Gemuruh langit seolah memberi kabar, bahwa sebentar lagi hujan akan bertamu ke bumi. Suasana pagi yang masih basah oleh embun pun menyisakan air pada tanaman rumah. Suasana rumah yang sunyi, meski ramai yang menetap di satu rumah ini. Sebuah rumah milik mendiang Kakekku, yang kini telah sepenuhnya menjadi hak Nenek.
Seorang Nenek yang menjadi rumah pertama bagiku dalam mencurahkan segala gundah. Bukan, bukan berarti Ibu tak ada andil dalam setiap nuansa hatiku. Melainkan, Ibu adalah seorang wanita karier yang harus bekerja demi membantu Ayah dalam mencari nafkah. Karena Ayah, memang sejatinya hanya bekerja serabutan. Jadi, tak ada pilihan lain bagi Ibu selain membantu Ayah dalam mencari pundi-pundi rezeki. Ibuku; luar biasa bukan?
Di tengah peliknya hidup, kacaunya hubungan, ia masih setia menemani Ayah dengan segala kekurangannya. Walau perang itu selalu saja terjadi. Hampir setiap hari; irama menakutkan itu hadir di kamar. Memberi nuansa mencekam dan penuh waswas. Takut akan ada fisik yang terluka. Jika bicara soal hati, maka tentu sudah lebih dulu tersakiti. Tapi, syukurlah. Pagi ini nuansa damai yang terasa. Aku sedikit tenang melewati hari.
Aku merapikan seragamku. Menyisir rambutku sendiri. Ya, ini pertama kali aku belajar mandiri setelah sekian belas tahun bernapas. Kenapa? Kamu merasa heran? Ya, aku memang anak yang hidup penuh kesulitan. Namun, senang dalam hal pelayanan Ibu. Sebaik itu Ibuku, hingga enggan meminta anaknya mengerjakan ini dan itu. Tapi faktanya, aku ingin bisa sendiri; belajar mandiri.
Kulangkahkan kaki menuju dapur. Kusaksikan Ibu yang tengah sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilnya. Kutuai senyuman seraya menyapa namanya pelan.
“Ibu! Sarapannya udah siap?” tanyaku seraya memegang perut. Terdengar nyaring bunyi suara keroncong di perutku. Ibu tersenyum menatapku. Senyuman yang selalu ia curahkan pada anaknya.
Suara keroncong diperutku tak lagi gaduh. Kini, aku siap berangkat menuju sekolah. Tempat yang apakah akan kutinggalkan hari ini, atau harus kembali kutempati bangku yang sama. Ya, ini adalah hari kelulusan. Aku tak tahu bagaimana hasil nilai ujian akhir dan raporku. Kuharap, nilaiku baik-baik saja.
Aku pamit dengan Ibu dan Nenek yang tengah bercengkerama di luar rumah selepas sarapan pagi. Kucium tangan keduanya, kemudian berlalu dengan kalimat salam. Tiba-tiba aku dicegat oleh suara Ibu.
“Udah pamit sama Ayah, Nak?” Aku terdiam sejenak. Kemudian menggelengkan kepala.
“Pamit dulu, ya!” pinta Ibu padaku. Kuanggukkan kepala kemudian berlalu menuju kamar Ibu dan Ayah.
Tampak dari balik tirai Ayah tengah duduk sehabis sarapan. Ia tertunduk nanar menatap lantai kamar. Kuhampiri Ayah dengan perasaan canggung. Kemudian, Ayah mengarahkan pandangan ke arahku.
“Yah, mau berangkat dulu!” ucapku seraya menyambut tangan ayah kemudian menciumnya.
“Ya Nak, hati-hati di jalan! Ingat tempat!”
Ya, perkataan itu selalu diucapkan. Entah apa maknanya serta maksudnya. Yang kutahu, saat itu mungkin Ayah menyuruhku mengingat Allah. Jadi, kuanggukkan saja kepalaku.
Ayah mengantarkanku keluar kamar hingga ke depan pintu utama rumah. Kulihat tatapan Ayah yang semula teduh, berubah tajam ketika melihat Ibu yang tengah berbincang dengan Nenek. Kemudian sebuah ucapan terdengar di lisannya.