Di sebuah restoran ternama seantero kota besar ini, meluap aroma masakan yang menyergap hidung dan membuat perut terus berdemo meminta haknya. Interior restoran yang bernuansa klasik, menjadi ciri khas di setiap meja dan kursinya memakai kayu jati. Aroma kayu menenangkan menggabungkan hasrat ingin berbetah lama di tempat itu. Saat itu, di pojok restoran yang dekat kaca besar, terdapat seorang wanita yang tengah berkutat dengan laptop dan bukunya, sesekali dia juga menyesap kopi yang masih mengepul.
“Kenapa mukamu kusut gitu sih?” celetuk Resti yang baru hadir. Ia langsung mendaratkan pantatnya di kursi sambil mengunyah fried potatoes yang masih hangat. Jika diamati lebih jeli, Resti seperti orang yang tengah kelaparan. Tentu saja, bisa dibilang dia tak punya waktu untuk makan, lebih tepatnya waktu dia terlalu sedikit untuk makan. Karena ini hari libur, maka jadwalnya dia untuk makan sepuasnya.
“Ya, aku harus membuat naskah.” Keti memijat pelipis, dia merasa pusing sekali.
“Oh, lihatlah! Sudah berapa kali naskahmu ditolak? Ayolah, jangan membuatku takut.” Resti menggidikkan bahunya seperti menggigil.
“Oh, astaga!” seru Keti sambil melempar sepotong fried potatoes ke arahnya dengan wajah galak. Dia langsung menghalau dengan tas jinjing mewahnya. Mukanya berubah menyebalkan tapi terlihat lucu.
“Kau akan datang ke acara komunitas kita, kan?” tanya Resti dengan hati-hati. Dia benar-benar tahu Keti tidak terlalu suka sebuah acara.
Keti menghela napas perlahan, “Ah, acara Sosial Edukasi? Entahlah ...” Keti menerawang sepertinya acara itu pasti sangat ramai.
“Ayolah, ini tidak buruk. Siapa tahu kamu mendapatkan ide untuk tulisanmu itu?” senyum Resti mengembang. Keti tahu Resti sedang membujuknya. Sahabatnya itu benar-benar ingin membantunya keluar dari zona nyaman.
Tidak ada salahnya mencoba, kan? “Baiklah. Tapi aku tidak menjamin makanmu nanti.”
“Ah, kenapa kau jahat sekali?!” erang Resti.