Hampir tengah malam, bandara terbesar di daratan Cina itu masih ramai. Ribuan orang berlalu-lalang menyeret dan menenteng barang bawaannya. Ada yang baru keluar dari pesawat, dan ada yang bersiap memasuki pesawat. Ada yang duduk-duduk sambil membaca koran. Ada yang sedang memilih-milih barang belanjaan. Ada yang sedang menukarkan uang. Ada juga yang asyik ngobrol sambil makan di restoran.
Jam di Capital International Air port Beijing menunjukkan angka 23.25 ketika pesawat SQ 810 diumumkan telah mendarat. Artinya pesawat itu tiba tepat seperti yang dijadwalkan, bahkan datang lebih awal lima menit.
“Semoga tidak dingin ya, Bu.”
“Kalau tidak salah menurut ramalan cuaca, suhu udara malam ini di Beijing antara 6 sampai 9 derajat celcius.”
“Ibu tahu dari mana?”
“Dari koran yang ada di pesawat tadi.”
“ O.”
Zahrana terus berjalan melewati lorong garbarata diiringi pemuda yang bernama Edi Nugraha. Di ujung lorong seorang petugas bandara berdiri mengangguk ramah. Ada tiga orang dengan berjas rapi berdiri. Di tangan mereka membawa papan nama seukuran stop map, tertulis nama dalam bahasa Inggris dan bahasa Cina. Zahrana nyaris melewati mereka, tapi telinganya mendengar namanya disebut.
“Miss Zahrana from Indonesia.”
Ia menoleh. Seorang lelaki muda bermata sipit berwajah putih tersenyum manis. Ia membaca papan nama yang dibawa lelaki muda itu. Tampak tertulis namanya dan di bawahnya tertulis Tsinghua University.
“Yes. I’m Zahrana.”
“Nice to meet you. Welcome to Beijing. My name’s Vincent Lung.” Selanjutnya lelaki muda itu menjelaskan dialah yang ditugasi untuk menjemput dan mengurus semua keperluan Zahrana selama di Beijing. Vincent meminta supaya Zahrana mengikuti dirinya. Zahrana pamit pada Edi.
“Insya Allah saya akan datang pada malam penganugerahan itu, Bu. Semoga ada kesempatan.”
“Senang kalau Anda bisa datang. Mari, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Vincent membawa Zahrana ke imigrasi. Hampir semua yang datang berbaris rapi untuk diperiksa dan dicap paspornya. Tetapi Zahrana tidak perlu mengantri, karena Vincent membawanya ke jalur diplomat. Ia dianggap tamu negara.
Lelaki muda itu berbicara dengan petugas imigrasi dalam bahasa Cina. Zahrana sama sekali tidak paham. Yang jelas paspornya diperiksa sebentar lalu distempel. Vincent lalu minta nomor bagasi Zahrana dan menyerahkan pada seorang temannya yang memang bersiap untuk mengurusi bagasi. Vincent lalu mengajak Zahrana ke sebuah kafe untuk minum kopi sambil menunggu bagasi.
Zahrana mengamati bandara yang begitu besar. Sebagai orang yang mendalami bidang arsitektur, ia harus memberikan pengakuan bahwa Norman Foster sebagai perancang bandara itu adalah seorang arsitek hebat. Dulu saat ia pergi ke Hong Kong, ia merasa bandara Hong Kong adalah yang terbesar di Asia. Tetapi begitu ia sampai di Beijing, maka Hong Kong tidak ada apa-apanya. Ia menakar bahwa bandara Beijing tiga kali lebih besar dari Hong Kong. Bandara yang disiapkan untuk menyambut Olimpiade itu konon luasnya sama dengan 170 lapangan bola. Wajar jika bandara yang berbentuk naga raksasa itu dinobatkan sebagai bandara terbesar di dunia.
“Saya sudah membaca artikel-artikel Anda. Saya kagum pada Anda,” kata Vincent sambil menyeruput kopinya.
“Oh, terima kasih. Tulisan yang mana yang Anda baca?”
“Hampir semua artikel yang telah Anda terbitkan dalam bahasa Inggris. Begitu saya diberi tugas untuk menjemput dan melayani tokoh penting yang akan mendapatkan penghargaan, saya langsung mencari tahu biografi dan karya-karyanya. Saya cari di internet dan perpustakaan. Tulisan Anda yang dimuat di Osaka saya cari tidak ada. Untung saya punya kenalan di sana, dan akhirnya saya dikirimi fotocopynya. Anda memang layak mendapatkan penghargaan dari universitas kami. Konsep yang Anda tuangkan dalam ide arsitektur berbasis budaya sungguh luar biasa. Selain estetika dan teknologi, Anda memasukkan unsur etika. Yaitu etika pada kehidupan, pada alam. Saya salut.”
“Terima kasih, Mr. Vincent.”
“Pokoknya selama di Beijing ini, jika Anda perlu sesuatu, perlu bantuan apa saja, jangan segan untuk menelepon saya. Ini kartu nama saya.” Vincent mengulurkan kartu namanya.
Zahrana menerima dengan senyum lalu gantian memberikan kartu namanya.
“Sekali lagi, terima kasih.”
“Ah, itu si Fang sudah membawa bagasinya. Mari saya antar ke hotel.” Vincent menerima koper biru tua yang diseret oleh Fang, lalu mengajak Zahrana ke arah pintu keluar. Sebuah mobil SUV mewah sudah menunggu. Vincent memasukkan koper lalu membukakan pintu tengah untuk Zahrana, ia sendiri lalu masuk di pintu depan dan duduk di samping sang sopir.
Mobil meluncur meninggalkan Capital International Air port Beijing dan membelah jalanan Kota Beijing yang lebar. Gedung-gedung pencakar langit di mana-mana. Jalanan tampak rapi. Arus lalu lintas sangat lancar. Mungkin karena tengah malam.
“Selain acara seremonial penerimaan penghargaan itu, apakah Anda sudah punya rencana membawa saya mengunjungi tempat-tempat yang penting selama saya ada di Beijing?”
“Oh tentu. Mohon maaf dalam undangan yang kami cantumkan hanya susunan acara seremonial itu. Karena itulah tujuan utama kami mengundang Anda ke sini. Tetapi selain itu kami tentu sudah menyiapkan tentatif acara yang akan kami tawarkan kepada Anda, jika Anda berkenan. Kami akan ajak Anda mengunjungi Summer Palace di tepi Danau Kunming, Forbidden City, dan tentu saja Great Wall.”
“Bisakah diagendakan melihat Tiananmen Square dan masjid tertua di Beijing?”
“O tentu saja, dengan senang hati. Tentang masjid, ada banyak masjid di sini. Masjid mana yang Anda ingin kunjungi?”
“Saya dengar yang paling tua namanya masjid Niujie.”