Malam semakin larut. Suara jangkrik terdengar saling bersahutan membentuk sebuah kebisingan yang mengasyikkan bagi Natalia yang masih enggan menutup matanya. Di dalam ruangan kamar yang sempit dan minim penerangan, Natalia yang semula berbaring kini bangkit dan berjalan menuju jendela kamarnya. Dibukanya jendela itu perlahan dan langsung mendapat terpaan angin malam yang dingin menerpa kulitnya yang putih mulus. Dilihatnya langit malam dan para penghuninya. Bulan sabit yang seolah tersenyum padanya dan seakan berkata 'semuanya akan baik-baik saja, berjuanglah!', sebuah senyum terukir di bibirnya. Setelah puas memandang rembulan yang membuatnya tersenyum, Natalia mengamati langit malam dan berhenti pada bintangĀ Canopus, bintang yang paling terang dari bintang lainnya. Diangkatnya tangan kanannya dan menunjuk ke arah bintang Canopus, telunjuknya seolah membelai bintang yang bersinar terang itu.
"Sungguh cantik sinar mu, Canopus. Jangan pernah redup, tetaplah di sana. Temani aku, temani sepi ku dengan tetap bersinar. Aku akan menyapamu di setiap malam ku," ucap Natalia lirih. Diturunkannya telunjuk yang membelai bintang itu, belaian dalam angan yang tanpa menyentuh namun hanya mampu dirasakannya. Setiap mengamati langit malam, pikirannya akan tertuju kepada orang tuanya.
Itulah Natalia. Seorang gadis cantik yang menyukai langit malam. Menyapa sang Pencipta di setiap malamnya. Menyanjung mahakarya yang luar biasa yang disajikan oleh Tuhan yang maha kuasa. Mengandaikan bahwa bulan adalah ibunya dan bintang Canopus adalah ayahnya. Menyapa mereka di setiap malamnya dan berulang kali bersyukur kepada Tuhan karena masih dihibur dengan berbagai macam ciptaan yang telah disediakan-Nya.
Rintihan setiap malam dari hati seorang gadis yang tumbuh tanpa kasih sayang orang tua, haus akan cinta yang harus didapatkannya seperti anak-anak beruntung lainnya. Belaian dan nasihat yang tidak didapatkannya. Ancaman dan makian senantiasa menghampirinya, dari keluarga Cesar yang kini ia tumpangi.