“Keluar!” suara Pak Ikhlas guru Matematika yang sejatinya sangat sabar itu seketika berubah menjadi garang. Ia bahkan tak ingin menatapku sama sekali. Aku, baru saja membuat sebuah kesalahan yang mungkin bagi sebagian murid rajin, akan beranggapan bahwa aku terlalu berani. Ya, aku—tidak mengerjakan tugas. Dengan entengnya aku mengatakan tidak mengerjakan pada Pak Ikhlas.
“Sekarang, kerjakan di luar! Saya enggak mau tahu gimana caranya kamu ngerjain. Yang penting dikerjakan!”
Oke, aku mendapatkan angin segar atas pernyataan Pak Ikhlas tadi. Dengan santainya aku berkata, “Baik, Pak!” ucapku sambil berlalu pergi dari kelas. Tak ada sedikit pun rasa sesal dan cemas. Bahkan raut wajahku tampak datar. Hanya ada kehampaan. Aku duduk pada bangku beton memanjang yang ada di koridor. Lalu memberi kode ke arah kelas sebelah yang ternyata sedang tidak ada guru yang mengisi pelajaran. Salah seorang siswi bernama Dira keluar dari kelas. Ia adalah salah satu temanku di bangku SMP dulu. Kami beda kelas dan hanya mengenal nama saja.
“Kamu kenapa di luar?” tanya Dira padaku seraya memerhatikan buku yang kupegang sedari tadi.
“Aku di usir, nih. Hehehe," jawabku dengan santai sambil tertawa kecil.
“Ya Allah! Lucu ya, ada ya murid di usir malah ketawa?” tanya Dira heran.
“Ada lah! Aku buktinya,” jawabku dengan penuh percaya diri.
“Jadi, kamu ada perlu apa sama aku?” tanya Dira mencoba menanyai maksudku.
“Tolong bikinin aku PR Matematika, dong!” mohonku sambil memperlihatkan soal-soal dalam tugas yang akan Dira kerjakan.
“Oh, ini? Ini mah gampang. Kamu enggak bisa apa malas, sih?” tanya Dira ingin tahu sembari mengerjakan tugasku.
“Dua-duanya. Hehehe.”
Dira menggelengkan kepala heran. Kemudian sedikit menjelaskan padaku soal-soal yang sulit itu. Aku bahkan tak bisa mengulang semua narasi yang ia jabarkan tadi. Aku hanya duduk bersandar, menatap Dira yang terlihat serius mengerjakan dan dengan mulut yang sedari tadi berkomat kamit seolah tengah membaca sebuah mantra. Hidup ini bagai teater bagiku—yang terlalu sering memutar lakon yang sama: kebosanan dan pura-pura.
Bel ganti pelajaran pun berbunyi. Pak Ikhlas telah keluar dari kelas. Aku pun menyelinap masuk ke dalam kelas tanpa sepengetahuannya. Seolah tak terjadi apa-apa. Jam berikutnya diisi oleh pelajaran Bahasa Inggris. Sebuah pelajaran yang aku sukai. Hari ini adalah hari di mana Bu Helmi—guru Bahasa Inggris-ku meminta kami semua untuk menyerahkan tugas sekaligus praktek storytelling ke depan kelas.
Salah seorang siswi yang meraih juara kelas maju lebih dulu. Aku harap-harap cemas. Sangat berharap bahwa aku bisa dengan mudah dalam praktek nanti. Anak pintar bernama Ike itu telah selesai dengan tugasnya. Hingga setelah beberapa nama terlampaui, namaku dipanggil.
“Larasati!” panggil Bu Helmi sembari mengangukkan kepala seolah memberi isyarat bahwa kini giliranku.