“... Dan kutemukan surga di sini...”
Wahai malam, sudikah kiranya engkau membantuku pulang. Menemukan kembali jati diriku yang sempat hilang. Aku merasa sendiri meski selama ini aku mampu melewati setiap cobaan hidup yang Tuhan timpakan kepadaku. Wahai malam, sudikah kiranya engkau menyembunyikan aku di dalam gelapmu. Lalu tunjukkan padaku diriku yang sesungguhnya.
Pukul 05.00, cahaya fajar telah menyembul dari peraduannya. Aku terbangun dari tidur saat ombak perlahan menjilati ujung kakiku dan cahaya matahari menghangatkan permukaan wajahku. Aku baru menyadari bahwa semalaman aku tertidur di pinggir laut. Saat hendak berdiri dan melangkah mencari sepatu high heels yang kukenakan, tiba-tiba saja akupun ambruk.
Ketika kesadaranku kembali, aku sudah berada di suatu tempat yang sama sekali asing bagiku. Aku tak mengenal kamar ini, aku tak mengenal ruangan ini. Ini bukan kamar yang kusewa, juga bukan kamar di rumah kontrakanku. Aku dimana? Di tengah kesadaranku yang mencoba mencari tahu keberadaanku, seseorang telah berdiri di depanku.
“Kayaknya kamu minum alkohol terlalu banyak, itu tidak baik. Tapi aku heran bagaimana kamu bisa sampai di sini?” Ucap seorang pria berperawakan tinggi jangkung dan berkulit legam.
“Aku dimana?”
“Kamu di rumahku, tadi pagi aku menemukan kamu tergeletak di atas pasir. Kalau hendak keluar malam, kenakanlah pakaian yang lebih tertutup. Agar angin malam tak mudah masuk ke dalam tubuhmu. Itu juga mungkin yang menyebabkan tubuh kamu ambruk tak sadarkan diri.”
Aku tersontak dan memeriksa tubuhku yang kini dibaluti selimut. Aku khawatir pria itu sudah—
“Kamu kira aku sebejat itu? Tidaklah, aku menyentuhmu saja tak berani. Hanya karena kamu pagi tadi pingsan makanya aku angkat tubuhmu ke sini.”
“Trimakasih. Sebaiknya aku pulang sekarang.” kulepas selimut yang tadi membalut tubuhku dan beranjak turun dari tempat tidurnya.
“Sebaiknya kenakan ini.” Pria itu melempar sebuah jaket ke arahku.
“Tidak. Terimakasih.” Jawabku melemparkan kembali jaket itu yang kemudian diterima dengan sigap oleh si pria.
“Kamu tidak mau kan jadi tontonan orang-orang di luar sana? Kamu cantik, harusnya tak hanya wajah kamu yang cantik tapi seluruh yang ada di luar dan dalam tubuhmu juga cantik. Ini terimalah, jangan khawatir jaket itu sudah aku cuci bersih kok.
Aku terdiam sejenak, karena pria itu seperti memaksa dan aku memang merasakan tubuhku sedang tidak baik-baik saja. Di samping itu, benar juga kata dia, aku bahkan lupa memperhatikan cara berpakaianku belakangan ini. Hanya mengenakan tanktop dan rok mini yang jelas-jelas jauh dari kata sopan bagi sebagian mata yang memandang. ERROR!
Sebenarnya aku sedikit tersinggung dengan ucapan yang menyinggung soal wajahku, tubuhku dan membandingkan dengan sesuatu di dalam diriku. Namun karena tak ingin berlama-lama lagi di sana, aku segera pergi dan hanya mengucapkan terimakasih pada pria itu.
Saat berjalan cepat menyusuri jalanan setapak yang tak jauh dari sana, suara ombak kembali menampar-nampar badan karang. Aku menyadari sesuatu, aku lupa harus berjalan ke mana. Aku tak tahu jalan menuju penginapan ke arah mana. Ah, bodoh!
Akhirnya aku kembali lagi ke rumah pria itu dan bertanya arah mana yang harus kuikuti. Dia tersenyum jenaka melihatku pulang ke rumahnya dengan wajah sedikit kesal bercampur malu.
“Ada apa?” Tanyanya.