Cinta Tak Pernah Salah

Dyah Yuukita
Chapter #2

Pertemuan Selanjutnya

Hari Minggu di pagi hari tampak ramai, di wilayah CFD (Car Free Day) tengah berlangsung. Hiruk pikuk manusia mulai memenuhi setiap area. Ada yang sekadar olahraga, berkuliner, maupun yang tengah berkoar-koar menunjukkan aksi.

Keti mendesah pelan, seharusnya Resti sudah hadir. Kerumunan orang ini membuat kepala Keti pusing. Di bahu jalan Keti duduk sambil merogoh ponsel di tas mungilnya, ia lalu mengetuk-ngetuk layar tipis itu dengan kesal, “Hey, di mana kau? Ini jam berapa? Kau telat satu jam Res!”

Orang yang mengangkat telepon di seberang sana pun langsung menjauhkan ponselnya dari telinganya, “Iya, iya, aku tahu. Aku sudah sampai di Stasiun Sudirman. Kau di mana honey?”

Keti berdecak kesal, “Aku sedang di pintu keluar stasiun yang siap sedia untuk mencakarmu!”

Terdengar tertawa hambar di ujung sana, “Maafkan aku. Nanti kubelikan es krim sepuasmu.”

Keti semakin kesal, “Kau mau menyuapku dengan es krim? Yang benar saja?! Kau harus membayarnya!” Keti pun menutup ponselnya dengan murka.

Di pintu keluar dari ujung ekor mata Keti sudah melihat gelagat Resti yang sedang senyum sumringah tanpa dosa kepadanya. Rambut panjang bergelombang Resti dibiarkan tergerai mengikuti setiap gerak-gerik tubuhnya yang proporsional. Resti memakai kaos lengan pendek dan training hitam yang entah kenapa semakin terpancar kecantikannya. Sahabatnya itu cocok sekali menjadi model majalah dewasa. Tidak seperti Keti yang hanya berpakaian ala kadarnya dan terlihat begitu membosankan.

“Yuk!” ajak Resti setibanya ia menghampiri Keti sambil menggaetkan lengannya. Keti mendesah pasrah dan mengikuti langkah Resti yang semangat.

***

“Digra! Tolong angkat kardus-kardus itu ke sana, ya!” seru seseorang sambil dengan sibuk mencatat sesuatu di kertasnya. Digra tersenyum dan mengangguk. Meskipun dirinya lelah karena baru saja kemarin malam tiba di rumah, ia harus semangat untuk membantu acara di komunitasnya.

“Hey! Kenapa baru datang kalian berdua?” tanya seseorang yang membawa catatannya itu kepada dua orang wanita muda yang tengah cengengesan.

“Tanyakan saja dia, dia biang keroknya!” seru seorang wanita yang berkuncir satu dengan raut wajah kesal ke arah temannya yang berada di sampingnya.

“Hehehe, aku sungguh minta maaf. Ah, apa yang harus kami bantu?” tanya wanita yang jelas sekali tengah menyelamatkan dirinya dari situasi genting.

Digra tersenyum hambar, “Dasar Resti, dia benar-benar selalu bikin ulah.” Tapi tunggu, siapa wanita yang ada di sampingnya? Sepertinya tidak asing. Digra berusaha mengingat-ingat wajah wanita itu, ah ya! Wanita itu kan ...

“Resti datang bersama siapa?” tanya Digra kepada wanita yang mencatat sesuatu di kertasnya.

Wanita itu menoleh dan melihat tatapan Digra yang sedang menatap wanita yang ada di samping Resti, “Ah, dia Keti. Sebenarnya sudah lama dia gabung dengan komunitas kita. Hanya saja, dia terlalu jarang datang ke acara-acara yang kita adakan. Aku tidak terlalu dekat dengannya. Kenapa?”

Digra cepat-cepat menggeleng dan tersenyum, “Ah, tidak apa-apa. Hanya terlihat asing saja.”

“Jadi, namamu Keti, ya? Tak kusangka kita satu komunitas,” senyum Digra mengembang penuh arti sambil mengamati wanita yang bernama Keti itu.

***

Keti harus mengangkat kardus-kardus itu ke meja. Ia menghela napas perlahan dan siap mengangkat kardus itu, tapi ternyata kardus itu sangat berat hingga ia hampir tidak bisa mengimbangi dirinya. Untunglah ada seseorang yang dengan sigap membantunya mengimbangi mengangkat kardus berat itu. Saat kardus itu telah sempurna di meja, Keti menoleh orang yang membantunya, ia tertegun. Seorang pria dengan postur tinggi tegapnya tengah tersenyum hangat kepada Keti. Pria yang tidak asing baginya.

“Kalau enggak kuat mengangkat kardus, seharusnya kamu teriak minta tolong,” senyum pria itu yang sedang menasihatinya.

“Jika tidak ada aku, dipastikan kamu nyungsep di aspal bersama kardus itu,” tambahnya sambil tertawa.

Keti hanya menatapnya dengan berkerut samar, “Ah, terima kasih.”

Pria itu terdiam, “Aku Digra. Kamu bisa memanggilku jika membutuhkan bantuan.” Setelah mengatakan itu, pria yang bernama Digra sekilas tersenyum padanya dan pergi meninggalkan Keti yang masih terdiam di sana.

“Digra ...” lirih Keti sambil mengamati punggung besar pria itu menghilang dan senyumnya mengembang.

***

“Nah, saatnya kita berada di tengah acara. Untuk itu perkenankanlah kami memanggil teman sekaligus sahabat kita, Digra Setiawan untuk naik ke atas panggung.” Tiba-tiba di tengah acara, sang pembawa acara menyebut nama seseorang. Seorang pria tinggi dan tegap mulai menyibak dari kerumunan dan mulai naik ke atas panggung.

Lihat selengkapnya