“Maafkan aku, aku hanya ingin sendiri.”
Aku memilih menyendiri, kuhindari bertemu Retno. Selain malu, aku juga merasa bersalah padanya. Padahal dia sudah begitu baik memperhatikanku, menyelamatkanku saat peristiwa hujan yang membuatku tak sadarkan diri. Aku meninggalkan rumah kontrakan saat Retno masih di kantornya. Aku memacu gas mobil dengan kecepatan tinggi, jalanan lengang jelas merupakan arena ngebut apalagi dalam kondisi galau dan hati yang tak menentu. Puas kuganyang jalan-jalan sepi.
Mobil kubawa menjauh dari pusat kota, berkilo-kilo meter jauhnya. Aku muak pada Jakarta, muak dengan segala yang ada di dalamnya. Aku belum tahu akan ke mana, hanya menyetir sejauh mungkin.
Aku benar-benar tidak tahu dari mana datangnya perasaan sedih ini, airmataku mengalir begitu saja tanpa bisa aku tahan. Salahku, ini semua salahku...! Kubanting setir dan menghentikan mobil di tepi jalan yang sangat sepi, memukul-mukul setir sebagai pelampiasan. Tangisku pecah di sore yang hampir senja.
Lelaki kurang ajar, lelaki sialan, manusia laknat! Kenapa tidak sekalian kamu mati saja! Aku mengumpat sendiri. Putus asa, aku belum siap menerima sebuah kenyataan. Bahwa benteng yang susah payah kubangun bertahun-tahun dengan mudahnya roboh begitu saja. Lelaki itu seenaknya saja bermain asmara di belakangku. Yang aku tidak habis pikir adalah mengapa harus dengan orang yang sangat kusegani selama ini? Sudah tak ada lagikah perempuan yang lebih pantas untuk itu? Keterlaluan!
Tak kusadari waktu semakin bergulir di pergelangan tanganku, luka-luka meng-aduh dengan sempurna. Senja sudah bersolek dengan warna merah jingganya. Sebentar lagi malam dan aku masih di pinggiran jalan sepi yang bahkan nama jalannya akupun tak tahu. Agak ngeri juga, akhirnya kuhidupkan lagi mesin mobil dan berusaha mencari sebuah penginapan.
Berapa saat kemudian tercium aroma asin air laut lalu perlahan-lahan suara ombak mulai terdengar. Inilah surgaku sekarang. Kutepikan mobil menuju sebuah parkiran dan berjalan melewati jalan setapak. Terus ke arah barat dan mendekat ke laut yang menghempas-hempaskan dirinya ke batu karang. Sepatu high heels yang kupakai kubiarkan mengonggok pasrah di atas hamparan pasir. Angin pantai yang dingin bertiup menyapu seluruh permukaan tubuhku. Aku menggosok-gosokkan tangan pada dua lenganku yang telanjang. Aku lupa bawa sweater ataupun jaket. Semua tak direncanakan, siapa sangka aku akan berakhir di pantai ini.
Kulepas pandang ke arah samudera tak berbatas, bias lampu mercusuar berwarna keperakan terlihat menerpa air laut. Di telinganku, ombak bagaikan nyanyian alam paling merdu sekaligus menenangkan. Aku sangat menyukai aroma air laut, saat mencium aromanya aku seperti terbawa ke masa kecil dulu. Dulu sekali.
Masa kecil yang selalu kurindukan, bersama ayah dan ibu yang seorang nelayan. Sayang, ayah dan ibu meninggal terlalu cepat. Bukan karena air laut menelan nyawa mereka. Tapi karena kebakaran hebat yang menghanguskan seluruh isi rumah dan tubuh ringkih ayah dan ibu. Saat itu aku hanyalah bocah ingusan yang bahkan tak tahu menahu tentang apa yang terjadi. Aku hanya tahu dan melihat bahwa api perlahan menghanguskan seluruh rumahku dan begitu tahu ayah dan ibu tak pernah keluar dari sana, tubuhku seperti kehilangan ruhnya.
Masa kecil sebagai anak nelayan adalah masa terindah yang pernah aku ingat selama hidup. Lalu mendadak semuanya berubah ketika aku dijual kepada sang mucikari oleh seorang tuan tanah dan dikirim ke kota. Kala itu umurku menginjak angka sebelas tahun. Aku mulai mengenal dunia bebas ketika menjelang remaja dan dipaksa bekerja seperti layaknya seorang dewasa. Berkali-kali aku mendapat siksaan dari sang mucikari apabila tak mau melakukan pekerjaan kotor dan hina. Terakhir, ketika umurku menginjak tujuh belas tahun, aku diminta melayani seorang pria hidung belang bertubuh tambun. Namun berkat pertolongan Tuhan, aku berhasil kabur dari perbuatan mesum pria hidung belang itu.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa bebas saat keluar dari rumah prostitusi itu. Aku ingat kaki-kakiku begitu lelah kupaksa berlari jauh hingga terasa nyeri dan nyaris tidak sanggup menahan berat tubuhku sendiri. Lalu aku terjatuh dan lututku berdarah dengan susah payah aku bangkit kembali. Menuju cahaya putih di depan sana yang entah datang dari bias lampu jalan atau apapun. Aku fokus menuju cahaya itu. Ketika begitu dekat dengan cahaya itu, ia pun menghilang dan setelah merasa yakin aman dari incaran anak buah si mucikari, barulah aku bisa berhenti sejenak untuk mengatur nafas. Aku terduduk di pinggir trotoar jalan, bagai gelandangan.
Sudah lama kucari-cari jalan untuk kabur dari rumah prostitusi itu namun rencana yang kususun selalu saja gagal dan aku kerap kali tertangkap basah. Sebagai orang yang hidup sebatang kara, aku tahu betul bagaimana susahnya mencari uang. Betapa susahnya menantang hidup dengan kemampuan yang pas-pasan. Mengemis jelas bukan jalan pemecahan suatu masalah, bahkan bukan tidak mungkin aku akan kembali ditemukan oleh mucikari itu. Anak buahnya ada di mana-man dan tidak sulit bagi mereka untuk menangkapku dan menyekapku lagi di sana. Jelas aku tidak menginginkan hal semacam itu terulang lagi.
Lepas dari dunia prostitusi yang selama ini mengungkung gerakku, aku memiliki keinginan untuk bisa bersekolah. Bersekolah untuk mengejar ketertinggalanku selama ini. Lalu bertemulah aku dengan Retno, dia yang pertama kali kuberitahu tentang tujuanku selanjutnya. Dia memfasilitasi segala kebutuhanku, bahkan dari segi finansialpun dia rela menyisihkan sebagian dari uang sakunya demi pendidikanku. Saat itu, aku menganggap bahwa Retno adalah bidadari berwujud manusia dengan hati malaikat yang akan mengangkatku dari keterpurukan. Dialah yang memberiku semangat untuk bisa melakukan apapun selagi aku masih mau, semua ada jalannya dan dia menawarkan padaku jalan menuju terang.
Aku bersekolah dengan sistem paket. Mengejar ketertinggalan dengan cepat lalu akhirnya diusia 22 tahun aku bisa kuliah. Karena aku suka sekali menggambar, aku mengambil jurusan desain grafis. Kala itu kebetulan ada yang menawarkan sebuah beasiswa keluar negeri. Melalui seleksi tentu saja, aku memberanikan diri untuk ikut bertarung keberuntungan dalam seleksi tersebut. Berkat tekad dan niat yang gigih akhirnya aku termasuk menjadi salah satu penerima beasiswa itu.
Sebelumnya tidak pernah membayangkan kalau suatu saat nanti aku akan menginjakkan kaki di Amerika Serikat. Negeri adi daya pemegang penuh kemajuan teknologi dunia, luar biasa. Bila menengok kembali latar belakang kehidupanku rasanya sulit sekali bagi aku untuk mencapai semua itu. Tapi aku percaya siapapun berhak, siapapun bisa asal ada kemauan yang kuat dari dalam diri kita.
Aku lulus dengan gelar di bidang desain grafis dari Tyler School of Art di Temple University, di kota Philadelphia. Aku bisa bekerja di perusahaan dan mempunyai uang sendiri dari hasil bekerja. Aku mengerti betul bagaimana susahnya cari uang, harus pontang panting dan jatuh berkali-kali untuk meraih semua yang aku inginkan. Mencapai kesuksesanku yang sekarang adalah dedikasi tertinggi yang sudah kuberikan untuk diri sendiri. Dan sekarang saat uang sudah kumiliki, aku kembali terpuruk dalam kubang kesedihan. Hanya karena seorang lelaki. Brengsek!
Masih terngiang di telingaku, kata-kata manisnya yang membuai saat melamarku. Terlalu manis untuk dilupakan dan terlalu pedih untuk dikenang lagi. Mataku dibuat buta olehnya, hingga tak mampu melihat kenyataan-kenyataan yang begitu nyata di hadapanku. Gosip-gosip tentangnya dengan Bosku tak kuhiraukan, terkesan malah tidak mau tahu dengan semua itu. Tetap percaya bahwa dia adalah lelaki yang baik, terlebih karena dia sudah melamarku.