Cinta Tanpa Mustahil

Syamsul Ma'arif
Chapter #3

Perpisahan dan Makna Sebuah Keluarga

“Jika nanti sudah besar, kembalilah lagi ke sini, kalau bukan kamu, siapa yang mau menempati rumah ini?. Bahagialah di sini sekalipun nenek sudah tiada nanti. Sebentar lagi kamu akan diambil lagi oleh bapak dan ibumu. Jangan nakal-nakal, bapakmu orangnya keras. Jadi anak yang patuh supaya tidak dipukul terus sama bapakmu”. Nenek Damar menasehati cucunya. Damar bisa mengingatnya dengan baik. Ia akan memenuhi harapan neneknya. Mengangguk dengan semangat. Damar mau membahagiakan neneknya. Nenek yang telah ada saat pertama kali ia bisa mengenal suara dan wajah orang dengan baik.

Nenek Damar adalah perempuan yang pantang putus asa. Ialah Siti. Perempuan jawa yang lembut dan penuh kasih sayang. Ia adalah sosok nenek dan juga ibu yang baik. Perempuan tangguh. Di umurnya yang senja, kakinya mampu mendaki bebukitan. Kulit yang cukup keriput menantang panas matahari. Bahkan, sambil membawa seember air di atas kepala, ia masih mau menuruti keinginan Damar yang merengek minta gendong. Sifat tangguh dan pantang menyerah menurun kepada anaknya. Ayu. Ibu Damar. Sejak kecil Ayu dihadapkan dengan hidup yang getir. Berkerjalah dengan keras jika ingin meraih harapan. Ketika masih sekolah, Ayu akan keluar masuk perkebunan untuk mengumpulkan daun kering cengkih atau turut membantu tetangga memanen kopi. Upah hasil kerjanya akan ia belikan buku tulis. Ayu tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Itu yang diajarkan oleh Siti pada anaknya.

“Aku gak bakal ke mana-mana kok, Nek. Aku kan udah janji mau bareng-bareng terus sama temen-temen. Aku juga mau sekolah sama Kak Gito. Kalau sudah besar, aku pasti akan membuat nenek bahagia.” Damar sangat bersemangat saat mengucapkan kalimat-kalimatnya. Ia terlalu polos untuk mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan. Siti hanya tersenyum. Hatinya berdoa semoga saja apa yang dikatakan cucunya adalah harapan yang akan terwujud.

Rumah yang sangat sederhana dan sempit itu menyimpan banyak sekali kenangan masa kecil Damar bersama kakek-neneknya. Siti dan Jumat. Dua orang inilah yang selalu menyayangi Damar. Menjaganya dengan baik. Dua orang yang berhasil membuat Damar tidak pernah merasa kesepian meski sudah lama sekali ia tidak pernah mendapat belaian kasih sayang orang tuanya.

*****

Sore hari itu, lelah setelah bermain bersama kawan-kawannya, Damar masuk ke rumah dengan badan yang letih. Tubuhnya lemas. Mengejar layang-layang memang sangat menguras tenaga. Damar merasa sedikit mual dan kepalanya pening. Sangat tidak mengenakkan.

Di rumah Damar hanya merebahkan diri saja. Melihat ke arah ranjang lusuh di bagian utara ruang tamu. Ranjang itu milik almarhum buyut Musa. Orang tua neneknya. Jika berdiam atau duduk sejenak di sana, aroma buyut Musa masih sering tercium. Ya, aroma yang khas. Namun, entah karena alasan apa ranjang itu tidak lagi dipakai dan tidak ada yang mau memakai. Ranjang itu seolah menjadi kenangan, saksi perjuangan buyut melawan penyakitnya sampai ajal menjemput. Ranjang kenangan. Sekilas Damar mengingat kembali buyut Musa. Ia sangat jarang berbicara dengannya. Jarang sekali, bahkan Damar tidak ingat kapan ia terakhir kali berbicara dengan Buyutnya. Ingatan tentangnya adalah ketika ia berbaring di ranjang dan Damar sangat segan kepadanya. Buyut Musa seperti memiliki kharisma yang kuat. Pun begitu, entah mengapa Damar bisa merasakan betapa Buyut Musa sangat menyayanginya. Tanpa ada kata yang terucap. Tanpa interaksi yang berulang-ulang. Sebatas memandang satu sama lain. Memang, tidak semua perasaan harus disampaikan dengan perkataan. Banyak sekali perasaan yang sampai tanpa perlu diucapkan.

Ayu adalah cucu kesayangan buyut Musa. Buyut Musa itu seneng banget kalau kumpul sama aku. Kalau lagi sakit, gak mau makan kalau bukan aku yang suapin, kata Ayu ketika bercerita tentang buyut Musa ke Azhar. Ayu bilang, dulu ketika awal pernikahan, Ayu ikut Azhar dan itu berarti ia harus berpisah dengan keluarga di rumah Siti, ibunya. Bagaimana perasaan buyut Musa waktu itu? Lagi-lagi diam adalah bahasanya yang terbaik. sebelum berangkat ke Saudi, Ayu menyempatkan diri kembali berkunjung ke rumah ibunya. Ayu pun langsung pergi ke ranjang buyut.

“Ayu, Kamu, Nak?”Buyut Musa menebak orang yang baru saja menghampirinya.

“Inggih, Mbah. Sehat?” Ibu menjawab dengan sangat sopan kemudian duduk di samping buyut Musa yang berbaring.

Kemarin ada orang ke sini, bawa kue, katanya di rumahnya mau ada acara.”

“Oh, iya, Mbah,” Ibu menanggapi dengan sangat antusias. Sudah lama tidak bercengkrama. Mbah sudah makan kuenya?.”

“Iya. Sudah dimakan separuh, ini masih ada sisa kue lapis dan pisang goreng, Mbah sembunyikan buat kamu.”Buyut bicara sangat pelan.

“Lho, kok masih disembunyikan sih, Mbah?”

“Mau dimakan semua awalnya, tapi ingat kamu, kamu kan suka sekali pisang goreng dan kue lapis. Jadi Mbah sisakan buat kamu.” Buyut mengambil satu potong kue lapis dan dua potong pisang goreng dari laci di meja dekat ranjang.

“Mbah,... jangan terlalu berat mikirin Ayu, cucu Mbah ini udah besar lho, didoakan saja supaya punya rejeki lancar.” Ucap Ayu sambil mengambil tiga potong kue dari tangan Buyut Musa. Setelah itu, ia pamit sebentar dan pergi ke luar rumah. Di sana sambil memegang tiga potong kue, Ayu menangis sesenggukan. Air matanya meleleh deras. Di tangannya bukanlah kue yang bisa dimakan, tiga potong kue itu sudah sangat berjamur.

“Mbah, berapa hari Mbah menyembunyikan kue ini? jelas-jelas ini bukan kue kemarin.” Ayu berbicara sendiri. Sejenak ia berpikir, bagaimana keadaan buyut saat ia ke Saudi nanti?. Ayu sangat sedih.

Damar masih berbaring di ruang tamu dan samar-samar juga masih mengenang Buyut Musa. Tanpa terasa air matanya menetes. Bukan karena mengenang, tentu saja bukan, ia masih kecil dan tidak mengerti kenangan. Damar menggigil namun panas. Kepalanya pening dan tempat di sekelilingnya seakan berubah menjadi gelap. Beberapa menit kemudian tangisnya pecah dengan ingus yang keluar masuk dari hidungnya. Damar benar-benar kesakitan. Siti datang menengok beberapa saat kemudian.

“Kenapa nangis, Mar?”

“Sakit, Nek. Panas” Damar menjawab sambil menangis. Siti segera mengambil selendang dan menggendong Damar. Damar menangis di pelukannya. Siti segera mengajak Damar pijat. Damar menolak. Ia tidak suka pijat. Sore itu menjelang maghrib, Damar masih merasakan tubuh yang sakit. Siti menggendong cucunya itu dengan selendang dan pergi menapaki jalan berbatu. Damar menundukkan kepala dan menempelkannya ke bahu neneknya. Siti terus berjalan, di pertengahan jalan, Damar mulai bisa sedikit tenang. Ia mengangkat kepala dan melihat Siti. Jalanan sepi, tidak ada anak-anak di jalan. Orang tua mereka memang melarang anak kecil bermain di sore hari menjelang maghrib, katanya karena setan sedang berkeliaran. Beberapa saat kemudian saat Damar melihat ke depan, ada satu orang berjalan berlawanan arah dengan neneknya.. Damar memandang orang itu dan dari pakaiannya ia sudah bisa mengenalnya, namun saat Siti hendak berpapasan, Damar menjerit histeris. Yang berpapasan dengannya bukan manusia seperti yang ia tahu. Makhluq itu berbadan manusia namun berkepala kerbau. Damar menjerit dan mengagetkan neneknya.

Lihat selengkapnya