Langit tampak gelap hari ini. Angin kencang terasa menusuk sampai ke tulang-tulang Sisi. Ia teringat dengan mamanya yang masih berada di toko. Sisi berjalan menuju ruang tamu dan mengambil handphone yang biasa di letakkannya di atas meja.
“Halo,ma? Sudah dimana? Kenapa mama belum pulang?”
“Iya nak, sebentar lagi mama sampai di rumah. Mama masih di jalan.” Ucapnya pelan.
Sinyal yang tak begitu kuat memutuskan percakapan mereka. Angin kencang yang tak biasa, mampu menutup pintu rumah dengan sendirinya. Gorden jendela seperti menari-nari dan menghempaskan butiran-butiran debu yang berbulan-bulan menempel. Sisi dengan sigap menutupkan jendela dan merapikan rambutnya yang di huru-hara kan angin yang tak diundang.
Sisi memasak air sambil menunggu mamanya pulang.
Tok, tok, tok. Terdengar seseorang mengetuk pintu. Siapa lagi kalau bukan wanita kesayangan Sisi yang parasnya sangat anggun dan lembut. Namun, ketika ia marah layaknya seperti gunung merapi yang meletus. Laharnya menjalar kemana-mana. Sangat menakutkan. Lebih menakutkan dari Siluman.
“Iya mah.” Teriak Sisi sambil berlari membukakan pintu.
“Untung mama sampai di rumah sebelum hujan! Bisa-bisa mama nanti kebasahan!” Ucapnya sambil mengangkat baju-baju yang terlihat berkurang.
“Aku sudah siapkan air hangat buat mama mandi. Mama langsung mandi saja, keburu dingin.”
Bu Rahma yang terlihat lesu tak mengeluh sedikit pun. Wajahnya yang sangat kalem, mampu meluluhkan setiap hati pelanggannya. Senyumnya yang royal mampu membuat hati pelanggannya menetap dan tak akan terbang kemana pun. Mungkin itu modal utama wanita yang hampir setengah abad ini. Bermodal senyum yang bersahaja membuat dagangan bajunya laris manis di pasaran.
“Ya sudah, mama mau mandi dulu, kamu bersihkan ini semua.”
Sisi mengangguk.
Setelah beberapa menit, bu Rahma datang ke dapur dengan menggunakan bajunya yang kusam, yang sudah tak layak pakai.
“Mama ngapain pakai baju itu lagi sih! Ini kan banyak baju ma?!”
“Sayang uangnya kalau beli baju yang baru, itu kan baju untuk di jual nak, ini kan masih bisa di pakai.” Jawabnya sembari menebar senyumnya yang tipis.
“Aku tau, tapi kan ngak masalah juga mama pakai baju yang baru.”
“Kamu malu ya? Lihat mama pakai baju ini.”
“Aku ngak pernah malu kalau mama pakai baju seperti ini, tapi aku ngak suka mama direndahkan orang!”
“Sini mama bilangin.”Jawab bu Rahma sambil menarik tangannya dan menghusap-husap kepala Sisi yang dilorotkannya ke atas paha wanita yang hampir setengah abad itu.
“Lebih bagus mana? Merasa “DIRENDAHKAN atau MERENDAH DIRI.” Tanya bu Rahma lembut.
“Aku tau, ma......Tapi kan..”
“Sssstttttttt,,,! Ngak ada tapi-tapi. Alangkah baiknya kita merendah diri sebelum direndahkan. Kalau kita hidup selalu merendah diri, secara ngak langsung kata-kata orang yang ingin merendahkan kita, pasti tidak akan terasa lagi. Seseorang yang masih sakit hati jika direndahkan, sebenarnya dia adalah orang yang tersombong. Kenapa? Karena masih ada penghormatan harga diri yang ingin dijunjungnya tinggi, dan itu tidak baik, sayang.”Jelas bu Rahma lembut. “Merendah lah, sebelum kita direndahkan, itu jauh lebih baik.” Ucapnya sambil tersenyum sempit.
Dinginnya hari membuat badan Sisi terasa hangat dipelukannya. Dengan serangkai ceritanya, membuat Sisi tertidur pulas di pangkuannya.
“Hei.... Malah tidur... !” Ucap bu Rahma sambil menepuk hidung Sisi.
“Iya mah, ngantuk.”
“Ya uda, makan dulu sana, baru tidur.”
“Oh iya mah! Besok kita lihat pengumuman jam 09.00 wib.” Sontak mata Sisi terbelalak mengingat pengumuman besok pagi.
“Semoga kamu masuk ya nak? Menurut mu, kamu masuk ngak?” Tanya bu Rahma sedikit ragu.
“Aku yakin pasti masuk, ma.”
“Pede banget, sih!” Sentak mama sambil menghusap wajah anaknya yang tidak kalah cantik dari dirinya.
Tiba-tiba pertanyaan Sisi membuat bu Rahma tertawa terpaksa. Memecahkan keheningan antara mereka berdua dalam beberapa menit. “Ma, aku anak siapa?” Bola mata yang sayu itu langsung menatap wajah bu Rahma.
Bu Rahma tertawa setelah dia sempat membungkam dalam 20 detik setelah pertanyaan itu di lontarkan Sisi kepadanya. “Anak mama lah, ngak mungkin anak orang.”
“Nama papa siapa, ma?” Tanya Sisi sembari menebar senyumnya yang malu.
Sejenak bu Rahma menghela nafasnya panjang.
“Apalah arti seorang papa bagi mu, jika dia tidak mengingat kamu sedikit pun.” Ujarnya pelan.
Sisi langsung beranjak dari pangkuan bu Rahma dan menatapnya dengan serius.