Baru melihat beberapa bagian saja, Zahrana harus mengakui keindahan kampus lama Tsinghua University.
Bangunan-bangunan klasik Cina masih dipertahankan dan dirawat dengan cantik. Salah satu bangunan yang memesona dirinya adalah Grand Auditoriumnya. Arsitekturnya bergaya campuran Yunani dan Romawi. Beratap bulat. Memiliki empat pilar marmer putih. Dindingnya berwarna merah kecokelatan.
Bangunan itu tampak berwibawa sekaligus menggemaskan. Perpaduan antara kemegahan, keanggunan, keindahan, dan sekaligus kesederhanaan. Memasuki halaman Grand Auditorium, wibawa upacara penganugerahan penghargaan itu sudah sangat terasa. Vincent mengatakan Jean Nouvel, Tadao Ando, dan belasan arsitek terkemuka dunia juga datang. Jantung Zahrana berdegup kencang, rasa mindernya sedikit terasa. Dua nama yang disebut Vincent bukan sembarang nama. Keduanya adalah maestro arsitek yang memiliki karya-karya prestisius.
“Jean Nouvel dari Prancis yang terkenal dengan desain hyper-modernnya itu?” tanya Zahrana meyakinkan.
“Ya siapa lagi kalau bukan dia,” jawab Vincent enteng.
“Zaha Hadid sebenarnya juga mau datang, tapi tidak jadi karena ia tiba-tiba harus membereskan urusan bisnisnya yang sangat penting di Jerman katanya.”
“Zaha Hadid?”
“Ya.”
“O indah sekali kalau dia bisa datang. Saya terobsesi untuk bisa bertemu dan berdiskusi dengannya.”
“Sayang sekali memang dia tidak bisa hadir.”
Mendengar nama-nama itu, Zahrana merasa dirinya kerdil. Ia belum ada apa-apanya, belum ada sekukunya dibandingkan prestasi mereka. Zaha Hadid adalah arsitek perempuan pertama yang menerima Penghargaan Pritzker, penghargaan nobel untuk bidang arsitektur. Dia adalah arsitek yang sangat inovatif.
Karakter desainnya yang berani, kontemporer, organik, inovatif, menggunakan teknologi dengan material yang jauh dari kata ‘biasa’. Latar belakangnya yang seorang ahli matematika membuat dia berani membuat desain-desain ekstrim yang sampai saat ini kita sebut “arsitektur dekonstruksi”. Hal ini membuatnya menjadi salah satu arsitek paling terkenal di dunia.
Di antara karyanya adalah Zaragoza Bridge Pavilion, BMW Central Building, Kereta Api Kabel Nordpark, dan Phaeno Science Centre.
Zahrana memasuki ruang auditorium dengan langkah sedikit gemetar. Ruangan itu sudah hampir penuh. Vincent mengajaknya ke barisan paling depan. Ratusan pasang mata memandangnya. Vincent mengenalkan Zahrana pada orang- orang penting yang ada di barisan paling depan, termasuk Rektor Tsinghua University, Menteri Pendidikan RRC, para guru besar, para duta besar, dan lain sebagainya. Zahrana dipersilakan duduk tepat di samping guru besar Fakultas Teknik Fudan University, Prof. Jiang Daohan.
“Sebelumnya saya ucapkan selamat ya, buat Anda, buat Indonesia. Saya sudah membaca tulisan-tulisan Anda, ide-ide Anda. Sangat bagus. Jika mau saya bisa carikan investor dan Anda bisa membuat mahakarya atas ide-ide brilian Anda di bidang arsitektur berbasis budaya. Ini kartu nama saya, kalau Anda tertarik dengan tawaran saya.” Profesor setengah baya itu begitu ramah.
“Terima kasih, Profesor. Saya sangat tersanjung dan merasa sangat terhormat atas tawaran Anda. Saya akan memikirkannya matang-matang,” jawab Zahrana seraya gantian mengulurkan kartu nama.
“Kapan-kapan saya undang untuk ceramah di Fudan, ya?”
“Boleh, Profesor. Sebuah kehormatan bagi saya.”
Tak lama kemudian, tepat pukul sepuluh acara dimulai. Rangkaian acara dipandu dalam dua bahasa, bahasa Mandarin dan bahasa Inggris. Suasana auditorium itu tampak khidmad dan berwibawa. Satu per satu rangkaian acara dilewati.
Akhirnya sampai pada acara puncak, yaitu pemberian Tsinghua International Award untuk tiga tokoh yang dianggap memiliki karya dan gagasan besar untuk kemanusiaan dan kelestarian budaya.
Kali ini Tsinghua University memberikan penghargaan untuk yang berprestasi luar biasa di bidang arsitektur, musik, dan peneliti sosial yang semua fokus basis budaya. Rektor Tsinghua University mengumumkan dan memanggil tiga tokoh penerima penghargaan untuk maju ke panggung.
“Saya panggil, yang pertama, arsitek muda yang sangat inovatif dan memiliki gagasan dan desain yang berkarakter sangat kuat, sangat khas mengangkat arsitektur landscape tata kota zaman Mataram, atau Jawa kuno ke era modern yang lebih banyak dijejali desain-desain bergaya futuristik. Karya arsitek ini memiliki filosofi desain dan akar budaya sangat kuat. Dia adalah arsitek brilian dari Universitas Mangunkarsa, Semarang, Indonesia: Dewi Zahrana!”
Seketika ruangan itu riuh oleh tepuk tangan. Atap ruangan itu seperti mau runtuh. Dada Zahrana bergetar hebat. Ia menguatkan diri. Zahrana berdiri dan maju ke panggung utama.
Setelah sampai di panggung, Sang Rektor meminta kepada Menteri Pendidikan untuk menyerahkan piala penghargaan. Zahrana menerima piala itu dengan mata berkaca-kaca. Tepuk tangan kembali terdengar gemuruh. Belasan kamera wartawan dan empat kamera televisi merekam peristiwa itu. Zahrana lalu dipersilakan memberikan pidato.
Dengan sangat mantap, Zahrana melangkah ke podium. Tangan kanannya memegang piala. Tangan kirinya memegang podium. Zahrana tampak anggun dan berwibawa dalam balutan jilbab putih, bawahan putih, dan jas berwarna merah marun.
Hadirin diam mendengarkan kalimat-kalimat yang diucapkan Zahrana. Ruangan auditorium itu hening. Dengan bahasa Inggris yang fasih, Zahrana mulai pidatonya.
“Saat ini kita semua merasakan pemanasan global, cuaca yang tidak menentu, dan lingkungan yang mulai kita anggap tidak nyaman bagi hidup kita. Kita sama sekali tidak boleh menyalahkan alam. Jika kutub utara mencair, kita tidak bisa menyalahkan lapisan ozon yang bolong. Tanah yang mengandung racun, bukan tanah yang salah. Lahan-lahan pertanian produktif yang semakin menyempit dari waktu ke waktu, yang pada gilirannya akan mengancam kehidupan manusia, yaitu manusia akan terancam kekurangan pangan. Ancaman itu terang ada di depan mata kita semuanya.”
“Di atas muka bumi ini yang paling berkuasa adalah manusia. Bentuk muka bumi ini yang menentukan adalah manusia. Dan para arsiteklah yang paling bertanggung jawab atas bentuk segala bangunan yang ada di muka bumi ini. Jika kita ingin menyelamatkan bumi ini. Jika kita sayang pada anak keturunan kita, maka kita tidak bisa asal mendirikan bangunan di muka bumi ini. Ekosistem harus benar-benar kita perhatikan. Sebisa mungkin desain yang kita buat menjaga kesehatan bumi, bukan sebaliknya.”
“Dan terbukti desain bangunan-bangunan klasik para pendahulu kita jauh lebih ramah kepada bumi daripada desain ultra modern. Salah satu desain yang nyaman untuk kehidupan manusia, khususnya yang hidup Pulau Jawa adalah desain tata kota yang telah dibuat pada masa Kerajaan Islam Mataram. Pagar-pagar desa dan kota tidak menggunakan bahan kimia seperti semen, bahkan tidak menggunakan kayu mati tetapi menggunakan tanaman hidup. Konsep arsitektur berbasis budaya seperti ini, perlu kita kembangkan demi memperpanjang umur bumi. Demi cinta kita pada sesama, lebih-lebih cinta kita kepada anak cucu kita!”
Hadirin terkesima dan tepuk tangan membuat gedung itu terasa mau runtuh. Kamera wartawan terus membidik wajah Zahrana. Setelah mengucapkan terima kasih kepada Tsinghua University, ayah dan ibunya di Indonesia dan kepada semua yang berjasa kepadanya, Zahrana mengakhiri pidatonya dengan sepenggal doa, “Ya Allah, Tuhan Pencipta langit dan bumi. Pencipta alam semesta. Jadikanlah kami manusia yang melestarikan bumi, anugerah-Mu yang indah, tempat kami hidup, menghirup udara, makan dan minum. Jangan Engkau jadikan kami manusia yang membuat kerusakan di atas muka bumi-Mu ini. Amin.”
Tepuk tangan kembali bergemuruh. Hadirin di ruangan itu seluruhnya berdiri demi menghormati Zahrana. Arsitek muda dari Indonesia itu turun dari panggung dengan senyum mengembang dan mata berkaca-kaca. Hatinya dipenuhi rasa syukur kepada Allah karena ia bisa menyelesaikan pidatonya dengan indah. Ia berharap ayah dan ibunya menyaksikan dirinya mendapat penghargaan dan menyampaikan pidatonya dengan menonton siaran tundanya di televisi. Ia berharap ayah dan ibunya semakin mencintai dirinya. Cinta ayah dan ibunya jauh lebih berarti dari seribu penghargaan yang baru saja ia raih. Cinta ayah dan ibunya adalah matahari yang susah dicari padanannya.
* * *
Selesai acara, orang-orang mengerubunginya, mengajaknya bicara. Professor Jiang Daohan menawari dirinya beasiswa doktor di universitasnya. Dua orang arsitek dari Korea Selatan tertarik untuk mengajaknya mengerjakan proyek yang sedang mereka garap di Malaysia. Edi Nugraha benar-benar datang, anak muda itu terus memuji dirinya. Pak Dubes Indonesia di Beijing dan tiga stafnya menyampaikan rasa bangga luar biasa dan mengundangnya makan malam di kedutaan. Seorang perempuan muda berjaket biru mendekatinya.
“Mbak, saya dari TV Nasional Indonesia ingin wawancara, bisa?”
“Bisa saja.”
“Saya tahu jadwal Mbak akan mengunjungi beberapa tempat di Beijing. Selain wawancara di sini, saya juga ingin wawancara di tempat lain seperti di Tembok Raksasa dan Lapangan Tiananmen. Saya juga ingin meliput kegiatan Mbak selama di sini. Untuk stok tayangan, bagaimana? Boleh?”