Ayu menghampiri Nenek Siti. Ia mengambil tangannya dan menciumnya setelah mengucap salam.
“Ada tamu, Bu? Oh ya, Damar belum bisa pulang sekarang, dia masih mau menginap dua hari lagi. Teman-temannya kebetulan sedang liburan.”
Nenek Siti mengambil oleh-oleh yang Ayu bawa.
“Iya, tak apa. Lihatlah, kita kedatangan tamu spesial!”
Ayu mengeryitkan dahi, “Spesial?” ia segera melihat ke arah tamunya. Si gadis tersenyum gugup. Ayu melangkah semakin cepat, meninggalkan Nenek Siti, ia dengan segera memeluk tamunya.
“Zahra kan?”
“Iya, Bu... saya.” Si Gadis memperkenalkan diri. “Ibu sudah tahu saya?”
“Iyalah... Ibu selalu tahu gadis yang Damar cintai” Ayu menggoda Zahra. Zahrapun semakin merundukkan kepala. “Damar menyimpan banyak sekali foto kalian berdua. Kamu cantik, pantas saja Damar tak mau dengan yang lain.”
Zahra menarik napas lega. Ibu Damar ternyata sangat ramah. Ia percaya akan sangat mudah mengakrabkan diri.
“Oh, jadi namamu Zahra. Ayu, dia sangat lucu, padahal dia sudah bersamaku dari kemarin tapi dia tidak memperkenalkan diri sama sekali, dia benar-benar menggemaskan, aku jadi memanggilnya gadis terus menerus.”
“Hahaha.... benar itu Zahra? Bagaimana bisa kamu lupa memperkenalkan diri?” Zahra terkejut seketika mendengar pertanyaan Ayu. Ia tidak bermaksud untuk menyembunyikan namanya. Ia benar-benar lupa. Ia lebih tertarik untuk terus mendengar cerita tentang Damar.
“Maaf, Nek... saya tidak bermaksud begitu, saya lupa. Nama saya Zahra Arnalda”
“Sudahlah, aku tidak menganggap itu sebagai kesalahan. Nama yang indah, Zahra.” Nenek Siti tersenyum.
Jam menunjukkan pukul 10. Langit mendung. Hawa semakin dingin. Hanya menunggu waktu untuk gerimis yang akan datang, atau bisa jadi hujan langsung turun deras.
Ayu mengajak Nenek Siti dan Zahra masuk ke dalam rumah. Mereka bertiga duduk melingkar di ruang tengah. Di sana memang dikhususkan untuk ruang bersantai saja. Tanpa meja dan kursi. Di dindingyang berwarna hijau terpasang foto-foto keluarga.
“Sepertinya kamu sudah mendengar banyak cerita dari Nenek Siti”
“Iya, Bu. Nenek Siti menceritakan banyak sekali tentang Damar. Baru saja beliau cerita tentang masa awal Damar sekolah.”
“Wah,... Nenek Siti memang yang paling tahu tentang Damar saat ia kecil, aku saat itu merantau ke Arab.”
Nenek Siti mengisi ulang gelas teh yang kosong. “Sekarang sudah giliranmu untuk bercerita, kamu yang tahu lebih banyak tentang anakmu saat ia sekolah, aku sudah menceritakan sedikit tentang Hannah.”
“Zahra, Hannah itu anak yang baik, murid terpintar di kelas, selalu menjadi juara satu. Kamu tidak akan cemburu kan?” Ayu mengedipkan matanya.
“Tidak, Bu.” Zahra menjawab mantap. Yang terpenting aku yang akan jadi masa depan Damar. Gumam Zahra dalam hati. Ia segera memperbaiki posisi duduknya dan bersiap mendengar kisah selanjutnya.
“Haha, kamu benar-benar tidak sabaran ya... Damar anakku itu... kalau sudah mendengar tentang Hannah, ia pasti akan menjadi yang paling bahagia... Kamu mau dengar hal yang sangat menggelikan?”
“Apa itu, Bu?”
“Damar pernah bermimpi dan sampai sekarang aku yakin dia masih mengingatnya. Bayangkan saja, mimpi saat masih kanak-kanak ia ingat sepanjang waktu. Nenek Siti pasti sudah bercerita padamu, Damar selalu pergi sekolah bersama tiga temannya saat kelas dua SD, Rendy, Vivi, dan Hannah. Tiga anak itu tidak hanya teman, mereka juga rival yang berebut ranking di kelas.”
“Lalu Damar bermimpi apa?” Zahra semakin penasaran.
“Sebenarnya Damar sangat jarang mau menceritakan mimpinya, tapi pagi itu saat aku membangunkannya, iya terbangun dengan mengatakan ‘Aku sayang sekali sama Hannah! Jangan ganggu!’ aku terkejut saat mendengarnya bicara seperti itu, haha, bukankah dia terlampau kecil untuk mengatakan hal semacam itu? Ah, aku akan menirukan cara dia menceritakan mimpinya kepadaku. Jadi begini,....”
“Ibu, waktu itu pagi sekali, di bebukitan yang hijau dan sejuk, ada taman-taman, burung-burung, dan ada sungai juga di antara bukit-bukit. Aku dan teman-teman memandang penuh dengan kebahagiaan. Mulut kita menganga dan pipi mengembang, haha, Hannah imut sekali lho, Bu.. Beneran. Saat itu ada Rendy, Vivi dan Hannah. Pasti, Hannah itu gak boleh gak ada kalau aku mimpi. Ada yang berbeda, Bu. Biasanya aku kan jalan bareng Rendy dan asik aja cerita ini dan itu. Tapi tidak saat itu. Ibu tahu siapa yang di sampingku?”
Zahra tertawa mendengar cerita ini. Damar ternyata terlalu jujur dan polos. Ayu melanjutkan
“Aku menjawab Vivi saat itu karena ingin menggodanya, tapi Damar seketika cemberut dan dia berkata’ nggak lah, Bu. Vivi juga cantik, tapi aku cuma mau Hannah, nggak yang lain. Aku benar-benar gak pernah berpikir kalau anakku akan sebegini tergila-gilanya dengan seorang Hannah.”
Ayu kembali meniru cara Damar bercerita
“Ibu, tahukah... Si Rendy gandengan gitu sama Vivi, lalu yang paling menyenangkan, aku jalan bareng Hannah, lho... meskipun gak gandengan tangan, aku udah seneng banget. Rasanya bahagia sekali lho, Bu... aku jadi seperti pangeran yang siap melidungi sang putri kapanpun dari bahaya apapun. Aku merasa menjadi manusia paling beruntung. Dengan sahabat-sahabat seperti mereka. Sahabat yang saling berpasangan satu sama lain. Aku dan Hannah. Rendy dan Vivi. Kami berempat merebahkan tubuh di bebukitan itu. Menghirup udara pelan-pelan untuk sekedar memastikan bahwa hari itu benar-benar nyata.”
“Kami memandang langit yang cerah. Tidak menyilaukan karena di sekeliling ada banyak pohon-pohon rindang. Tempat yang sempurna deh pokoknya. Mungkin aku harus bertanya ke Hannah apa dia pernah bermimpi seperti itu, ah, jangan deh, malu. Nanti saja kalau udah besar aku cerita ke dia. Lalu, Bu, aku bilang ke Hannah ‘Hannah, kamu cantik’ Lihatlah, Bu... Aku berani bilang seperti itu ke Hannah, dan dengan imutnya Hannah menjawab singkat, “Hmz...”. Aku semakin suka ke dia, Bu. Aku sudah tidak peduli sekitar. Biarlah Rendy dan Vivi menikmati waktu mereka. Maka, aku pun akan menkmati waktuku bersama Hannah.”
“Masih berbaring menatap langit. Kami saling menoleh kemudian tersenyum. Aku mengambil tangan Hannah, Bu... untuk kemudian aku dan dirinya mengangkat tangan yang telah saling genggam ke udara. Hannah tersenyum. Dan oh,.... duniaku pun sempurna. Tapi Ibu jahat, padahal aku pengen terus mimpi, tapi ibu tiba-tiba datang membangunkan. Ibu... mimpiku kan belum selesai, padahal aku baru saja ingin bilang ‘aku sayang kamu, Hannah’, gagal deh, aku kok gak pernah bisa bilang gitu ya Bu ke Hannah? Ternyata hanya mimpi ya, Bu”
Ayu menarik napas dan menatap Zahra seolah yang akan dikatakan selanjutnya harus benar-benar diingat dan dipahami oleh Zahra.
“Setelah bercerita tentang mimpinya, aku bilang ke Damar, kamu harus merubah caramu berpikir. Kamu tidak boleh menginginkan waktu supaya berhenti saat bersama Hannah. Biarlah waktu terus berputar. Biar kebahagiaan itu juga terus berputar. Sakit sekali dua kali tak apa. Kebahagiaan akan menyembuhkannya. Ya, meski singkat. Kalau gagal, kamu harus terus berjuang. Begitulah, kamu harus memperjuangkan seseorang yang kamu cintai. Begitulah cara laki-laki keren mengahadapi perasaannya.”
Zahra tersenyum. Berkata pada dirinya sendiri ternyata sejak kecil Damar tidak pernah main-main dengan perasaannya. Sekali lagi, Zahra merasa betapa beruntungnya Hannah jika mengetahui ada seseorang seperti Damar. Zahra mulai merasa cemburu padanya.