Cinta Tanpa Mustahil

Syamsul Ma'arif
Chapter #5

Cinta Pertama

Hari mulai senja. Langit berwarna orange, si Gadis merapatkan jaketnya. Nenek Siti meneguk habis minumannya. Ia berdiri.

“Gadis, ada sesuatu yang membuatku penasaran, apa aku boleh bertanya?”

“Ah, iya... Silakan!”

“Apa kamu tidak memberi tahu Damar kalau kamu berkunjung ke sini?”

“Saya ingin memberikan kejutan untuk Damar, Nek,” si Gadis tersipu. Dia sangat malu mengatakan maksudnya di depan salah seorang keluarga dari orang yang selalu dipikirkannya. “saya pikir, saya akan langsung bertemu dengannya, haha, tapi ternyata Damar sekarang sedang tidak di rumah.”

“Berarti kamu pun tidak tahu di mana Damar sekarang?” Nenek Siti kembali duduk. Menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya. Si Gadis menggelengkan kepala. Nenek Siti bertanya lagi,

“Lalu darimana kamu tahu ini rumah Damar?”

“Damar pernah bercerita pada saya, Nek. Dia selalu mengajak saya berkunjung ke sini, ehm... dia memaksa saya, Nek. Saya bilang supaya dia bilang saja ke Abah saya, eh, dia gak mau, katanya, saya saja yang minta izin, nanti dia siap jemput.” Si Gadis sangat bersemangat bercerita.

“Wah,.. dia bisa seperti itu juga ya?”

“Iya, Nek... di balik sifatnya yang suka serius itu, terkadang dia sangat lucu, dia juga suka godain saya.” Si Gadis merapatkan jaketnya.

“Syukurlah jika begitu, dia mampu melakukan hal-hal semacam itu bisa jadi juga karena kamu.” Nenek Siti tersenyum menggoda.

“Saya....?”

“Iya, kalau ada hal yang bisa membuat orang yang disayanginya bahagia, Damar pasti yang pertama akan mencoba hal tersebut. Berarti jelas bukan, dia sayang kamu?”

Muka si Gadis memerah.

“Haha, betapa indahnya masa muda. Damar dan ibunya saat ini sedang pergi ke rumah saudara di luar kota. Mungkin besok mereka sudah pulang. Ah, ya... tadi kamu bilang kamu harus izin kalau mau pergi jauh ke Abahmu, berarti kamu memberanikan diri untuk meminta izin ke sini?”

“Iya, Nek... sebenarnya takut mau izin ke Abah, tapi syukurlah Abah langsung kasi izin, padahal kalau urusan keluar ke mana-mana biasanya selalu susah minta izin. Saya penasaran dengan desa kelahiran Damar, dan juga... saya kangen”

Nenek Siti melihat keteguhan di mata si Gadis. Setelah bertanya tentang beberapa hal, Nenek Siti paham benar seberapa besar Gadis ini mencintai cucunya.

“Kalian pasti akan bertemu. Jadi, tunggulah di sini sampai ia tiba,” Nenek Siti kembali berdiri dan mengambil kue dan gelas di atas meja, “ayo masuk ke dalam, sudah hampir gelap, tolong bawakan kotak surat itu.”

Si Gadis menurut. Ia mengikuti Nenek Siti. Setelah meletakkan wadah kue di dapur dan mencuci gelas minuman, Nenek Siti mengantarkan si Gadis ke kamar Damar. Si Gadis tersenyum melihat barisan buku yang tertata rapi di rak di dinding kamar. Damar selalu suka baca.

“Istirahatlah di sini, besok aku akan menceritakan tentang Damar lagi.”

“Baik, Nek.”

Nenek Siti meninggalkan si Gadis di kamar Damar. Hawa dingin membuat gadis itu ingin segera berselimut, namun ia ingin melanjutkan membaca surat Damar untuk seorang wanita bernama Hannah. Ia mengambil kotak surat dan membuka surat pertama yang telah ia baca beberapa baris pertama.

Begitulah, Hannah. Aku mengagumimu sejak awal kita bertemu. Enam tahun aku menyimpan rasa ini untukmu. Beberapa kali aku mencari orang yang mungkin saja bisa menampung perasaan cinta ini. Namun, kamu selalu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hatiku. Kamu selalu memenangkan hati ini dan tidak pernah tergantikan. Tak pernah kalah dari gadis-gadis yang berlalu lalang menarik perhatianku. Senyummu mengalahkan semua gadis yang pernah aku suka. Cinta pertama, sekuat inikah? Aku tidak menyesal menyimpan rasa ini selama enam tahun.

Aku anggap ini adalah sebuah keberanian. Keberanian untuk mengagumimu dengan tetap menyembunyikan perasaan ini rapat-rapat. Mencintaimu dengan anggapan bahwa kamu adalah temanku. Aku anggap ini semua adalah keberanianku untuk mencintaimu. Keberanianku untuk menunggu sampai saat kamu memulai membaca surat ini. Keberanian untuk memahami, bahwa saat kita mulai saling suka, mungkin saja saat itu menjadi awal kita harus berpisah. Jika bertanya tentang sebuah kenangan, maka kamulah yang akan aku sebutkan selama enam tahun kehidupan ini.

Si Gadis menarik napas dan menghembuskannya. Betapa beruntung wanita bernama Hannah itu. Saat ia masih kecil, ada seorang anak laki-laki yang dengan sangat tulus mencintainya.

Malam semakin gelap. Hawa dingin pegunungan membuat si Gadis mengantuk lebih cepat. Ia pun terlelap. Dia akan mendengar cerita yang lebih menarik esok hari. Selamat malam, Gadis.

*****

Setelah sarapan bersama Nenek Siti, si Gadis ikut membereskan meja makan. Ia tidak sabar ingin mendengar awal pertemuan Damar dengan Hannah. Ia penasaran, hal seperti apa yang membuat Damar jatuh hati padahal dia masih anak kecil yang baru berumur tujuh tahun.

“Sudah siap mendengar cerita selanjutnya?” Nenek Siti memulai pembicaraan. Mereka berdua sekarang sudah duduk di teras rumah. Seperti kemarin. Di atas meja sudah tersedia dua gelas teh hangat dan satu kotak kue.

“Nek, Hannah seperti apa orangnya?”

Lihat selengkapnya