Cinta Tak Perlu Tanda Baca

sri ulang sari
Chapter #1

"Ada kalanya sebuah masalah datang kepada kita, hanya supaya kita lebih tegar."

“Ada kalanya sebuah masalah datang kepada kita, hanya supaya kita lebih tegar.”

Catatan pagi saat hujan

Pikiranku berlari mengejar waktu namun selalu mundur ke belakang, terjebak di tempat yang sama yaitu masa lalu. Angan tentangmu sering kali membuatku lupa, lupa kalau sudah disakiti olehmu, diingatanku hanya ada ketika aku jatuh mencintaimu. Aku meninggalkan banyak hal tentangmu, tapi aku membawa hal yang sama di masa depan hingga kini. Hingga luka tak mampu lagi menyesaki dadaku yang pipih ini. Aku sakit, apa kamu tahu?

Begitulah hujan selalu punya keajaibannya untuk menyihir apa saja, menyihir sesuatu yang tiada menjadi ada. Rintiknya seperti puzzle yang menyusun kembali sebuah kisah di masa lampau. Lalu hanya ada dua pilihan, tersenyum atau membiarkan mengulang airmata yang berkesudahan.

Kuseka air mata yang perlahan merayapi pipi senduku, kemudian tersenyum tapi getir. Bayang-bayang masa lalu bagai pisau yang siap mengoyak-ngoyak hatiku dengan beringas. Hujan mengingatkan sesuatu yang telah belajar kulupakan, semakin deras dia jatuh semakin dalam pula aku terjatuh. Seperti awan yang terlalu berat menahan beban massa air, lalu akhirnya membiarkan air itu berjatuhan ke bumi. Sebagian ada yang menyambut dengan gembira, sebagian lagi mungkin berduka. Dan akulah bagian dari yang berduka itu sekarang. Suara rintik hujan seperti simfoni yang menyayat-nyayat hati. Perih.

“Tidak seharusnya kamu melakukan semua ini padaku.”

“Kamu salah Ndra, kamu salah...”

“Katakan, di bagian mananya aku salah? Di bagian di mana aku mencintai orang yang sama sekali nggak pantas buat dapatin cinta itu? Iya?”

“Please... Maafin aku.”

“Maaf bisa saja aku kasih tapi apa aku bisa kasih cinta yang sama setelah apa yang sudah kamu lakuin? Nggak Adrian... kamu nggak bisa seenaknya bilang maaf setelah kamu memperlakukan aku seperti ini.”

Tangisku pecah. Tidak ada yang bisa memberi cinta yang sama setelah ada pengkhianatan. Kata maaf begitu mudah untuk diucap namun esensi dari maaf itu apa bisa dipertahankan? 

Kepingan pembicaraan pada sisa-sisa waktu pertemuan itu masih terekam jelas dalam ingatanku. Kadang aku berpikir begitu mudahnya kisahku berakhir, begitu mudah segala yang telah kubangun bersamanya bertahun-tahun pudar dalam hitungan jam. Hanya karena kehadiran orang ketiga dan aku tidak bisa menyelamatkan apa yang sudah kubangun sepenuh hati. Runtuh, kini yang tersisa hanyalah puing-puing kenangan. 

Jika hal itu kerap kali kupikirkan, dadaku menjadi sesak dan ingin sekali marah tapi lupa harus marah pada siapa. Haruskah aku marah pada diriku sendiri atau marah pada Adrian dan bosku? Tapi apa gunanya semua itu? Toh keadaannya tidak akan kembali seperti dulu lagi, sesuatu yang telah hancur berkeping-keping tidak akan mudah untuk utuh kembali meski disusun berulang kali. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi, hal ini semakin membuatku lemah tak berdaya. Terlalu banyak yang sudah terkorbankan dan kali ini ini semuanya tak ada artinya lagi.

Di luar sana hujan yang turun seperti memanggil-manggil. Amarahku harus terlampiaskan, kutantang langit, kuterobos hujan dan di bawahnyalah kuteriakkan seluruh kemarahanku, menangisi luka-luka yang kini tumbuh dengan subur. Mungkinkah waktu akan menyembuhkan segalanya? Hujan kali ini seperti mengerti nyeri yang merayapi tubuhku inchi demi inchi. Aku tidak bisa membedakan lagi, mana nyeri yang disebabkan luka dan mana nyeri yang disebabkan oleh hujan karena membuat tubuhku menggigil.

Aku terduduk pasrah di hamparan rumput depan rumah kontrakan, hujan semakin deras dan sekali membuat gemuruh yang begitu keras. Bersamaan dengan itu aku merasa duniaku berputar, penglihatanku mulai tak jelas, perlahan seperti ada kabut lalu sepenuhnya gelap dan aku tak merasakan apa-apa lagi pada tubuhku. Ambruk, barangkali itulah yang terjadi setelahnya. 

Saat tersadar, aku telah berada di kamarku, di atas sebuah tempat tidur yang empuk dan nyaman. Tubuhku juga telah kering, pakaianku juga sudah diganti. Kudengar langkah seseorang mendekat. 

“Syukurlah akhirnya kamu sudah sadar. Aku khawatir banget sama kamu tadi, tubuh kamu sampai membiru. Apalagi bibir kamu pucat banget dan seluruh tubuh kamu bergetar. Aku hampir saja memanggil dokter. Aku panik dan menelpon Rudi namun dia hanya memerintahkan aku untuk melepas semua pakaian kamu saja dan menyelimutimu dengan selimut tebal.” Ucap Retno yang di wajahnya masih terlihat khawatir.

Tubuhku masih terasa lemas dan suaraku serak, susah untuk bisa menjawab. Mataku juga masih berat untuk membuka mata lebih lama. Mungkin bekas menangis tadi, sehingga membuatnya bengkak. Dengan tatapan nanar dan sayu aku hanya menoleh sekilas ke arah Retno.

Lihat selengkapnya