Cinta Tak Selalu Waras

Larasati
Chapter #2

Anak Kecil di Tengah Badai

"Satu! Dua! Tiga!" Aku menahan napas. Kurasakan sakitnya rotan itu melesat di tanganku. Wajahku pucat pasi. Aliran darahku mengalir deras di jantung. Aku bahkan tak berani menatap sekelilingku. Malu, takut, stres, semua bersatu dalam satu tubuh. Tubuh kecil yang malang, harus menahan derai tangisnya demi tetap terlihat tegar dan kuat. Di depan guru yang jauh dari kata sabar, dan teman-teman yang hanya bisa menonton; diam, bagai tak bernyawa. Seolah-olah semua manusia kini tengah menonton sebuah sirkus. Akulah pemerannya.

Masa kanak-kanak yang harusnya kuhadapi dengan suka cita di sekolah. Harusnya dibentuk dengan didikan yang lembut namun kritis, tapi justru sebaliknya, aku mendapat tindakan kasar yang tidak diharapkan, hanya karena ketinggalan buku tugas. Di sekolah ini, ada banyak saksi bisu yang menuangkan masa-masa kelamku. Masa di mana aku dirundung hampir setiap hari oleh teman yang sejatinya tak pernah terjalin ikatan apa pun.

"Sekarang keluar! Keluar!" Aku tertunduk lesu. Kedua kakiku seolah berat melangkah. Ingin aku memohon agar diberi kesempatan belajar. Nyatanya, Mustahil. Aku tak akan seberani itu melontarkan kata-kata. Karena memang, kebebasan berpendapat masih dianggap tabu di zamanku. Tak apa, kuterima. Karena kuyakin, Ibu guru pun melakukan ini sebagai pelajaran agar lebih teliti dan pelajaran bagi yang lainnya. 

Aku duduk di sebuah kantin sekolah yang pada saat itu masih beralaskan tanah. Di era 2000-an. Era yang memungkinkan cara mendidik dengan keras akan menghasilkan kebaikan. Ya, benar saja. Aku tumbuh menjadi anak yang takut bertindak buruk. Karena pada dasarnya telah tertanam dibenak; bahwa itu salah. Dan kesalahan, harus menerima hukuman. Sekecil apa pun.

Aku menatap nanar ke arah depan. Pandanganku melesat jauh menuju 2025. Akan seperti apa diriku saat itu? Akan jadi apa? Dan, apakah segala hal di hari ini masih sama? Semoga kelak, ketika dewasa itu kujalani, aku tak lagi memendam sedih dan tangis. Pandanganku kini beralih pada satu tanganku yang malang. Yang kini memerah dan, seolah akan merobek tanganku. Kutiup tanganku dan kuusap dengan lembut lewat jemari kecilku. Tiba-tiba, sepasang langkah kaki manusia menghentikan aksiku. Aku pun menoleh ke belakang, dan menyaksikan seorang pria paruh baya tengah berdiri di belakangku. Seketika, aku tercekat. Rasa takut kembali menyelinap.

“Enggak masuk kelas, Dek?” tanya seorang penjaga sekolah. Aku menggeleng dan sedikit bersuara.

“Enggak ngerjain PR pak!” Ya, aku berbohong. Bukan pada sang penjaga sekolah, tapi pada guruku. Sejatinya, aku benar tidak mengerjakan tugas. Oleh karena itu, aku tidak berani memohon untuk menjemput PR-ku. Hehe, bagaimana? Sudah tahu watakku sekarang? Ya, aku si pendiam, yang diam-diam menyelamatkan diri dengan cara berbohong. Karena menganggap jika jujur, akan semakin menambah masalah. Mungkin bukan hanya rotan dan keluar kelas hukumanku. Lebih dari itu, sesuatu yang tak bisa dibayangkan. Jadi, apa semua didikan itu  layak dilakukan? Ya, terserah. Apa pun pendapatmu, yang pasti, aku jenuh di bangku SD ini.

“Terus, kenapa duduk di kantin?” tanya Bapak Penjaga Sekolah padaku penasaran.

“Disuruh Bu Guru buat jaga kantin, Pak!” timpalku seraya menundukkan pandangan.

“Ho, lain kali, PR-nya dikerjain, ya,” ucap sang penjaga sekolah menasihatiku.

“Baik, Pak,” balasku sembari memperhatikan langkah kaki sang penjaga sekolah yang perlahan pergi.

“Huh, selamat,” lirihku seraya mengelus dadaku pelan.

Beberapa jam kemudian, bel tanda pulang pun dibunyikan. Syukurnya, aku telah diizinkan masuk setelah pelajaran matematika mematikan itu berakhir. Aku bersyukur. Ya, karena tak harus berlelah-lelah memutar otak belajar pembagian dan perkalian yang membosankan itu.

"Laras! Kamu aman?" Si Eneng. Teman sekelasku yang baik hati menyapaku. Aku mengangguk dan menuai senyuman canggung padanya.

Lihat selengkapnya