Cinta Tak Selalu Waras

Larasati
Chapter #4

Rumah yang Riuh oleh Luka

Masa-masa remaja yang dinanti, kini telah berada dalam genggaman. Aku kini duduk di bangku SMP. Masa di mana segalanya terasa baru, namun tak benar-benar membawa kebaruan. Rumah yang dulu ramai oleh suara kanak-kanakku ketika bermain, kini justru hening semenjak remaja menghampiri. Aku perlahan telah berbaur dengan segala prahara yang terjadi di dalam rumah yang tak bernyawa ini. Ya, demikianlah jika hati dan jiwa telah menyatu dengan luka dan trauma. Mati rasa. Itulah gambaran hatiku saat itu. Sebuah perasaan yang dulu tak kukenal namanya.

Langit muram di atas sana, seolah menyamai isi hatiku. Sepertinya, Tuhan paham bahwa gerimisku juga akan jatuh sebentar lagi. Biar kutelan tangis itu dalam bingkai bernama relung. Aku tak ingin semua orang menganggapku aneh. Menangis bukanlah solusi. Jalan satu-satunya adalah bertahan untuk tetap diam. Walau diam, juga bukan sebuah solusi.

“Laras! Ya Allah! Kamu ngapain di dalam kamar? Bantu Ibumu sana! Ini hari minggu loh. Kamu lagi libur kan? Ayo! Bantu Ibumu angkat dagangan keluar!”

Ya, seperti biasa. Nenek akan selalu menjadi perusak dramatisku. Padahal, gejolak tangis itu akan segera hadir. Tapi syukurlah, dengan demikian, aku tak perlu banyak drama pagi ini. Aku pun berlalu menuju dapur. Tampak sosok Ibu yang tengah sibuk mempersiapkan dagangannya. Ibu menyambutku dengan senyuman yang tak pernah absen setiap menatapku.

“Bantu Ibu ya, Nak!” ucap Ibu padaku sembari berlalu keluar rumah dengan membawa panci berisi kuah gulai.

Aku pun mengangkat sebagian perangkat dagang Ibu seperti piring, sendok, dan gelas. Kemudian, aku lanjut menyapu teras rumah yang basah oleh percikan hujan di malam hari. Kulihat sekelilingku. Pemandangan yang begitu asri. Kuhirup udara pagi yang masih sejuk, seraya membiarkan keheningan menyusup ke dalam dada. Semua ini perlahan membuat drama pagi tadi beralih menjadi lebih baik.

Ibu tengah merapikan meja makan untuk pelanggan. Kupandang wajah Ibu dari kejauhan. Wajah yang perlahan semakin menua. Kutahan derai air mataku. Mengingat segala hal yang telah ia korbankan untuk keluarga ini. Kualihkan pada gerakan menggeliat agar drama tangis itu tak jadi pecah.

Pelanggan pertama Ibu hadir. Aku diminta oleh Ibu untuk mengantarkan pesanan ke tetangga di depan rumah. Seorang lansia yang usianya lebih muda dari Nenek beberapa tahun. Seorang lansia yang jauh lebih kesepian dariku. Karena ia hanya tinggal seorang diri di rumah. Tak ada cucu, apalagi anak. Namun, tak terlihat wujud sepi itu di raut wajahnya. Aku menyeberangi jalanan yang tak pernah sepi dari kendaraan. Sebab rumahku berada persis di jalur lintas Sumatera. Tak apa, syukurnya aku telah lihai menyeberang saat masih SD. Jadi, ini bukan momok besar bagiku. Dan alhamdulillah, Allah selalu melindungiku.

Rumah berwarna biru muda dikombinasi dengan cat putih yang semakin menambah nuansa tenang, kini semakin dekat dari pandanganku. Tampak seorang lansia tengah duduk di teras rumah bersama seekor kucing yang menjadi teman sepinya. Aku menyunggingkan senyum tulus ke arahnya. Kemudian, kutaruh piring berisi pesanannya tersebut pada sebuah meja teras rumahnya. Sang Nenek pun tersenyum menatapku. Kemudian bibirnya yang terlihat gemetar itu mulai mengeluarkan suara.

“Terima kasih ya, Cu. Ini uangnya.”

“Sama-sama, Nek. Wah, Nenek ada kucing, ya? Cantiknya pus meong.”

“Jantan ini, Cu.” Si Nenek merombak ucapanku. Aku terdiam sejenak, memperhatikan lebih saksama kucing belang jingga itu.

“Wah, iya ya. Hehe. Maaf ya, Pus. Kamu gak pakai lipstik sih, jadi aku bingung,” candaku membuat sang Nenek tertawa. Memperlihatkan deretan giginya yang masih rapi. Ajaib, tapi mungkin saja itu gigi palsu. He he he.

Tawa kecil kami masih menggema, sampai akhirnya suara lain menggantikan kehangatan itu. Suara yang sudah tak asing di telingaku. Aku pun menoleh ke depan rumah Nenek ini. Kulihat sepasang suami dan istri tengah adu mulut. Ya, itu suara Ibu dan Ayah. Nenek yang tengah berbincang denganku pun turut melihat aksi mereka.

“He he, biasa Nek,” gumamku, mencoba mencairkan suasana.

“Ini ya, Nak, uangnya.” Nenek itu memberikan selembar uang pecahan lima ribu rupiah padaku.

“Terima kasih, Nek. Aku pamit dulu ya, Nek. Assalamualaikum,” ucapku sembari menerima uang Nenek.

Lihat selengkapnya