Cinta Tak Selalu Waras

Larasati
Chapter #1

Prolog

Desiran ombak mengalun indah, menghasilkan suara yang teduh dan menenangkan. Aku tengah duduk di atas hamparan pasir berwarna abu-abu ini. Senja membalut langit menjadi jingga. Angin menerpa kain hitam yang menutup wajahku. Aroma laut yang khas membuatku merasa nyaman untuk tetap berada di sini, meski sejatinya manusia sudah berlalu pulang menuju rumah.

Tak ada hiruk pikuk, tak ada suara manusia selain aku yang menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, seolah menyatu dengan alam. Rasanya, aku ingin merekam momen ini dan menyimpannya di relung hati terdalam, momen di mana dunia seperti berhenti sejenak dan membiarkanku bernapas dengan lebih lapang.

Kuperhatikan sekelilingku. Di setiap sudutnya hanya ada keindahan, langit senja yang teduh dihiasi oleh burung-burung yang beterbangan menuju jalan pulang, pesawat di atas sana yang perlahan lenyap oleh gumpalan awan jingga, dan pohon-pohon yang rindang menari-nari disentuh angin sore. Sungguh, pemandangan yang memanjakan mata.

Angin menyapu lembut pasir yang kering, menciptakan pola tak beraturan di dekat kakiku yang berselimut rok panjang. Aku sesekali membetulkan posisi duduk, menatap lautan lepas yang seolah memanggil-manggil untuk didekati. Tapi aku tetap di sini, duduk diam, menyerap keindahan, menyulam kenangan, dan merajut harapan baru.

Senyumku merekah melihat betapa indahnya pantai saat senja tiba. Yang lebih membuatku bahagia kini, ada dua sosok yang sedari tadi tak sabar ingin kuabadikan momen kebersamaan mereka. Aku mengambil benda kecil bernama ponsel dari dalam tasku. Kuhidupkan kamera ponsel, kuarahkan lensanya pada sepasang lansia. Tanpa terasa, senyuman itu melengkung tulus di wajahku. Mataku berkaca-kaca menatap mereka, sepasang lansia yang seolah baru saja menjalani pernikahan.

Sungguh pemandangan yang tak biasa. Bukan karena tempatnya, bukan pula karena momen senjanya, tapi karena cinta itu. Cinta yang telah melewati ribuan malam gelap, ratusan pertengkaran, dan puluhan luka, masih bisa berdiri di sini. Masih bisa tersenyum dan saling menggenggam tangan.

“Nah, ayo jalan,” pintaku kepada sepasang lansia itu sembari menekan tombol video di ponselku. Kamera mulai membidik mereka. Kamu tahu siapa mereka? Ya, mereka adalah sepasang suami istri yang tengah dimabuk asmara di usia senja. Dan aku, sang videografer, adalah anaknya.

Senyumku tersembunyi di balik cadar hitam ini. Namun, binar mataku memancarkan kebahagiaan saat menyaksikan mereka. Aku terbuai oleh kasih sayang yang terpancar jelas di mata keduanya. Ibu dan Ayah, orang tua yang kusayangi dan kucintai, dengan segala kekurangan mereka.

Lihat selengkapnya