Masa-masa remaja itu, kuharapkan cepatlah berlalu. Itulah harapan yang selalu kugaungkan. Walau banyak dari remaja lainnya menginginkan agar mereka terjebak di usia remaja, namun tidak denganku. Justru aku selalu menanti hari di mana aku bisa meninggalkan rumah dengan segera, tanpa harus lari.
Aku baru saja menyelesaikan pra Ujian Nasional. Suasana di sekitar sekolah masih riuh oleh para murid dan guru yang berlalu pulang menuju kediaman masing-masing. Cuaca cerah itu mengundang semangatku hari ini. Terik mentari sejajar dengan kepala, membuat hangat ubun-ubun. Tiba-tiba, sebuah suara memanggilku.
“Laras!” Suara itu mendominasi pendengaranku, membuatku ingin menoleh.
“Oh, Rinanda? Ada apa?” Aku tersenyum padanya seraya menunggu Rinanda yang kini mempercepat langkah ke arahku.
“Aku baru aja dapat beasiswa!”
“Ha?” Mataku melotot tak percaya. Sekilas kulirik penampilannya—semua tampak mewah dan berkelas.
“Kamu jangan kaget! Kayaknya gurunya salah ngasih beasiswa ke aku. Hehehe. Gimana kalau kita jajan bakso, yuk? Ajak yang lain juga!”
“Tapi … boleh enggak tuh?”
“Ya, boleh, lah! Kan udah hak aku. Ayo! Yana! Uchi! Tari! Sini!”
Rinanda memanggil tiga temanku yang lain. Mungkin dia juga akan mentraktir mereka.
“Kita makan bakso di mana?” tanya Yana.
“Di pasar LA aja!” usul Uchi.
“Oke! Yuk, lah!” seru Rinanda sambil menggandeng tanganku.
Rinanda adalah sosok gadis yang sejatinya tak banyak bicara. Lebih ke diam, namun bersahabat. Wajahnya cantik, dengan suguhan lembut dan teduh dari perawakannya, membuat siapa pun pria akan jatuh cinta. Tinggi semampai. Suaranya lembut dan sikapnya sangat baik, pastinya. Berbanding terbalik denganku. Aku, yang ketika remaja justru menunjukkan sisi berbeda dari zaman SD. Aku agak sedikit tomboi dan blak-blakan. Ya, aku cenderung jadi introvert di rumah, namun di sekolah justru sebaliknya. Walau begitu, aku selalu ingin agar dewasa itu dapat segera kugenggam.
Kami pun sampai di tujuan, setelah melalui perjalanan menggunakan angkutan umum. Berdesakan dengan belasan anak manusia lainnya. Aku dan tiga temanku duduk di bawah meja lesehan, kemudian mulai memesan menu yang kami inginkan. Aku memilih semangkuk bakso dan air putih biasa—sudah termasuk gratis dari rumah makannya. Tak ingin terlihat rakus di depan mereka, walau sebenarnya pagi tadi aku belum sempat sarapan karena gaduh yang selalu terjadi di rumah.
Saat tengah makan, teman-temanku asyik berbincang tentang keluarganya. Kudengar, tiada dari mereka yang orang tuanya memiliki konflik seperti orang tuaku. Atau mungkin, mereka juga menyembunyikan konflik batin yang tengah mereka hadapi? Aku tidak tahu itu. Yang pasti, saat ini aku ingin menikmati bakso ini selagi hangat.
“Laras, Ayahmu masih ada, kan? Kok tiap kami ke rumah, Ayahmu enggak pernah kelihatan?” tanya Rinanda tiba-tiba.
Aku terdiam sejenak, kemudian menjawab, “Masih, kok. Mungkin saat itu beliau lagi kerja aja.”
“Oh, Ayahmu kerja di mana?” Yana menanyakan hal yang sebenarnya sangat enggan kuutarakan di tengah mereka. Ya, Ayah memang bekerja. Tapi lebih banyak di rumah.