“Nek, kalau aku disuruh sekolah, pengen sekolah bareng Kak Gito ya. Terus kalau sudah besar cari uang bareng, juga dengan Kak Gito. Pengen di sini terus sama Nenek.” Damar mengatakan harapannya pada Siti.
Masih terlalu pagi, namun rumah Siti sudah sedikit berisik. Suaminya membawa beberapa pisang ke depan rumah. Azhar dan Ayu sudah berpakaian rapi. Entah hendak ke mana. Siti yang melihat Damar baru bangun tidur bergegas mengajaknya mandi. Ayu melihat anaknya, dia tersenyum.
Setelah mandi Damar memakai baju baru lagi. Ia merasa risih. Damar tidak pernah memakai baju sebagus baju yang dipakainya saat ini.
“Wah, udah ganteng. Sekarang sudah boleh pulang ke rumah Ibu. Jangan nakal-nakal lho.” Siti menepuk pundak cucunya. Damar melihat ke arah Ayu dan Azhar. Tenggorokannya sakit dan dadanya sesak seketika. Matanya berkaca-kaca. Apalagi setelah itu Gito dan teman-teman lain datang.
“Damar mau pulang ikut bibi” Ayu menjelaskan. Gito pasti juga sudah tahu ini semua. Itu sebabnya ia dan teman-teman datang.
Siapa yang akan pulang?, di sini rumahku, kenapa masih harus pulang? Damar bahkan tidak mampu berbicara. Semuanya terasa begitu menyakitkan. Ia berpikir tentang banyak hal seketika. Tiba-tiba ia menyadari sesuatu,
“Kak Gito! Aku...... Aku..... Aku cowok keren! Aku gak nangis lho ya! Kalian sekolah aja semua. Aku bakal nyusul nanti kalau aku sudah umur tujuh. Waktu kalian sekolah, aku bakal main layang-layang yang kita dapetin hari ini. Aku bakal nunggu sampai kalian pulang. Ingat! Aku tunggu! Dan lagi Aku gak nangis.... aku gak nangis” Damar mengacak-acak rambutnya. Suaranya yang menyuarakan janji tempo hari terus menggema di benaknya.
“Nek,..” Damar terisak. Siti menghela napas sangat dalam. Damar melihat air mata yang juga menetes di kelopak mata yang sedemikian sayu itu. Nek,...
“Udah gak usah nangis. Cowok gak boleh nangis. Ntar nenek ambilin jamu.” Siti menunduk. Akhirnya Jumat –suaminya- menghampiri dan memeluk Damar bersama Siti. Sangat erat. Jumat tidak berkata apa-apa. Tapi Damar sangat mengerti, Jumat selalu memberi apapun yang diminta cucunya. Untuk kali ini, Jumat terlihat pasrah.
“Aku gak mau pergi!” Damar menunduk. Tatapannya kosong. Ia mengepalkan genggaman tangannya. Berusaha sekeras mungkin agar tidak setetespun air matanya terjatuh. Ia sudah berjanji di depan teman-temannya tidak akan meninggalkan mereka. Ia sudah berjanji tidak akan menangis lagi. Tapi, perpisahan terlalu menyakitkan. Tenggorokannya semakin sakit dari detik ke detik. Dadanya sesak. Tubuhnya menolak keinginannya. Gito menyadari suasana itu dan mulai mendekati Damar. Kenangan selama bermain bersama Damar dan kawan-kawannya juga berkelibat cepat di pikiran Gito, dia juga sedih, tapi dia tidak boleh menangis, tidak untuk di depan adiknya yang sekarang sedang berusaha keras menahan banyak sekali kesedihan, tidak untuk melihat adiknya yang sedemikian terpuruk. Gito menghentikan langkahnya tepat di depan Damar. Damar masih menunduk dengan tangan yang masih terkepal erat. Gito mengangkat tangannya dan meletakkannya di atas rambut Damar. Tangan Damar mulai terbuka dan ia perlahan mengangkat wajahnya.
“Kak Gito! Aku gak nangis lho?” Damar tersenyum menatap Gito dengan air mata yang mengalir deras. Pemandangan yang sangat pilu. Gito menarik napas. Matanya berkaca-kaca. Gito sangat mengerti yang Damar rasakan. Semua ini sangat berat.
Edi merangkul Damar,
“Aku gak bakal nangis! Dan saat kita ketemu lagi nanti, aku pasti bisa jadi cowok yang gak cengeng lagi.”
“Aku bakal jadi pemain sepak bola andalan di sekolah.” Ali memegang pundak Damar.
“Kalau aku mau buat batu bata yang banyak dan aku bisa dapet banyak uang.” Saiful berdiri di samping kanan Gito.
“Dan aku, akan jadi anak yang baik!” Pinky berbicara di belakang Damar.
Pingky ngomong, tumben? Semuanya langsung menoleh ke tempat Pingky berdiri. Damar menyeka air matanya. Ia menyadari satu hal, teman-temannya tidak ingin perpisahan ini diakhiri dengan tangisan.
“Kamu tahu aku akan jadi apa, Mar?,” Rofi berdiri di samping kiri Gito. “Aku mau rajin belajar dan jadi juara kelas di sekolah, dan suatu saat nanti aku mau jadi yang pertama kali pergi ke Jakarta.”