Keti menikmati main tuts-tusts keyboard di laptop dengan jemari-jemarinya yang menari dengan indah. Menulis adalah cara yang paling ampuh untuk mengeluarkan emosi tanpa perlu banyak bicara. Semangat begitu menyala pada dirinya. Entah itu dia dapatkan karena hatinya sedang senang atau jiwa penulisnya yang membara. Dia ingin sekali melumpahkan segala rasa yang menyeruak pada dadanya lewat sebuah tulisan. Pandangan matanya memancarkan kebahagiaan. Bibirnya selalu mengulum senyum penuh makna. Suara lagu yang diputar di kafe pun tidak lagi dia dengar, dirinya sudah fokus di depan laptopnya dan cerita-cerita yang sedang dia ketik − cerita tentang isi hatinya. Dia tidak pernah tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya. Tapi, yang pasti dia sangat menikmati dirinya yang sekarang.
“Ciye, ada yang lagi jatuh cinta, ya?” celetuk Resti saat tiba dan mulai duduk di depan Keti.
Keti mendongak dan mendapati wajah sahabatnya itu sedang menggodanya. “Apa sih, dasar tukang telat!” celetuk Keti. Tiga tahun mengenal Resti, saat mereka janjian untuk bertemu pasti Resti datang terlambat. Seperti hari ini.
“Jadi, siapa pria yang berani dekatin orang seaneh kamu, Ket?” tanya Resti tanpa memedulikan celetukan Keti, malah asik menjaili Keti.
“Berisik deh!” seru Keti yang mulai melanjutkan ketikannya di laptop.
Resti menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Karena merasa tidak diajak lagi berbicara. Resti pun memesan minum yang disukanya dengan pelayan yang sedang berlalu lalang menawarkan menu pada pelanggan lain. Pelayan yang berpostur tinggi dengan wajah lelah dan berkumis tipis pun menghampiri Resti. Resti dengan sigap menyebut menu minuman yang dipesannya tanpa melihat ke daftar menu. Dia sudah hafal di luar kepala daftar menunya, karena kafe yang bercorak klasik dengan desain kayu jati ini memang kafe favorit Keti dan dirinya sejak tiga tahun lalu.
"Oh, iya. Kudengar kamu pulang sama Digra lagi, ya?" Resti kembali teringat kejadian acara kemarin.
"Dengar dari mana?" tanya Keti sambil tak mengindahkan sahabatnya di depannya.
Resti mendengus, "Kenapa kamu malah balik bertanya? Semua orang di sana membicarakan kalian."
"Oh, begitu," sahut Keti dengan datar. Resti hanya melongo tak percaya dengan sahabatnya itu, hey, dia hanya jawab begitu saja? Benar-benar datar. Padahal dia sedang digosipkan jalan berdua dengan pria terkenal. Tapi, kenapa ekspresi Keti biasa-biasa saja? Sebelum lanjut mendumal, pesanan Resti datang. Seakan mengisyaratkan untuk tidak perlu memusingkan kelakuan sahabatnya itu.
Keti seakan menyadari sesuatu pun menghentikan jemarinya yang menari di keyboar laptop, penuh lekat dia pandang Resti yang sedang asik minum lemon tea, "Res, menurutmu Digra itu bagaimana?"
Resti yang mendengar pertanyaan sahabatnya itu mulai tersedak. Dia tak menyangka Keti bertanya hal itu padanya, "Bagaimana apanya? Ahhh... aku memang pernah satu sekolah dengannya. Bahkan sampai ke SMA pula. Pernah beberapa kali bareng satu project. Dia benar-benar gila, semua ekskul di sekolah dia ikuti. Entah tenaganya terbuat dari apa, mungkin mesin. Bahkan saat dia lelah pun masih punya tenaga untuk tersenyum dan ramah dengan orang."
Keti melongo, "Sehebat itukah dia?"
Resti semakin tidak paham dengan kelakuan Keti. Setahunya Keti tidak pernah dan bahkan tidak mau tahu urusan orang. Ada apa dengannya? Apa yang sedang terjadi padanya? Apakah dia ... Astaga!
Sontak Resti menutup mulutnya dengan tangannya sendiri. Dia kaget sekaligus senang dengan hasil hipotesanya. Ini menarik sekali! Sahabatnya yang tidak tertarik dengan dunia luar - orang-orang sekitar, kini mulai tertarik dengan seorang pria!
***
Siang ini begitu terik, Digra dengan setelan baju jas dan kacamata hitam bersiap ke suatu tempat. Digra mengeluh panasnya siang ini. Tapi, meskipun begitu dia harus tetap semangat menjalani hari. Dengan menaiki kereta commuter line, Digra siap menuju tempat acara. Dia harus bergegas, sebentar lagi acara akan dimulai.
Pemandangan di kereta membuat dia betah berlama-lama menikmatinya. Hiruk pikuk keramaian kota bisa dia lihat dari balik jendela kereta di setiap peron. Bahkan tanpa mendengar bising klakson yang menyalak. Pun tidak perlu memikirkan macet yang membuat sakit kepala.
Hampir tiga puluh menit berlalu, Digra turun di sebuah stasiun di daerah Jakarta. Manuver di stasiun begitu ramai dengan orang-orang yang siap menuju ke tempat selanjutnya. Begitu pun dengan Digra yang siap melangkahkan kakinya ke salah satu gedung ternama di Jakarta. Gedung yang berarsitektur mewah itu membukakan pintu selebar-lebarnya pada Digra. Dengan gesit Digra masuk ke gedung itu sambil merapikan kancing jasnya yang tadi dibukanya karena panas yang menyengat tubuhnya.
Suara pantopel milik Digra menggema di seluruh ruangan gedung. Para tamu mulai memperhatikan dia, mereka berbisik-bisik dengan terpana. Seakan Digra memancarkan aura kharismatiknya ke seluruh tamu.
Suara ingar-bingar dari sudut ruangan sudah mulai terdengar, sang MC menyebut beberapa kata, "Selamat datang kita ucapkan kepada Mas Digra yang baru hadir di acara kita ini. Dipersilakan untuk maju ke atas panggung karena sudah ditunggu kehadirannya, Mas Digra." Suara tepuk tangan begitu meriah di seluruh ruangan. Digra tanpa ba-bi-bu memantapkan kakinya menaiki panggung.
"Terima kasih untuk Mbak MC, maaf juga karena saya baru hadir," senyum Digra dengan ramah.
Semua penonton memakluminya dengan anggukan atau gumaman yang tidak jelas terdengar. Digra tanpa basa-basi pun memulai perbincangan yang sesuai dengan acara yang dia narasumberkan. Digra benar-benar fasih berbicara, logatnya pun berwibawa. Berada di depan umum seperti sudah menjadi keahliannya.
Satu jam kemudian...
Melayani pertanyaan dan dihasilkan jawaban itu ternyata melelahkan juga. Digra sampai kehilangan cerianya, tapi itu hanya sebentar. Karena sesaat kemudian dia masih bisa memasang muka senyum lebar di hadapan penonton. Dia masih mendengarkan beberapa kalimat dari si MC sambil menenggak minum karena kerongkongannya kering.
“Karena sudah di penghujung acara, maka kita akhiri bincang-bincang ini. Terima kasih, Mas Digra. Semoga di lain kesempatan kita bisa berbincang-bincang lagi. Kisah Mas Digra benar-benar menginspirasi para pemuda yang hadir pada acara ini, saya pun demikian,” terang si MC.
Digra tersenyum lebar, “Saya juga berterima kasih kepada teman-teman yang sudah menyempatkan waktunya untuk duduk di sini mendengarkan celotehan saya yang semoga bermanfaat.”
Setelah itu, Digra dipersilakan keluar dari ruangan. Tapi sebelum itu, banyak yang ingin meminta foto selfi dengannya. Tubuh Digra ditarik-tarik oleh penonton. Untungnya ada beberapa bodyguard yang menolongnya, namun meskipun sudah diperlakukan anarkis, Digra masih bisa menunjukkan keramahan dan senyumnya.