Bunyi rintik hujan di genteng bersahutan dengan bunyi guntur yang menyambar-nyambar. Daun-daun menari bergesekan tertiup angin. Rerumputan meringkuk dalam basah. Air berlarian masuk selokan bersama daun-daun kering, ranting-ranting patah dan sampah. Dua orang tua itu duduk membisu di beranda rumah mereka. Rumah tembok yang sederhana dan tua. Perawatan yang baik dan penataan bunga- bunga dan tanaman hidup lainnya yang mengalirkan nyawa membuatnya tetap berwibawa. Kelemahannya tertutupi dengan nyaris sempurna. Dalam guyuran hujan rumah itu tetap tampak hangat. Warna hijau muda membuatnya tetap tampak segar.
Sesaat lama kedua orang tua itu duduk berdua dalam kebisuan. Keduanya memandang ke depan. Ke arah halaman dan jalan. Seorang anak kecil berusia lima tahun berlari-lari bermain-main hujan dengan riang. Ibunya yang agak gemuk dengan gemas mencoba mengejar dan menangkap, tetapi sang anak seperti ingin memainkan ibunya. Ia sepertinya tahu sang ibu akan kesusahan mengejarnya karena memegang payung.
Sang ibu mulai geram, berkali-kali ia minta agar anaknya berhenti dan segera kembali ke rumah.
“Main hujannya sudah cukup, Le. Nanti masuk angin!”
Sang anak sama sekali tidak menghiraukan. Sang ibu semakin geram, ia tutup payungnya dan ia kejar anaknya itu secepat-cepatnya. Tetapi sang anak lebih cepat larinya. Jadilah adegan kejar-kejaran ibu dan anak di tengah hujan. Para tetangga melihat hal itu dengan tersenyum dan cekikikan. Dua orang tua itu juga tertawa. Kebisuan di antara keduanya dipecah oleh tawa.
“Oalah Marni, sudahlah biarkan saja! Bocah mau hujan-hujanan biar saja. Nanti kalau sudah kedinginan pasti pulang sendiri!” kata lelaki tua.
“Gak usah teriak-teriak, Pak. Si Marni juga tidak dengar. Biarkan saja Ibu sama anaknya itu kejar-kejaran, kita tonton saja dari sini. Malah jadi hiburan,” sahut yang perempuan.
“A h kalau aku punya cucu, akan aku ajak dia hujan-hujanan. Dia pasti senang.”
“Ah, yang benar, Pak. Sekali hujan-hujanan nanti sakitnya lima hari. Lha. Jenengan ini kemarin kehujanan sedikit saja waktu pulang dari Pasar Johar langsung masuk angin.”
“O kalau ada cucu beda, Bu. Beda. Cucu itu bisa nambah semangat dan mengalirkan kekuatan baru.”
“Gitu ya, Pak?”
“Iya. Kalau ada cucu kita tidak cepat tua. Tapi tidak ada cucu rasanya cepat sekali kita tua. Bahkan pintu kubur seperti ada di depan mata.”
“Ah, Jenengan jangan bicara begitu tho, Pak.”
“Bukan begitu, Bu. Aku ini kok takut kalau sampai tidak bisa melihat cucuku lahir. Itu kalau aku punya cucu. Kalau Si Rana mau menikah.”
“Aku yakin dia pasti menikah, Pak.”
“Tapi kapan?”
“Allahu a’lam.”
Keduanya lalu kembali diam. Hujan semakin deras. Anak itu akhirnya tertangkap oleh tangan ibunya. Sang anak meronta tapi cengkeraman sang ibu lebih kuat. Keduanya basah kuyup oleh hujan. Sang ibu menyeret anaknya ke rumah. Sang anak kembali berontak. Sang ibu jengkel ia pukul pantat anaknya agak keras. Anak itu menangis.
“Marni kae kok kejem banget tho! Anak mau senang sedikit kok dihajar kayak begitu.”
“Bapak dulu lebih kejam.”
“Ah, nggak mungkin.”
“Jenengan sudah lupa.”
“Aku tidak pernah seperti Marni itu.”
“Saat Zahrana seusia si Tole itu, persis sore-sore begini. Turun hujan. Sudah lama tidak turun hujan. Si Rana langsung lari ke halaman hujan-hujanan. Jenengan minta Rana kembali masuk rumah, Rana tidak dengar. Lalu Jenengan mengambil Rana dan menghajar pahanya dengan rotan. Rana kesakitan. Semalam penuh ia menangis. Paginya demam. Dan ia akhirnya harus diopname di rumah sakit tiga malam. Jenengan lupa, ya?”
“Ah, itu dulu. Sekarang kalau dengan cucu tidak akan begitu.”
Mendengar jawaban itu sang istri tersenyum.
Hari semakin gelap. Hujan tidak lagi kencang. Sebuah mobil Kijang tua memasuki halaman. Wajah dua orang itu seketika berbinar dan menyungging senyum.