Sore hari selepas sholat Ashar, Pak Juwarto bertamu ke rumah Azhar, bapak Damar.
“Pak Azhar, saya minta tolong. Anak saya, Ariz supaya belajar mengaji di sini.” Pak Juwarto, guru Damar di sekolah berbincang dengan Azhar.
“Bagaimana ya, Pak... Saya masih bingung. Mau menyanggupi tapi saya khawatir tidak istiqomah nantinya. Bapak kan tau sendiri, saya sering sakit. Kerja saya juga ternak kambing.”
Setelah sakit liver, Azhar tidak lagi bekerja ke kota. Dia bekerja di desa sebagai petani dan peternak kambing sambil lalu berobat untuk kesembuhannya. Damar sudah kelas empat SD. Azhar semakin memberikan perhatian khusus kepadanya. Mendidik Damar lebih keras.
“Justru itu Pak Azhar, mungkin saja dengan mengajar mengaji bisa memberikan manfaat pada Bapak. Bukan saya tidak mau mengajar sendiri anak saya, hanya saja saya pikir bapak lebih mampu dan berpengalaman untuk mengajar Al-Quran. Saya punya mimpi bisa mendirikan yayasan yang fokus membina anak-anak desa mengaji dengan baik. Saya harap Ariz bisa belajar lebih baik dengan Bapak.”
“Baiklah kalau begitu. Saya usahakan, Pak. Lagipula saya tidak bisa menolak permohonan bapak, bapak juga guru anak saya di sekolah. Sekalian saja Ariz biar ditemani sama Damar. Tapi, mengajinya sore hari saja ya, Pak?”
“Setuju, Pak. Kalau ada jadwal mengaji sore hari, kegiatan sehari-hari anak-anak bisa lebih baik, daripada menghabiskan waktu hanya untuk bermain saja”
Sore itu menjadi sore yang bersejarah. Sore yang merubah banyak hal. Sore untuk masa depan.
*****
“Damar, mulai sore besok jangan ke mana-mana, lho...” Ayu berbicara pada Damar tepat ketika ia baru saja datang setelah mendengar ibunya memanggil.
“Kenapa, Bu? Kan biasanya aku masih maen.” Damar meminta penjelasan, ia tidak ingin waktu bermainnya berkurang.
“Besok kamu temani anak Pak Guru mengaji di sini.”
“Beneran....? Kak Ariz mau mengaji di sini?”
“He em.” Ayu tersenyum dan Damar berlari-lari kegirangan. Teman baru. Semoga Kak Ariz mempunyai jiwa petualang dan bukan teman yang membosankan.
Hari pertama Ariz mengaji di rumah Damar menjadi awal keakraban mereka. Ariz mempunyai banyak hal untuk dibicarakan. Mereka berdua mengaji bersama Azhar selama 30 menit karena memang hanya Damar dan Ariz saja yang mengaji.
Sekitar pukul 16.00 WIB Ariz pulang. Tinggallah Damar sendiri menunggu jarum jam berputar menunjukkan pukul 17.00 WIB. Jam lima, ia pergi ke mushollah tetua agama di desa. Mengaji di sana. Azhar tidak ingin melihat Damar menghabiskan waktunya hanya untuk bermain-main.
Pertemuan dengan Ariz membuat masa kecil Damar berubah menjadi lebih berwarna. Hampir setelah pulang sekolah, ia bermain dengan Ariz. Ariz benar-benar teman yang asyik. Memiliki ketertarikan terhadap permainan yang tidak itu-itu saja. Seperti Damar. Semenjak berteman dengan Ariz, Damar mulai sering keluar masuk kebun lagi, menyusuri sungai-sungai kecil, memasuki bebukitan, mencari buah-buahan, mencari sarang burung, bahkan sampai masak-masakan pun mereka coba. Mereka berdua akan mengumpulkan kayu-kayu kecil dan membawanya ke belakang rumah Ariz. Di sana mereka berdua akan membuat tungku mungil dari batu bata. Menyalakan api dan mengambil kaleng susu yang sudah dibuang penutup bagian atasnya. Kaleng itu akan berfungsi sebagai alat memasak serba guna. Bisa untuk merebus juga untuk menggoreng. Kurang puas dengan alat memasak yang bohongan seperti itu, Damar dan Ariz melancarkan rencana ampuh.
“Eh, jangan rame-rame. Butuh apaan?” Ariz memberi instruksi untuk tidak gaduh. Mereka mengendap-endap menuju dapur.
“Wajan aja, kan cuma buat goreng kripik. Eh, garam lagi.”
Mereka beraksi. Tanpa suara, benar-benar ahli. Tidak ingin Ibu Ariz sampai memergoki mereka. Pelan tapi pasti, mereka berhasil keluar dari dapur dan segera berlari sambil tertawa keras dan mengangkat wajan dan garam. Akhirnya, dua bocah laki-laki yang tidak pernah belajar memasak dan menggoreng mulai membuat kripik talas. Butuh waktu sangat lama karena api yang ada tidak begitu besar. Alhasil, kripik pun jadi dengan rupa bermacam-macam. Ada yang lezatnya pas. Ada yang pas matangnya. Sialnya, banyak pula yang hanya setengah matang. Dan semua termakan juga akhirnya.
Setelah puas dengan eksperimen pertama membuat kripik talas, mereka mencoba eksperimen lain di hari-hari selanjutnya. Mencoba membuat Gulali, manisan yang terbuat dari air tebu yang dimasak sampai mengental. Kebetulan memang sedang musim panen tebu. Mereka cukup mendatangi perkebunan tebu dan mengambil tebu sepuas-puasnya. Hal terlucu adalah saat mereka tidak tahu dengan apa harus memeras tebu agar airnya saja yang dapat terkumpulkan. Akal bocahpun terputar, mereka menggerus tebu yang sudah dikupas dan dipotong-potong menggunakan cobek yang biasanya digunakan untuk membuat sambal. Tak sabar, cobek hanya dicuci ala kadarnya.
“Wih, pasti lezat ni.....” Damar memandangi air tebu yang terkumpul perlahan.
“Semoga aja jadi. Orang sini kan gak pernah buat yang seperti ini. Kita penemu pertama.” Ariz menimpali.