penerbit
Chapter #2

Menekuri Diri

Yang tampak dari jendela hanyalah awan pekat. Sesekali pesawat goyang. Rana sama sekali tidak cemas dan tegang, sebab ia tahu begitu pesawat berhasil mengangkasa, masa kritisnya telah lewat. Dari jendela ia melihat garis kilat menyambar. Pesawat terus melesat menerobos awan. Lampu tanda kenakan sabuk pengaman belum dipadamkan. Pesawat kembali goyang. Beberapa orang menyebut nama Tuhan, ia pun mengikutinya. Tetapi ingatannya masih pada wajah ayah dan ibunya yang tampak dingin dan kurang senang.

Ia bertanya-tanya, kalau memang mereka tidak suka ia pergi ke Beijing, mengapa mereka mengizinkan? Ia jadi teringat Lina, sahabat karibnya, yang kini bisnis berjualan buku dekat kampus Undip Tembalang. Setelah wawancara dengan wartawan mengenai keberangkatannya ke Cina dan pamitan dengan enam mahasiswanya yang ikut mengantarnya ke bandara, ia sempat menelepon Lina.

“Nggak ngganggu, kan Lin?”

“O tidak. Di mana kamu, Rana? Jadi berangkat ke Cina?”

“Jadilah. Ini aku di bandara Solo. Sudah siap berangkat. Aku transit di Singapura dulu.”

“Jangan lupa oleh-olehnya. Bawain batunya tembok raksasa, ya? He he….”

“Ah, kau ada-ada, Lin. O ya, aku mau minta tolong.”

“Apa itu?”

“Tolong, kau datanglah ke rumahku. Temui ayah dan ibuku.”

“Terus?”

“Tadi waktu aku pamitan, mereka dingin-dingin saja. Aku jadi kepikiran sampai sekarang. Tolong jelaskan kenapa aku harus ke Beijing. Ini penghargaan yang mengharumkan nama bangsa dan akan diliput oleh televisi nasional. Kau carilah informasinya. Dan pastikan ayah dan ibuku nonton ya, biar mereka senang.”

“Baik insya Allah, dengan senang hati.”

“Bener lho, Lin, jangan lupa.”

“Iya insya Allah Zahranaku yang baik, nanti sore menjelang Maghrib aku akan ke rumahmu sama suami. Kau jangan khawatir. Terus sukses ya, hati-hati, dan jaga kesehatan.”

“Terima kasih ya, Lin. Kau memang sahabatku yang paling baik.”

Wajah sejuk sahabatnya terbayang di pelupuk matanya. Ia sangat beruntung punya sahabat sebaik Lina. Meneduhkan di kala gelisah, dekat di kala susah, mengobati di kala sakit, dan mesra di kala bahagia. Itulah sahabat sejati. Itulah Lina.

Persahabatannya dengan Lina dimulai sejak di SMA, karena sama-sama dari kalangan keluarga menengah ke bawah. Mereka akrab, meskipun aktivitas saat di sekolah agak berbeda. Lina aktif di OSIS bagian kerohanian Islam atau biasa dikenal dengan sebutan Rohis. Sementara dirinya lebih suka aktif di LKIR, Lembaga Karya Ilmiah Remaja. Penampilan saat di SMA pun berbeda. Ia tidak berjilbab dan memakai rok di bawah lutut dengan kaos kaki putih sampai dekat lutut, sementara Lina berjilbab dan roknya sampai mata kaki.

Rana sangat menghormati Lina, demikian juga sebaliknya.

Di kelas, keduanya bersaing ketat. Selama tiga tahun, dua kali Lina mengalahkan dirinya. Selebihnya ia mengalahkan Lina, termasuk nilai akhir. Ia yang terbaik di angkatannya disusul Lina.

Bedanya, Lina tidak seambisius dirinya. Lulus SMA, ia masuk UGM sementara Lina merasa cukup dengan kuliah di Undip Jurusan Biologi. Ia pernah mengajak Lina ke UGM, tetapi Lina tidak bisa sebab harus membantu kedua orangtuanya dengan cara mengajar privat, agar adik-adiknya bisa lanjut sekolah.

Saat kuliah di UGM, setiap kali pulang ke Semarang Rana tidak pernah lupa untuk menemui sahabat karibnya itu. Lina pun jika suatu ketika punya acara ke Jogja bersama teman-temannya, tidak lupa untuk mampir menjenguk Rana di kosnya.

Bagi Rana, Lina lebih dari seorang sahabat, melainkan sudah seperti kakak atau adik kandungnya. Atau malah seperti saudara kembarnya. Saat ia sakit demam dan terkapar di Jogja karena kelelahan mengerjakan tugas akhir, ia pernah iseng mengirim sms kepada Lina. Tak disangka seketika hari itu juga Lina datang dan menunggui dirinya sampai sembuh.

Kalau ia boleh jujur, sesungguhnya ia lebih banyak mengambil keuntungan dari Lina daripada Lina mengambil keuntungan darinya. Lina lebih banyak menolongnya daripada dia menolong Lina. Ia pernah menyampaikan hal itu kepada Lina. Sahabatnya itu malah tertawa dan berkata, “Wong bersahabat kok hitung-hitungan mikir untung rugi. Kau harus tahu bahwa selama kau jadi orang baik, maka bersahabat denganmu adalah keuntungan dan barakah bagiku. Ingat, catatannya selama kau jadi orang baik. Karena ingat kau, maka aku akan ingat kebaikan dan prestasimu, itu menjadi semangat bagiku untuk terus baik.” Ia jadi malu pada Lina yang menyanjungnya sebagai orang baik. Justru ia merasa sebaliknya. Kebaikan dan ketulusan Linalah yang sering menginspirasi dirinya untuk sabar dan berbuat baik pada orang lain.

Saking baiknya, sahabatnya itu diam-diam telah memikirkan seseorang untuk dijodohkan dengannya. Ia jadi ingat bagaimana Lina begitu bersemangat hendak menikahkan dirinya dengan seseorang. Orang itu adalah Mas Andi, kakak sepupu jauh Lina yang bekerja di kantor Telkom Semarang. Lina menjamin Andi orangnya saleh dan baik. Tanpa diberitahu Lina, Rana tahu siapa Mas Andi, sebab sebelum kerja di Telkom Mas Andi sering mengisi acara Rohis di SMA-nya. Mas Andi juga sering diundang mengisi acara outbond OSIS. Mas Andi pernah nyantri di Pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak sambil sekolah SMP di sana, lalu melanjutkan ke SMA Negeri di Solo dan selesai S1 Teknik Industri Undip. Ia bahkan hafal curriculum vitae-nya.

“Shalat jama’ahnya tidak pernah ketinggalan,” kata Lina.

Rana tersenyum pada sahabatnya itu dan mengatakan belum ingin menikah, masih ingin menyelesaikan kuliah.

“Nggak masalah, kau nikah saja. Terus tetap kuliah. Nanti tiap akhir pekan Mas Andi bisa ke Jogja. Sampai kamu selesai.”

“Tidak Lin. Jangan kau paksa aku. Nanti kalau aku sudah saatnya nikah dan belum menemukan jodoh, pasti aku akan minta tolong kamu.”

“Ya sudah kalau itu keputusanmu. Sebenarnya saya kok merasa sayang jika orang sebaik Mas Andi diambil orang, makanya ingin aku kasihkan pada sahabat terbaikku.”

“Terima kasih atas perhatianmu, Lin.”

Tak lama setelah itu Lina mengabarkan hendak menikah. Yang ia agak kaget, Lina akan menikah dengan Mas Andi. Rana sangat bahagia mendengarnya. Dua hari penuh ia sediakan waktu untuk ikut bantu-bantu di rumah Lina.

Ia sempat menggoda Lina, “Katanya mau dikasihkan aku, kok diambil sendiri.”

Lina dengan enteng menjawab, “Permata mulia kalau tidak segera diamankan, bisa gawat. Nanti diambil orang. Salah sendiri kau tidak mau. Jangan nyesal, ya.”

Ia terkekeh mendengar jawaban sahabatnya itu.

Setelah Lina menikah, persahabatan mereka semakin akrab, sebab Lina mulai merintis bisnis buku. Ia membuka toko buku di dekat kampus Undip. Hampir tiap bulan Lina dan suaminya ke Jogja untuk mengambil buku di beberapa penerbit dan distributor di Jogja. Setiap kali ke Jogja, Lina pasti mampir ke tempat kosnya. Tidak jarang Lina bawa oleh-oleh. Hal itu benar-benar membuatnya merasa sangat diistimewakan.

Lina juga yang terus memintanya dengan halus ataupun terang-terangan agar ia memakai jilbab. Namun ia baru memakai jilbab justru setelah selesai diwisuda S1. Setelah di rumah bersama kedua orangtuanya dan ayahnya menyinggung agar dirinya sebaiknya menutup auratnya dengan benar, Rana tidak memiliki alasan untuk menolak keinginan tersebut. Dan Lina adalah orang yang ia ajak mencari jilbab yang cocok untuknya. Ia bisa menangkap kegembiraan Lina yang luar biasa.

Lina juga yang mengingatkan dirinya ketika akan mengambil S2 di Bandung agar menikah dulu. “Apa yang menghalangi kamu untuk menikah Rana?” tanya Lina.

“Saya ingin fokus menuntut ilmu dulu, Lin.”

“Saya tahu bahwa bagimu prestasi akademik adalah segalanya. Tidak salah perempuan seperti kita meraih pendidikan setinggi-tingginya. Tetapi kamu tidak boleh lupa prestasi lain yang sangat penting, Rana.”

“Apa itu?”

“Melahirkan generasi yang akan menjadi pemimpin negeri ini. Generasi yang mengagungkan nama Allah di mana saja dia berada.”

Lihat selengkapnya