Pagi ini pukul sepuluh. Langit sangat cerah. Biru yang terhampar luas. Angin berhembus kencang. Pohon-pohon menari. Di langit yang cerah itu, layang-layang berukuran sedang berwarna merah dan hitam terjun bebas. Terputus dari empunya. Ia masih jauh tinggi di sana. Terombang-ambing ke kanan dan ke kiri. Angin menjadikannya terhempas jauh. Saat itu pula, kaki-kaki telanjang berlari mengejar layang-layang itu. Benar-benar tidak ada yang memakai alas kaki. Ada yang membawa sandal namun ia lepas. Dilemparnya sandal itu ke depan rumah siapapun dan si pemilik sandal tak pernah khawatir sandalnya hilang. Anak-anak desa. Mengejar layang-layang putus.
“Aku pasti menang!” Sambil berlari dan mengangkat tangan kirinya, Damar berteriak sangat kencang. Jalanan desa ia belah begitu saja. Anak-anak lain berlari juga di belakangnya.
“Aku gak bakal kalah sama adik payah sepertimu, Mar” Gito membalas teriakan Damar. Dia adalah kakak sepupu Damar. Kakak yang selalu bersamanya. Tepatnya, kakak yang selalu Damar ikuti ke mana saja. Kakak satu-satunya yang Damar sayangi. Yang selalu ia banggakan. Yang menjadi motivasinya. Yang menjadi rivalnya.
“Aku pasti menang!” Damar melontarkan kembali teriakannya yang dibalas dengan tawa Gito yang lepas sambil berlari lebih kencang. Teman-teman lain ikut menambah kecepatan. Damar adalah anak termuda di tengah teman-temannya. Beda dua tahun dengan yang lain. Namun, karena selalu mengikuti Gito ke mana pun dan bermain dengan teman-teman Gito, Damar menjadi pelari yang tak kalah cepat dengan anak yang dua tahun lebih tua darinya.
Jalanan desa pagi itu menjadi ramai oleh Damar, Gito dan teman-teman mereka. Meski hanya sebatas mengejar layang-layang, teriakan mereka membuat hidup suasana desa. Orang-orang juga sudah maklum dengan kelompok kecil ini. Bahkan, mereka menjadi hiburan bagi tubuh-tubuh lelah selepas bekerja. Layang-layang masih bebas di udara. Lelah di wajah anak-anak tersamarkan oleh kebahagiaan mereka berlari bersama. Peluh yang membanjiri wajah dan kaos yang mulai basah oleh keringat tidak membuat mereka merasa harus beristirahat. Semua sudah sepakat bahwa anak yang berkeringat deras saat berlari adalah anak yang kuat dan keren. Karena kesepakatan ini, mereka semua semakin bersemangat. Mereka sampai di lapangan desa. Lapangan hijau yang menarik. Di barat lapangan ini adalah desa penduduk. Di bagian timur lahan berhektar-hektar ditanami tebu. Hanya ada jalan setapak dengan lebar setengah meter yang membelah kebun tebu ini. Jalan penghubung antar desa. Di bagian selatan adalah lahan tebu dan kopi. Jika diteruskan lagi ke selatan akan terlihat dinding batu yang tinggi memanjang dari selatan ke barat. Itu adalah Gunung Kunci. Anak-anak berhenti sejenak untuk mengatur napas dan mengamati arah layang-layang. Menerka tempat jatuhnya. Baru beberapa saat, Gito berlari lagi ke arah selatan. Mengambil jalan menanjak melewati kebun kopi. Tanpa berpikir panjang, anak-anak lain mengikutinya. Jalan di sekitar kebun kopi tidak begitu lebar. Mereka harus mengurangi kecepatan lari mereka jika tidak ingin terperosok ke kebun tebu yang luas di kiri jalan. Kamu tahu apa yang akan kamu rasakan jika kulitmu bersenTuhan dengan daun tebu? Kulitmu akan memerah dan gatal. Bisa bayangkan jika sekujur tubuh tersentuh daun tebu?. Layang-layang sudah setinggi pohon.
“Ayo! Ayo! Ayo!” Mata Damar berbinar saat melihat layang-layang berwarna merah hitam yang terlihat semakin besar dari dekat. Ia berlari lebih cepat. Melewati beberapa teman yang berada di depannya. Sampai tepat di belakang Gito, Damar memelankan larinya. Gito memandang layang-layang yang hampir jatuh. Larinya melambat. Semua yang berada di belakangnya melakukan hal yang sama. Jantung mereka semua berdebar kencang. Bisa mendapatkan layang-layang yang putus adalah kebanggaan besar.
Satu, dua, tiga!
Kompetisi baru dimulai! Mereka berlari menuju arah layang-layang. Berdesak-desakan di jalan yang sempit. Di saat yang seperti itu, mereka hanya memfokuskan pandangan ke arah layang-layang. Damar berhasil menerobos dan melewati teman-temannya. Layang-layang hampir jatuh. Beruntung sekali layang-layang itu tidak jatuh di antara pohon-pohon tinggi. Layang-layang itu sudah di dalam jangkauan Damar. Damar mulai bersiap meloncat. Tangannya hendak meraih layang-layang itu. Hampir saja. Tapi, layang-layang itu entah mengapa tiba-tiba terbang lagi. Aneh. Semua yang melihat terkejut. Damar bergegas menoleh sekitar. Mencari Gito. Damar menghembuskan napasnya lembut. Ia sudah tahu hasil dari permainan ini. Gito yang menang. Ia melihat kakaknya itu berdiri paling belakang sambil memegang benang yang mengikat layang-layang itu. Damar dan yang lain kalah cerdik. Layang-layang menari tepat di atas anak-anak itu. Sangat gagah.
“Ini layang-layang kita!” Gito berteriak. Membuat semua temannya menoleh ke arahnya. Bingung. “iya, ini layang-layang kita semua, kita udah sama-sama lari, jadi semua boleh mainin layang-layang ini.”
“Horeeeee!” Semua bersorak. Gito memang selalu yang terhebat. Sebenarnya Damar juga tidak terlalu mementingkan menang kalah. Asal dia bisa selalu bersama dengan teman-temannya, asal dia bisa selalu bermain dengan kakaknya. Itu adalah kebahagiaan yang tiada duanya. Tepat di bawah kaki Gunung Kunci. Saat matahari tepat bisa memandang wajah-wajah penuh harap mereka. Anak-anak itu berkumpul melingkar. Mengangkat layang-layang mereka sambil menatap langit.
“Ayo bermain bersama! Selalu bersama!”
“Ayo! Ayo! Ayo!”
*****
“Bagaimana Lelaki Penulis Surat itu, maksud saya, Damar, menikmati masa kecilnya tanpa orang tua?” Si gadis kembali bertanya. Nenek Siti tersenyum.
“Jawabannya mungkin berupa pertanyaan, apa yang membuatmu jatuh cinta kepadanya, Gadis muda?”
Si Gadis tersipu seketika. Diam dan tidak menjawab. Nenek Siti kembali tersenyum. “Damar itu anak yang hebat. Sejak kecil dia belajar menerima semua takdir. Sejak masih belia dia sudah dikenalkan dengan perpisahan. Dia tidak sempat mengingat banyak hal tentang orang tuanya saat itu. Baginya, aku dan suamiku adalah orang tuanya, padahal kami ini kakek dan neneknya. Meski kami sering kali memberitahu bahwa dirinya memiliki ibu dan bapak, anak itu hanya membalas dengan senyum lalu menyebut dua kalimat “Kakek, Nenek”. Damar tidak pernah ingin tahu lebih banyak. Dia hanya ingin semua bisa berjalan baik-baik saja. Mungkin karena keadaannya yang seperti itu penduduk desa jadi sangat menyayanginya. Ia diterima di rumah mana pun. Meski terkadang berbuat ulah bersama kakak sepupunya itu. Gito.”
Si Gadis menyimak setiap kalimat yang Nenek Siti katakan.
“Aku dan suamiku sangat menyayanginya. Ia juga sangat manja. Apalagi kalau sudah bersama suamiku, ia akan mendapatkan semua yang dia inginkan. Haha,... ini benar-benar nostalgia. Begitulah, Damar adalah cucu pertama kami dari anak perempuan kami. Ayu. Meski dimanja, ia juga dididik dengan benar. Suamiku yang tidak lain adalah kakek Damar adalah juragan penjual pisang waktu itu, seminggu sekali kakek Damar pasti pergi ke pasar dan Damar tidak pernah lupa meminta oleh-oleh yang harus selalu dibelikan. Damar anak desa, tepat di bawah kaki bebukitan dan Gunung Kunci. Karena itulah ia tidak meminta oleh-oleh yang memberatkan kakeknya. Ia penggemar buah nangka. Jika kakeknya lupa membelikanya, Damar bisa menangis berjam-jam.”
“Aku sebagai neneknya juga sangat menyayanginya. Sangat sayang. Tapi akulah yang sering menakut-nakutinya. Saat Damar menangis tiada henti, adalah tugasku untuk menghentikan tangis tak berkesudahan itu. Tidak butuh waktu lama untuk menenangkannya. Aku cukup pergi ke dapur dan kembali lagi dengan membawa selembar kain untuk membungkus parutan jamu temu ireng. Lalu aku akan memasang wajah galak dan berkata,
“Ayo, kalaunangis terus, jamu ini yang nenek masukin ke mulut Damar!” Aku mendekat padanya dengan kain berisi parutan temu ireng yang meneteskan cairan kuning. Damar akan menutup rapat mulutnya meski air mata tidak berhenti mengalir. Aku akan mengulang lagi ucapanku untuk mencekokinya dan dia hanya menjawab singkat.